Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Esensia

Mengembara “Cakrawala Anallah”

Iksan Aji by Iksan Aji
July 22, 2025
in Esensia
Reading Time: 4 mins read
Mengembara “Cakrawala Anallah”

EDISI 250 MAIYAH Kenduri Cinta (KC) Jakarta, Jumat 15 November 2024 mengusung tema Cakrawala Anallah. Tema yang membawa suasana agak sufistik, mendekati tasawuf dan kerohanian. Rasimin yang membaca berita itu dari akun Instagram KC diam sejenak dan tafakur. Duduk di pojok ruang, umed-umed mulutnya membaca kalimat dan mantra sebisanya. Diam-diam,dia berdoa kepada Tuhan, wasilah pada para Nabi dan Rasul, ulama, ustaz, kiai, guru, wali, kaum muslimin, dan segenap umat manusia agar mendapatkan cipratan, hikmah, ilmu, inner beauty, atau apa saja yang bisa didapatkan dari kajian Cakrawala Anallah di Kenduri Cinta. Walau dia tidak bisa hadir di KC, diam-diam Rasimin juga terbuka cakrawalanya tentang dunia sepak bola setelah nonton bareng AFC di halaman kantor Telkom Jakarta Kota, kemudian makan malam dan menulis.

Dalam sebuah opini yang berjudul Bersilat Melawan Bayangan yang ditulis Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), Rasimin mencatat bahwa dunia tasawuf adalah dunia yang tidak bisa diamati, diteliti, apalagi dirumus-rumuskan; ia hanya bisa dialami. Sufi itu dunia fi’il. Dunia laku yang harus dilakoni. Rasimin mengibaratkan ada segelas teh manis di atas meja, ya kita harus minum teh manis tersebut agar kita merasakan manisnya. Bukan “katanya”, tapi melakukan perbuatan.

Hal kesusastraan—dalam opini tersebut—Cak Nun lebih oke dengan istilah karya sastra sufistik. Sufistik itu ke-sufi-sufian, mambu-mambu sufi, memuat indikator-indikator tasawuf. Tapi jangan keburu disebut sastra sufi, sebab tolok ukurnya bikin pusing kepala. Lalu Cak Nun mengemukakan tentang kategori sastra diniyah (religius), sastra nubuat (profetik), sastra islami (format filosofi-kosmologi-teologi Islam) dan sastra tashowwufiy (sufistik) serta sastra sekuler.

Rasimin kemudian mampir di buku kecil Segi Tiga Cinta. Buku Seri Padhang Bulan yang terbit Januari 2001 berisi 53 pujian, wirid, sholawat kepada Allah dan Rasulullah Muhammad. Pada nomor 26 ada Maulan Siwallah, ini kutipannya:

Allahu Allahu (2X)

Ma Lana Maulan Siwallah

Kullama Nadayta Ya Hu

Qala Ya ‘Abdi, Anallah

(Allah, Allah, Allah, Allah)

Tak kami punyai pengasuh selain Allah

Setiap kali engkau memanggil nama-Nya

Ia menjawab, “Wahai hamba-Ku, inilah Aku Allahmu.”

Rasimin berpikir sejenak, dari terjemahan itu didapat bahwa “Anallah” bermakna inilah Aku Allahmu. Tentunya yang ngomong “Anallah” adalah Allah itu sendiri. Bukan Rasimin, Herman, atau Robert. “Ngomong” di sini juga bukan seperti makhluk karena Allah sebagai Sang Khalik, sebagai Pencipta, berbeda dengan yang diciptakan (laisa kamitslihi syai’un).

Ada dua pihak yang berkomunikasi. Perhatikan kalimat sebelumnya ada kalimat: “wahai hamba-Ku”. Ada hamba dan Allah. Apalagi diperkuat kalimat: setiap kali engkau memanggil nama-Nya. “Nama-Nya” tentu maksudnya nama-nama Allah (al asma’ul husna). Jadi, aslinya **hubungan manusia atau hamba dengan Allah sangat dekat. Cuma kita sering lupa dan lalai dalam hidup. Maka, ada ulama terdahulu membuat kumpulan zikir atau wirid, diberi judul Dzikrul Ghofilin sebagai upaya menjembatani hal tersebut agar tidak gampang lupa dan ngeblank dalam kehidupan.

Kembali ke “Anallah”. Mungkin kita bisa menadaburi **Al-Qur’an di surat Al-A’raf tentang Nabi Musa yang khalwat, menyendiri, dan beribadah di Bukit Tursina, Mesir. Dikisahkan bahwa Nabi Musa adalah sosok Nabi yang ngeyel, protes, dan kangen ingin melihat langsung, bertemu muka, muwajahah kepada Allah. Terjadi dialog, bila Nabi Musa ingin melihat Allah: “Lihatlah! Berbaliklah! Lihat Gunung Sinai di seberang itu, bila masih terlihat Gunung itu, maka kau akan melihat Aku, wahai Musa!”. Nabi Musa manut dan oke saja. Yang terjadi Gunung itu hancur lebur. Seketika itu Nabi Musa jatuh pingsan. Setelah siuman, Nabi Musa berucap, “Subhanaka tubtu ‘ilaika wa ana awwalul mukminin,” artinya **Maha Suci Engkau ya Allah, aku bertaubat dan aku orang yang pertama-tama beriman (Al-A’raf 143).

Rasimin berpikir bahwa kisah Nabi Musa itu juga bisa masuk dalam mengembara “Cakrawala Anallah”. Artinya, dari ayat-ayat Al-Qur’an itu Allah sudah menunjukkan “Anallah”-Nya (ini Aku, Allahmu) kepada Nabi Musa. Bila pakai bahasa slengekan Rasimin: “kiye! angger ko pingin weruh!” (Ini, kalau kamu pingin melihatKu).

“Maulan Siwallah” adalah ekspresi kemesraan, cinta kasih dan kerinduan hamba kepada Allah. Manusia dengan Tuhan. Makhluk dengan Khaliq. Ekspresi cinta juga bisa dengan amal perbuatan, pekerjaan yang baik, atau bisa juga lewat karya sastra, musik, arsitek dan bidang lainnya yang ujungnya kepada Tuhan dan esensi “Anallah”. Coba kita perhatikan lirik lagu Satu dari Dewa 19:

Tak ada yang lain selain diri-Mu

Yang selalu kupuja

Kusebut nama-Mu

Di setiap hembusan nafasku

Kusebut nama-Mu.

Menurut Rasimin lagu Satu juga bisa menjadi bahan refleksi dan kajian Cakrawala Anallah. Setiap manusia hidup tentu bernapas. Dalam lirik di setiap nafasku, kusebut nama-Mu. Ini kalimat keren. Luar biasa. Semacam thoriqoh dalam dunia Islam. Apakah si penyanyi mengamalkan apa-apa yang ditulis dalam lagu tersebut? Gak masalah, mengamalkan tidak mengamalkan. Itu menjadi kajian bab yang lain. Ini hanya bicara tentang karya dan ekspresi cinta anak manusia.

Malam semakin larut menuju sepertiga malam terakhir. Setengah jam menjelang Azan Subuh, Rasimin masih diam, merenung, tafakur, zikir. Teh manis di atas meja belum diminum. Dia berharap setelah minum teh manis akan diperkenankan Allah bertemu Nabi Khidir untuk diberi pengajaran tentang dunia tasawuf, tentang anallah, laa ilaha illallah, laa ilaha huwa, laa ilaha anta, laa ilaha illa ana, laa ya’rifu sufi illa sufi, laa yu’riful waliy illal waliy, majhul fil ardli wa ma’lumi fissamawati. Diajak berkelana ke alam mulki, alam malakut, alam jabarut, dan alam lahut. Diberikan kabar tentang nurul jinan, kembang dan sinar-sinar surga yang dirasakan di alam dunia ini untuk dibagi kepada sekalian umat manusia.

SendTweetShare
Previous Post

Menanam, Bukan Menuntut Buah

Next Post

Apa Ada Angin di Jakarta?

Iksan Aji

Iksan Aji

Kelahiran Pemalang, Jawa Tengah, 14 Maret 1969. Suka nulis puisi, suka pada Cak Nun, suka pada Maiyah KC sejak 2001. Dalam dunia puisi atau opini punya nama pena: Aji Puah, Rasimin, Sisca.

Related Posts

Antara Pisyi, Smartphone, dan Akar yang Hilang
Esensia

Antara Pisyi, Smartphone, dan Akar yang Hilang

July 29, 2025
Sore: Bosan, Lelah dan Mati Berkali-kali
Esensia

Sore: Bosan, Lelah dan Mati Berkali-kali

July 28, 2025
Kelas Menengah, Kota, dan Mimpi yang Makin Jauh
Esensia

Kelas Menengah, Kota, dan Mimpi yang Makin Jauh

July 25, 2025
Apa Ada Angin di Jakarta?
Esensia

Apa Ada Angin di Jakarta?

July 24, 2025
Menanam, Bukan Menuntut Buah
Esensia

Menanam, Bukan Menuntut Buah

July 18, 2025
Melumbung Ingatan, Melipat Sejarah
Esensia

Melumbung Ingatan, Melipat Sejarah

July 15, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta