BULAN JUNI INI, tanggal 10, 46 tahun silam, di sebuah klinik kecil milik Angkatan Udara dekat Kraton Pakualaman, Yogyakarta, lahirlah seorang anak laki-laki. Pada hari Minggu, pukul 06.15 pagi. Suasana Yogyakarta kala itu masih sepi, jalanan tidak seramai sekarang, mungkin hanya kesunyian pagi yang menemani kelahirannya. Diberi nama Sabrang Mowo Damar Panuluh.
Nama bukan sekadar rangkaian kata indah dari bahasa kuno, melainkan visi, doa, sekaligus jalan hidup. Maka makna utuhnya: menyeberangi bara api dengan membawa damar untuk menerangi jalan. Bukan sekadar berjalan untuk diri sendiri, tapi agar orang lain juga bisa melihat cahaya dan ikut berjalan dalam kegelapan. “Minadzulumati ila an-Nur” – dari kegelapan menuju cahaya.
Cak Nun, sang ayah, pernah berseloroh: 6 Juni adalah hari lahir Bung Karno, 8 Juni hari lahir Pak Harto, dua presiden yang mengukir sejarah Indonesia. Dan 10 Juni, hari lahir Sabrang.
Seloroh itu bisa jadi hanya candaan seorang ayah. Tapi seperti banyak gurauan orang tua, kadang justru di situlah tersembunyi doa yang paling dalam.
Saya masih ingat satu fase penting dalam hidupnya —ketika saya diminta oleh Cak Nun untuk ke Metro, Lampung. Tugas saya adalah menemani Guru Ngaji yang akan membimbing Sabrang kecil. Pesan Cak Nun sederhana: “Paling tidak, dia bisa baca tulis Al-Qur’an, belajar dasar-dasarnya.” Tapi metode mendidik Cak Nun sangat khas. Ia tak menjejalkan dogma, melainkan mengajak berdialog, bahkan ketika Sabrang masih sangat kecil.
Malam-malam itu, Sabrang mengaji bersama beberapa temannya. Gurunya adalah pilihan langsung ayahnya, orang yang memahami ilmu sekaligus jiwa. Tapi yang paling menarik adalah bagaimana Sabrang mengenal Tuhan. Ia tidak diajari untuk sekadar patuh, tapi untuk memahami. Tentang Ketuhanan, Cak Nun mengenalkannya lewat alam: perputaran siang dan malam, daun yang jatuh, awan yang bergulung, dan gunung yang kokoh. Tuhan dikenali lewat ciptaan-Nya, dan itu menjadi fondasi pemahaman spiritual Sabrang hingga dewasa.
Perjalanan saya bersama Sabrang tidak berhenti di sana. Ketika saya pindah ke Jakarta, takdir mempertemukan kembali. Di tanggal 10 Juni 2008, tepat di hari ulang tahunnya yang ke-29, Sabrang bersama Dewi Umaya, mendirikan Picklock Films. Sebuah Production House yang dibangun dengan semangat dan kesadaran yang dalam. Saya beruntung bisa ikut bergabung selama kurang lebih delapan tahun. Bersama, kami memproduksi film-film yang tidak sekadar menghibur, tapi juga mengajak berpikir untuk pencerahan: Minggu Pagi di Victoria Park, Rayya, Cahaya di Atas Cahaya, dan Tjokroaminoto: Guru Bangsa.
Kini, selain masih aktif sebagai vokalis Letto, grup musik yang sejak awal dikenal dengan lirik-lirik yang kontemplatif, Sabrang rutin hadir sebagai narasumber di berbagai simpul Maiyah. Ia menjadi teman dialog di tengah masyarakat, membawa sudut pandang segar dan dalam atas persoalan hidup, sosial, dan spiritual. Sabrang juga kerap hadir di berbagai podcast yang digawangi oleh Youtuber-Youtuber yang progresif, memperlihatkan bahwa pikirannya tetap hidup, reflektif, dan menyala.
Dan mungkin, di sanalah makna nama itu menemukan realisasinya. Menyeberangi bara, tantangan hidup, kebingungan zaman, bahkan badai pemikiran, dengan membawa damar: cahaya pemahaman, pelita yang tak sekadar menyala untuk dirinya sendiri, tapi juga menerangi jalan bagi siapa pun yang ingin ikut menyeberanginya.
Sabrang, semoga damar yang kau bawa tak pernah padam. Teruslah melangkah, teruslah menerangi.