Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Esensia

Menanam, Bukan Menuntut Buah

Mukhammad Rizal by Mukhammad Rizal
July 18, 2025
in Esensia
Reading Time: 4 mins read
Menanam, Bukan Menuntut Buah

ADA orang-orang yang sepanjang hidupnya menanam padi, tetapi mati sebelum sempat memakan padi yang ditanamnya sendiri. Ada juga yang menanam kelapa, padahal ia tahu kelapa itu baru berbuah setelah belasan tahun. Namun, mereka tetap menanam. Mengapa?

Menanam bukan sekadar urusan perut, bukan sekadar menanti buah manis. Menanam adalah sebuah kesaksian diam, bahwa kita pernah percaya pada masa depan yang mungkin tak akan pernah kita cicipi sendiri.

Kebaikan pun begitu. Kita sering kali diam-diam menaruh pamrih. Kita sedekah, lalu menoleh ke langit, berharap malaikat sedang sibuk menulis angka-angka ganjaran. Kita membantu orang lain, lalu menunggu pujian yang tidak pernah lahir. Kita berdoa, lalu gelisah menanti jawaban seolah Tuhan seorang pegawai yang harus cepat-cepat membalas laporan.

Padahal, siapa kita hingga merasa berhak menuntut balasan? Bukankah hidup kita sendiri adalah hadiah? Napas yang masih kita tarik hari ini, apakah kita bayar cicilannya?

Banyak orang tak sadar, mereka berjalan sambil menggenggam timbangan, sibuk menakar amal dan dosa, sibuk menuntut Tuhan agar selalu “adil” sesuai standar kantong pikiran mereka. Mereka lupa, setiap kebaikan hanyalah benih, dan setiap benih punya takdir sendiri: ada yang tumbuh cepat, ada yang pelan, ada yang tak tumbuh sama sekali.

Dalam sunyi, Tuhan mungkin lebih suka kita berjalan tanpa peta, menanam tanpa menuntut buah. Di situlah letak kemerdekaan jiwa: saat kita berbuat baik bukan sebagai transaksi, tapi sebagai wujud keikhlasan paling sunyi.

Kita tidak hanya membawa tumpukan amal yang kita banggakan, tapi membawa hati yang penuh cinta dan ikhlas. Bukan sekadar berapa banyak amal, tetapi seberapa tulus kita melangkah dan seberapa jujur kita mencintai-Nya. Sebab kelak, ketika semua amal diperlihatkan, Tuhan Maha Tahu mana yang sungguh-sungguh ditunaikan karena-Nya, dan mana yang hanya sekadar angka untuk dilaporkan.

Cak Nun pernah berkata, “Jangan beribadah demi surga atau takut neraka. Kalau begitu, kamu masih pedagang. Cintailah Allah, bukan surga-Nya.” Juga dalam banyak Maiyahan, beliau menekankan, “Kalau kamu menganggap Allah perlu dibayar dengan amal supaya kamu masuk surga, kamu belum paham kasih sayang-Nya.” Kalimat-kalimat ini bukan sekadar nasihat, melainkan ajakan untuk menembus lapisan terdalam kesadaran kita—bahwa ibadah adalah relasi cinta, bukan transaksi.

Kita sering lupa bahwa dalam setiap ibadah, ada tarikan ke atas: sebuah perjalanan pulang. Perjalanan pulang itu tidak diukur seberapa cepat kita sampai atau seberapa banyak bekal yang kita bawa, melainkan seberapa jujur niat kita saat melangkah. Karena itu, kita diajari untuk menjaga niat sebelum gerak, sebelum kata, sebelum segala manifestasi amal.

Kalau hari ini kita bisa berhenti sebentar, duduk sendiri, dan mendengar tarikan napas kita sendiri, kita akan sadar betapa selama ini kita selalu berbisik dalam doa, “Ya Allah, kabulkan permintaanku.” Padahal, lebih indah jika doa itu berubah menjadi, “Ya Allah, apapun yang Kau putuskan, aku ridho. Asal Engkau ridho padaku.”

Bayangkan kita sedang berjalan dalam malam yang sunyi. Tak ada penonton, tak ada panggung, hanya ada kita dan Allah. Pada saat itu, kita benar-benar telanjang dari pujian, sanjungan, atau ekspektasi. Yang tersisa hanyalah rasa rindu dan kebutuhan untuk kembali pada-Nya.

Kalau kita mau jujur, banyak orang “menukar” ibadah dengan janji-janji surgawi. Mereka memperlakukan amal seperti simpanan deposito: ditabung, lalu berharap return berlipat-lipat. Padahal, tidak ada satupun perjanjian tertulis yang mewajibkan Allah membalas amal sesuai perhitungan manusia. Rahmat-Nya jauh lebih luas daripada kalkulasi pahala yang kita hafalkan.

Maka, kita tidak sedang berdagang dengan Tuhan. Kita tidak sedang menagih nota transaksi amal. Kita hanya menempuh perjalanan batin yang penuh misteri, di mana cinta yang sejati justru tidak bisa diukur, tidak bisa ditimbang, dan tidak bisa dinegosiasikan.

Pada akhirnya, siapa yang benar-benar ikhlas, ia akan merasa cukup hanya dengan bisa mencintai dan diizinkan untuk sujud. Ia akan malu meminta surga karena merasa sudah terlalu banyak dosa yang tak bisa ditutupi. Justru, kalaupun dilempar ke neraka, hatinya tetap yakin bahwa kasih sayang Allah lebih besar daripada murka-Nya.

Sampai di titik ini, barangkali kita paham mengapa Cak Nun sering mengingatkan bahwa kita ini masih tersesat. Setiap kali kita sholat, kita selalu membaca “Ihdinas shiratal mustaqim” tunjukkanlah kami jalan yang lurus. Itu artinya kita mengakui, seberapa pun khusyuk ibadah kita, kita tetap butuh dituntun. Kita belum pernah benar-benar sampai.

Kita bukan malaikat. Kita juga bukan pedagang surga. Kita hanyalah pejalan kaki di jalan panjang yang penuh kabut. Jalan pulang yang tak selalu rata, yang kadang sunyi, kadang licin, dan kadang justru membuat kita jatuh berkali-kali. Namun, jatuh bukan alasan untuk berhenti. Justru dari jatuh kita belajar makna berdiri, makna berserah, makna pulang.

Barangkali, di akhir nanti, Allah tidak bertanya seberapa mulus langkahmu, tapi seberapa banyak kamu bangkit setelah jatuh, seberapa keras kamu menata kembali niatmu setiap kali tersesat.

Kalau begitu, biarlah kita tetap melangkah. Biarlah kita mencintai tanpa menagih balasan. Pulang yang sesungguhnya bukan ke surga, melainkan ke pelukan Allah yang Maha Luas.

SendTweetShare
Previous Post

Jihadul Hijriyah: Kesungguhan dalam Memaknai Perjalanan

Next Post

Mengembara “Cakrawala Anallah”

Mukhammad Rizal

Mukhammad Rizal

Related Posts

Filsafat yang Dianggap Tak Penting
Esensia

Filsafat yang Dianggap Tak Penting

August 22, 2025
Apa-Apa Cinta
Esensia

Apa-Apa Cinta

August 21, 2025
Sekolah Tanpa Gedung, Guru Tanpa Papan Nama
Esensia

Sekolah Tanpa Gedung, Guru Tanpa Papan Nama

August 19, 2025
“Indonesia Tidak Kekurangan Orang Pintar, tapi Orang Jujur” … adalah Warisan Psikologis Kolonial
Esensia

“Indonesia Tidak Kekurangan Orang Pintar, tapi Orang Jujur” … adalah Warisan Psikologis Kolonial

August 18, 2025
Bendera Bajak Laut dan Harga Sembako yang Tak Kunjung Turun
Esensia

Bendera Bajak Laut dan Harga Sembako yang Tak Kunjung Turun

August 8, 2025
Profesi: Menjadi Wayang
Esensia

Profesi: Menjadi Wayang

August 7, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta