AWAL MULA saya bertemu dengan Maiyah sebagai tempat belajar adalah momen ketika dulu saya tengah merasa gamang dengan nilai benar-salahnya dunia pendidikan formal, yang menaungi proses belajar saya sebagai mahasiswa seni. Utamanya pada praktik transfer ilmu pengetahuan secara umum, yang waktu itu saya rasakan hanya sebagai serangkaian proses formalitas yang memperlambat gerak hidup di masa muda. Mengingat kembali adanya proses perlambatan yang berakibat kemunduran diri dari segi kesadaran akan realitas itu terkadang cukup menyebalkan.
Namun ada satu hal yang saya maknai sebagai keberuntungan, bidang yang waktu itu saya tekuni adalah ilmu seni rupa. Dalam proses pembelajaran ilmu seni rupa yang saya alami, ada satu hal esensial yang terbukti sampai hari ini sudah membantu saya dalam usaha memahami diri dan realitas, yaitu pencarian otentisitas. Berangkat dari hal-hal kedirian, secara sederhana otentisitas berarti kesesuaian suatu perbuatan atau produk diri dengan potensi diri dan kecenderungan diri.
Dalam proses belajar melukis saya, ada seorang dosen yang sangat menekankan otentisitas karya. Beliau mendeteksi dan menyikapi kadar otentisitas dengan modal pengalaman panjang sebagai seniman sekaligus pengajar, yang sudah jelas memiliki banyak macam referensi karya seni. Jika melihat ada mahasiswanya yang menunjukkan karya lukis dan memiliki kemiripan gaya atau komposisi visual dengan karya-karya kakak tingkatnya atau karya milik seniman terkenal, minimal akan diolok-olok. Budaya mengolok karya yang mirip dengan karya lain yang sudah familiar itu menurun di kalangan mahasiswa yang sudah dan sedang diampu beliau.
Atmosfer belajar di mata kuliah utama tersebut adalah satu-satunya pengalaman yang tanpa ragu saya maknai sebagai keberuntungan menjadi mahasiswa seni. Berangkat dari pengalaman intens mencari nilai otentisitas karya seni itulah, yang barang kali membuat saya gelisah dengan sisi lain realitas pendidikan formal seperti yang tadi saya sebutkan. Kemudian, kegelisahan tersebut merambah pada skala realitas yang lebih luas. Untungnya, Maiyah menampung, ngelus-elus, serta membantu mengarahkan kegelisahan saya.
Mengerucut pada persoalan diri dan realitas, urgensi untuk mengurainya di tengah banjir bandang informasi hari ini kelihatannya sangatlah serius. Dengan bukti begitu banyaknya tulisan, forum diskusi dan ceramah, podcast, serta karya seni yang membicarakannya dalam berbagai sudut pandang dan dalam kepingan-kepingan topik. Seperti topik bahasan tentang ketidaksiapan Indonesia sejak awal dengan globalisasi, problem-problem sosial dan kebudayaan, problem psikologis di era media sosial, kapitalisasi hampir di segala hal, perang dagang dan perang nilai, krisis identitas—baik sebagai diri, kelompok maupun bangsa, sampai obrolan filsafat yang menjadi populer. Semua peristiwa dan persoalan tersebut terangkai dalam satu tema besar potret kemanusiaan hari ini dengan tajuk “diri dan realitas”.
Tentu saja yang namanya kegelisahan hidup, setiap manusia lumrah memilikinya, dan macam kegelisahan menyesuaikan konteks dan tingkat kesadaran masing-masing individu dalam menjalani hidup. Diri yang menyadari sedang menjalani lakon peperangan dalam hidup memiliki wadah persoalan serta respon terhadap realitas yang berbeda dengan diri lain yang menyadari hidup sebagai serangkaian perayaan eksistensial. Maka, apa yang dianggapnya sebagai masalah bagi keduanya pun berbeda.
Dalam ruang-ruang belajar yang pernah saya masuki, mulai dari yang akademis formal, akademis publik, ruang belajar jalanan, komunitas diskusi, komunitas gerakan sosial-kebudayaan, obrolan di warung kopi dan angkringan, dunia keilmuan seni rupa, pergaulan khas di pedesaan, sampai ruang-ruang ajaran spiritual, semuanya menawarkan persoalan serta respon yang berbeda-beda tentang realitas. Ketika suatu waktu saya berusaha untuk menepi dari itu semua—yang pada awalnya karena merasa jenuh dan mempertanyakan kenapa jenuh—akhirnya melahirkan pertanyaan tentang kesesuaian laku hidup di tengah laju waktu yang semakin cepat dalam mengonstruksi realitas. Sebagai hasilnya, saya merasa telah menempuh perjalanan di jalur lambat. Kegelisahan nyata yang ada di perjalanan jalur lambat ini yaitu pertanyaan, “Kapan sampainya? Jatah waktuku masih seberapa?” Satu pertanyaan yang juga semakin menguatkan rasa gelisah pada dua pertanyaan sebelumnya yaitu, “Kalau ternyata selama ini salah jalan atau salah cara berjalan, lantas harus bagaimana? Padahal sudah jalan jauh.”
“Kadang-kadang tasawuf menjadi tempat pulang dari orang yang telah payah berjalan. Tasawuf menjadi tempat lari dari orang yang telah terdesak. Tetapi pun tasawuf telah menjadi penguat bagi pribadi orang-orang yang lemah. Tasawuf pun menjadi tempat berpijak yang teguh bagi orang yang telah kehilangan tempat tegak,” tulis Buya Hamka.
Saya kira muatan dari Buya Hamka itu bisa menjadi semacam pengasuh kesadaran berpikir untuk ngelus-elus kepala kita agar sementara tidak panik. “Insyaallah, masih ada umur. Insyaallah pada apa yang kita maksud sampai, Tuhanlah yang memperjodohkan kita padanya.” Ketika misalnya kegelisahan semacam itu tadi telah menjadi peristiwa personal-kolektif saya berpendapat bahwa yang pernah mengalaminya bisa paham, yang sedang mengalaminya bisa mencerna, sedangkan yang belum mengalami paling tidak mendapat pengantar singkat.
Setelah cukup menghayati ketenangan, memahami ritme kejiwaan sendiri, setelah bisa melihat kembali batu-batu pijakan di tengah kabut realitas dengan tasawuf tadi, kita melangkah lagi, berjalan lagi. Karena bagi para pejalan yang menyadari peran kekhalifahannya, hidup di tengah realitas yang semenjijikkan apa pun tidak membuatnya berpaling dari tanggung jawab menciptakan bayang-bayang surga di bumi.
Kebetulan, ada sekelompok manusia yang hari ini bertugas menciptakan bayang-bayang surga itu di sebuah wilayah kepulauan yang sedang bernama Indonesia. Sebuah tempat yang tak henti-hentinya memproduksi bermacam demit modern dan langgam-langgam hidup kebinatangan yang menantang-nantang mental kekhalifahan. Demit-demit yang vibrasi kekacauannya berdampak hingga dapur rumah tangga dan ruang-ruang belajar anak-anak. Dengan senjata-senjata dari keserakahan, kesombongan dan kebohongan demit-demit modern berkuasa mengambil hak hidup, harta dan martabat para khalifah. Sehingga, banyak dari para khalifah itu kehilangan kekhalifaannya dan yang tersisa tinggal “diri”. Diri yang kemudian mencari kediriannya di tengah kubangan air liur demit modern yang mulutnya selalu menganga karena tersiksa oleh rasa lapar yang tak kunjung terpuaskan. Celakanya, laku pencarian diri sebagai mantan khalifah itu menurun dari generasi ke generasi berikutnya.
Siapa yang menciptakan demit-demit dan habitat kebinatangannya itu?
Ketidaksadaran kolektif kita sebagai bangsa atau segelintir setan global yang cerdik?
Saya sendiri terlahir dan tumbuh dewasa dengan kekosongan makna diri. Saya sendiri terasing dari nilai-nilai kekhalifaan manusia, sebelum akhirnya tahu sedikit demi sedikit melalui proses hidup yang penuh drama pertengkaran antara diri dan realitas, antara diri dan aku. Sedangkan, pihak yang ngopeni saya sampai tumbuh dewasa juga hanya menjalankan apa yang beliau-beliau tahu. Tahunya menemani anak itu, ya begitu itu: lahir, diopeni dengan gizi dan perhatian secukupnya, disekolahkan, kerja, dinikahkan. Kerepotan hidup bagi beliau-beliau, kalau berasal dari kebijakan pemerintah ya diterima saja. Sebenarnya, sampai tidak pernah kepikiran, kebijakan pemerintah itu barang apa. Kalau ada bantuan lima puluh ribu sampai seratus ribu setahun sekali atau setiap ada pemilu ya alhamdulillah, disyukuri.
Perkara pencarian diri dan arah tujuan hidup itu memang satu isian di antara yang lain dalam jalan hidup kebajikan manusia. Persinggungannya, dengan realitas yang di luar kendali diri dalam proses pencarian itu merupakan suatu keniscayaan yang harus ditemukan titik-titik hikmah dan maknanya, di samping kelucuan-kelucuan dari gerak miring peradaban. Sambil terus berjalan sebagai diri yang menyadari adanya nilai-nilai kekhalifaan yang terus berinteraksi dengan makhluk berjuta muka bernama realitas, kita amati apa-apa dan siapa saja yang jatuh karena kemiringan itu. Pada akhirnya,setiap momen kejatuhan itu kita bersorak, “Eaa…, eaa…, eaa…”
Akan tetapi, ketika sedang bersorak atas kejatuhan-kejatuhan tersebut, baiknya kita juga sesekali mengamati sekeliling. Kita ini sedang duduk atau berdiri di bawah, di tengah, atau di atas.
Karena Tuhan sudah menyamaratakan manusia dalam pergaulannya antar sesama, tapi hierarki pergaulan antar manusia serta kesadarannya juga tercipta berkat keniscayaan potensi akal pikiran. Bisa jadi, pihak yang sedang jatuh itu adalah gambaran kita di masa lalu atau ramalan tentang kita di masa depan.
Si khalifah yang terpedaya itu ternyata makhluk potensi. Ia bisa menjadi apa saja di waktu dan ruang yang berbeda. Maka dari itu ia terus mencari.
“Insyaallah, pada apa yang kita maksud sampai, Tuhanlah yang memperjodohkan kita padanya.”
Karanganyar, 20 Agustus 2025