TERINGAT ucapan Mas Sabrang MDP ketika Bangbangwetan edisi Juni kemarin: “Meskipun sulit, menyadarkan manusia itu lebih mudah ketimbang membangunkannya dari tidurnya.” Spontan saat itu membikin pikiran saya seketika hening seraya mengafirmasi fakta bahwa barangkali inilah salah satu penyebab kenapa kita sebagai bangsa belum juga sampai pada tujuan. Bukan hanya belum sampai, melainkan memang tidak sedang berjalan ke arah tujuan.
Mungkin saja kita telah menyadarinya, tapi bagaimana kalau ternyata kita sadar tapi tertidur, atau bahkan yang lebih parah: kita koma? Melalui tulisan ini, saya akan mencoba menelusuri bagaimana masa depan Indonesia bisa ditemukan dengan merujuk pada masa lalu kita, dalam upaya membangunkan kejayaan dari koma-nya.
Saya sering mencatat dan simpan di handphone tentang beberapa orang yang secara implisit sengaja diperkenalkan Mbah Nun kepada jamaah Maiyah. Pasti ada maksud pengajaran yang hendak beliau titipkan melalui sahabat-sahabatnya itu. Dan bagi saya, itu semua menjadi wacana pokok dalam khazanah saya ber-Maiyah. Mbah Nun, dalam banyak kesempatan, memang seperti seorang guru yang tidak menggurui; beliau lebih memilih untuk memberikan clue dan membiarkan kita mencari maknanya sendiri.
Kali ini, saya kembali mengingat suatu acara di rumah Kadipiro pada saat pandemi COVID-19. Malam itu, Mbah Nun yang didampingi Romo Manu, almarhum Kiai Muzammil, dan beberapa personel Kiai Kanjeng lainnya, disowani oleh beberapa dalang yang meminta nasihat terkait bagaimana menghadapi pagelaran wayang yang sepi dari penanggap di masa pandemi. Situasinya kala itu sungguh memilukan, para dalang yang selama ini menjadi penawar solusi, kini justru berada di titik sebagai yang sedang mencari solusi.
Pandemi COVID-19 tidak hanya mengguncang sektor ekonomi dan kesehatan. Ia juga mengguncang sendi-sendi budaya yang selama ini bertahan karena interaksi langsung antara seniman dan masyarakat. Wayang—sebuah seni yang telah berurat akar dalam kebudayaan Jawa—mengalami stagnasi drastis. Tidak ada tanggapan, tidak ada panggung, dan tidak ada pemasukan. Para dalang, sebagai penjaga narasi pewayangan, mengalami situasi yang lebih dari sekadar kehilangan pekerjaan. Mereka berada di ambang kehilangan relevansi.
Mbah Nun mengantarkan acara malam itu kepada salah satu sahabatnya: Romo Manu, untuk memberi tawaran yang barangkali tampak tidak praktis pada awalnya, tetapi justru menjadi fondasi yang lebih kokoh untuk kelangsungan wayang dan kebudayaan itu sendiri. Sebuah tawaran yang melampaui persoalan ekonomi sesaat, juga dimaksudkan untuk tidak membatasi pada konteks dunia pedalangan saja.
Menelusuri Ulang Pakem Warisan Tekstual
Salah satu gagasan sentral yang diajukan Romo Manu adalah perlunya para dalang kembali memahami pakem. Dalam tradisi pewayangan, istilah pakem sering kali diasumsikan sebagai seperangkat aturan atau standar yang harus ditaati oleh para dalang. Namun, pemahaman semacam ini justru menyederhanakan makna aslinya. Pakem bukan sekadar norma seni pertunjukan; ia adalah hasil dari proses panjang asimilasi teks, konteks, dan tatanan kultural yang menyimpan kedalaman sejarah, filsafat, dan cara pandang masyarakat yang melahirkannya. Pakem adalah sebuah arsitektur pengetahuan yang kompleks, bukan sekadar cetak biru pertunjukan.
Menurut Romo Manu, banyak dalang masa kini yang abai terhadap dimensi ini. Mereka cenderung memainkan “carangan”, tanpa landasan tekstual yang memadai. Carangan—kisah turun-temurun di luar struktur utama cerita Mahabharata atau Ramayana—tidak selalu salah. Dalam batas tertentu, carangan adalah bentuk kreatif dari adaptasi dan penyegaran. Namun, yang menjadi persoalan, sebagaimana dicatat oleh Romo Manu, adalah ketika carangan menjadi yang utama. Padahal kita memiliki sumber teks yang lengkap jika mau ditelusuri.
Bahkan Romo Manu menekankan dengan tegas, ia meminta tolong kepada dalang-dalang itu untuk jangan mencampur-campur kisah wayang. Harus memainkan kisah yang asli dan khas. Karena kekhasan itulah yang sebenarnya mengundang ketertarikan orang asing. Di sinilah letak masalah serius yang mengancam kelangsungan pakem sebagai fondasi kebudayaan: hilangnya kekhasan akibat menyepelekan teks yang diwarisi masa lalu.
Romo Manu menunjukkan bahwa sumber-sumber wayang yang otentik tidak hanya bersumber dari versi India seperti Mahabharata atau Ramayana, tetapi juga dari teks-teks lokal semacam Serat Pustakaraja Purwa, Kakawin Arjunawiwaha, hingga babad-babad dan manuskrip yang beredar di lingkungan keraton. Beliau juga mencontohkan bahwa wayang di Yogyakarta dengan Surakarta tidak identik. Masing-masing memiliki gradasi nilai dan tafsir yang berbeda. Misalnya, sosok Srikandi yang tampil sebagai panglima perang dalam tradisi Yogyakarta adalah perwujudan dari nilai-nilai emansipasi dan kekuatan moral perempuan—tidak ada dalam versi Solo. Beliau meneruskan, Durna yang mengenakan sepatu—yang selalu dianggap tokoh yang buruk—dalam pakem Solo justru aslinya ingin menunjukkan kualitas manusia yang “pasca-manusia”. Ini menunjukkan betapa kayanya tafsir dan kedalaman filosofi yang terkandung dalam pakem lokal.
Perbedaan ini tidak bisa dipandang sebagai variasi estetika semata. Ia adalah harta karun nilai bangsa. Ketika pakem dilupakan, sejatinya yang berubah bukan hanya teknik pementasan, melainkan juga cara pandang masyarakat terhadap kehidupan. Oleh karena itu, tugas dalang bukan hanya memainkan wayang, tetapi menjaga benang merah antara warisan leluhur, nilai, dan masyarakat yang menjadi pelaku sejarah. Jika warisan tekstual ditinggalkan, lalu siapa lagi yang akan menjaganya? Jika warisan tekstual yang begitu hebatnya itu tidak lagi menjadi landasan, generasi akan kehilangan arah, bagaikan sebuah kapal tanpa kompas di tengah samudra luas.
Kemudian, dalam era digital yang serba instan ini, banyak dalang muda terjebak pada performativitas. Keindahan visual atau teknik sabetan yang atraktif. Tetapi semua itu menjadi artifisial bila tidak disertai penghayatan nilai yang otentik. Di sinilah Romo Manu menggarisbawahi pentingnya ngudi kawruh—usaha belajar yang tidak berhenti pada permukaan saja. Beliau menyerukan agar dalang kembali membuka manuskrip, menelusuri pustaka, dan menyelami struktur simbolik dalam pewayangan. Sebab, hanya dengan demikian, pakem bukan menjadi beban, tetapi justru menjadi kekhasan yang akan melahirkan kewibawaan bangsa sendiri di mata orang asing.
Sekarang Gantian Kita yang Peras Balik Mereka
Ketika pandemi memaksa seluruh dunia menutup panggung, aktivitas seni pertunjukan lumpuh. Para dalang, yang selama ini hidup dari tanggapan masyarakat, mendapati dirinya tidak hanya kehilangan pekerjaan, tetapi juga kehilangan relevansi dalam struktur sosial yang serba terdigitalisasi. Namun di tengah keterpurukan tersebut, Romo Manu mengajukan sebuah gagasan yang bukan sekadar alternatif, melainkan reposisi paradigma: dalang harus mendunia. Sebuah ide yang mungkin terdengar ambisius di tengah keputusasaan, namun sesungguhnya adalah keniscayaan.
Beliau menyodorkan fakta yang menarik bahwa di banyak negara, wayang bukan hanya dianggap sebagai tontonan, tetapi sebagai objek studi ilmiah. Mereka sadar bahwa ada banyak yang dikandung di dalam pewayangan, yang mereka tidak mungkin bisa menggalinya dari bumi jiwa mereka sendiri. Bahkan dengan data wayang yang minimal, para penulis asing bisa menjadikannya pundi-pundi keuntungan ekonomi yang tidak sedikit.
Di sinilah Romo Manu menyarankan, bahkan dengan nada tegas, “Kita itu sudah lama diperas orang asing, sekarang gantian kita yang harus peras balik mereka. Wong itu duit kita semua og.” Romo Manu sendiri sudah melakukannya sejak lama; siapa pun orang asing yang ingin menggali lebih banyak tentang wayang, ketika berhadapan dengannya, dipatok harga yang sangat tinggi. Kalau tidak mau, ya sudah, tinggalkan.
Beliau menegaskan kepada para dalang, untuk tidak merendahkan diri dengan dibayar apa adanya oleh orang asing. Karena mereka, setelah memperoleh informasi dari kita, akan menjadikannya keuntungan ekonomi yang berlipat-lipat di luar sana. Prinsip ini berlaku pula pada bidang-bidang lain. Kita memiliki harta karun pengetahuan dan kearifan yang tak ternilai, namun sering kali kita menyerahkannya dengan harga murah, bahkan gratis, kepada mereka yang tahu betul bagaimana cara mengkapitalisasinya.
Lanjutnya, beliau mengutip pengakuan Rabindranath Tagore, sastrawan besar India, bahwa orang Jawa justru memahami Ramayana lebih mendalam daripada orang India sendiri. Ini menandakan bahwa kita unggul di bidang ini dan seharusnya dapat menjadikannya prestige yang mahal. Kita memiliki keunggulan komparatif yang signifikan, namun seringkali kita ragu untuk memanfaatkannya secara optimal.
Namun, modal itu tidak otomatis berbuah kepercayaan diri budaya. Sebaliknya, sering kali masyarakat kita justru meremehkan warisan sendiri dan baru merasa percaya diri ketika karya kita diapresiasi oleh institusi luar: UNESCO, lembaga riset asing, atau kolektor budaya internasional. Dalam lanskap budaya seperti itu, jalan keluar bukan sekadar “go international”, tetapi mendunia dengan identitas yang utuh. Validasi eksternal tidak seharusnya menjadi tolok ukur nilai kebangsaan kita.
Mendunia dengan identitas berarti bahwa karya tidak sekadar diekspor, tetapi juga dikurasi secara nilai. Karya yang tampil di luar negeri bukan hanya sebagai tontonan eksotis, tetapi sebagai medium pergaulan, sebagai entitas hidup yang berwibawa dengan filosofi, sejarah, dan sistem etis yang “khas” masyarakat. Untuk itu, kita juga harus menjadi komunikator kultural yang mampu menjelaskan kekhasan bangsa. Tidak hanya menjual produk, tetapi juga mengayomi dunia dengan jati diri.
Lebih dari Sekadar Konsumen
Dalam konteks peradaban yang terus berubah, wejangan Romo Manu kepada para dalang tidak dapat dibaca semata sebagai saran teknis bagi seniman tradisional. Wejangan itu adalah refleksi yang lebih luas, menyentuh persoalan generasi dan cara kita memaknai masa depan. Pandemi hanyalah titik pecah yang mempercepat pergeseran itu. Yang sesungguhnya ingin disampaikan juga adalah transformasi mendalam: dari generasi pewaris budaya menjadi generasi pelaku budaya. Dan itu membutuhkan kesadaran baru.
Generasi muda hari ini tumbuh dalam ekosistem yang berbeda dari para dalang zaman dulu. Generasi hari ini hidup dalam arus data yang tidak berhenti mengalir. Akses terhadap informasi tidak terbayangkan bisa semudah ini. Namun, justru di tengah kemudahan itulah paradoks terjadi: “kedalaman” menjadi langka. Di balik kemajuan teknologi dan kecanggihan gawai, lahir generasi yang tahu banyak hal, tetapi menghayati sangat sedikit. Mudah hafal nama-nama tokoh dalam Marvel Cinematic Universe, tetapi mungkin tidak tahu siapa Resi Bisma atau Punakawan. Sangat bisa mengikuti tren global dalam hitungan jam, tetapi gagap menjelaskan akar tradisinya sendiri. Sebuah ironi di era informasi yang melimpah ruah.
Setelah Romo Manu menyelesaikan wejangannya pada acara malam itu, Mbah Nun memuji Romo Manu seraya mengatakan, “Pak Manu ini ternyata seorang panembahan peres.” Maksudnya seorang yang memiliki keilmuan tinggi dan mendalam, tidak hanya berdiri di menara gading, tetapi juga melakukan langkah-langkah yang bersifat sangat revolusioner. Bukan revolusioner dalam pengertian destruktif, tetapi dalam pengertian kreatif-transformatif.
Maka ini sekaligus panggilan kepada generasi untuk meneladani bagaimana cara Romo Manu yang mampu mengolah warisan menjadi kekuatan strategis, bukan beban romantik. Inilah yang disebut revolusi. Revolusi yang dimulai dengan kesediaan untuk membaca ulang sumber dan menelusuri asal-usul identitasnya. Bukan sekadar karena ingin nostalgia, tetapi karena hanya dengan mengetahui dari mana kita datang, kita bisa tahu ke mana harus melangkah. Seperti dalang yang menghayati Serat Pustakaraja Purwa atau memahami struktur lakon Mahabharata dan Ramayana, generasi muda pun harus mulai menumbuhkan kepercayaan intelektual terhadap kekayaan budayanya sendiri. Keyakinan akan nilai intrinsik budaya sendiri adalah langkah awal yang krusial.
Tetapi membaca saja tidak cukup. Pesan itu juga menyentuh soal bagaimana kita bersikap terhadap teknologi. Dalam dunia digital, kecepatan adalah keunggulan. Namun, justru dalam kecepatan itulah makna sering kali tergerus. Kita terlalu mudah terpancing pada konten viral, namun jarang mengembangkan narasi jangka panjang. Padahal, kebudayaan juga akan dipengaruhi dari tren dan dari kontinuitas nilai yang terjadi. Maka perlu saatnya untuk melakukan pengondisian terhadap tren. Teknologi seharusnya digunakan sebagai alat untuk mendalami, mendokumentasikan, dan menyebarluaskan pengetahuan. Tetapi jika kita tidak punya kontrol, kita justru akan tergenggam oleh teknologi, bukan menggenggamnya.
Di titik inilah, kesadaran tentang agensi budaya menjadi kunci. Generasi muda tidak cukup hanya bangga terhadap kebudayaan lokal, tetapi harus menjadi aktor yang mengolahnya. Kita seringkali puas hanya dengan menjadi “penonton bangga”—menyukai konten budaya, menyebarkannya, lalu selesai. Kita perlu melampaui posisi itu dengan menjadi kurator, penerus, bahkan pembuat tren dari tradisi yang kita warisi. Peran kita harus lebih dari sekadar konsumen konten; kita harus menjadi produsen konten.
Lebih lanjut, wejangan tersebut juga menyindir mentalitas inferioritas budaya yang masih menjangkiti banyak anak muda. Dalam banyak kasus, kita melihat bagaimana ekspresi budaya asing justru lebih dipercaya, lebih dianggap “keren”, lebih “modern”. Sementara ketika kebudayaan lokal muncul, ia dilihat sebagai keanehan dan “ketinggalan jaman”. Ini bukan sekadar soal selera, melainkan soal krisis harga diri kolektif. Padahal, seperti telah dikatakan oleh Tagore, warisan budaya Nusantara, termasuk dalam hal interpretasi epos besar India, justru menunjukkan keunggulan kultural yang melampaui asalnya. Memanglah kita ini seringkali lupa akan berlian yang kita miliki di halaman belakang rumah sendiri.
Menjadi Dalang Zaman
Ketika pakem dipahami secara sempit, kita kehilangan cakrawala sejarah yang kaya. Ketika tradisi dibatasi dalam romantisme pewarisan, kita gagal melihat potensinya sebagai kekuatan transformasi. Ketika teknologi digunakan tanpa kesadaran pertanyaan kehidupan, kita menjadi domba-domba yang tersesat, alih-alih penggembala. Ini adalah inti dari gagasan bahwa masa depan kita bisa ditemukan dalam segenap kekayaan masa lalu kita dengan mengolahnya sedemikian rupa, sebagai upaya membangunkan kejayaan yang mungkin sedang dalam kondisi koma. Dan, pesan ini harus dibaca sebagai undangan untuk menjadi “dalang zaman”. Bukan dalang yang memegang wayang, tetapi dalang yang berdaulat atas arah hidupnya sendiri.
Oleh karena itu, seruan Mbah Nun dan Romo Manu bukanlah sekadar ajakan untuk bangga. Melainkan panggilan untuk berbuat. Untuk merancang ulang relasi kita dengan kebudayaan. Untuk berhenti menjadi penggemar dan mulai menjadi penggerak. Dalam kerangka ini, anak muda bukan hanya agen transformasi teknologi, tetapi juga penyusun narasi kultural baru. Yang menyambung jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara nilai dan inovasi, antara lokal dan global. Karena sejatinya, seperti kata Mbah Nun dalam banyak forum: “Tugas Maiyah adalah memungut yang dibuang orang, menghidupkan yang dikubur orang, dan mengingat yang dilupakan orang.”
Surabaya, 21 Juni 2025 02.44 WIB