Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Esensia

Ketika Rupee, Demokrasi, dan Kepercayaan Pecah di Cermin yang Sama

Toto Rahardjo by Toto Rahardjo
September 14, 2025
in Esensia
Reading Time: 8 mins read
Ketika Rupee, Demokrasi, dan Kepercayaan Pecah di Cermin yang Sama

BAYANGKAN sebuah negeri di ketinggian, Himalaya yang menjulang, di mana langit dekat sekali dengan kepala manusia, tetapi justru suara mereka diputus di bumi. Nepal, negeri yang sering kita dengar dari legenda para pendaki, kini berubah menjadi sebuah laboratorium kecil: bagaimana suara rakyat, yang terhubung lewat kabel-kabel tak terlihat, bisa lebih dahsyat dari gempa yang pernah mengguncang lembah Kathmandu.

Pemerintah menutup Facebook, WhatsApp, Instagram—seolah-olah dengan mematikan saklar listrik, gelombang protes akan mereda. Tetapi sejarah selalu punya ingatan lain. Kekuasaan, dari masa ke masa, percaya bahwa yang bisa dikendalikan hanyalah mulut manusia. Padahal hari ini, “mulut” itu sudah berubah menjadi layar kecil di genggaman. Menutup layar bukan berarti mematikan kata. Justru kata melompat, berlipat ganda, seperti gema di jurang Himalaya.

Maka ribuan orang turun ke jalan. Anak-anak muda, yang tumbuh bukan dengan kitab suci politik lama, melainkan dengan bahasa emoji, story, dan reel. Mereka tidak lagi mengenal sensor sebagai pagar, melainkan sebagai tantangan untuk diloncati. Dan Nepal pun mendidih: 19 nyawa melayang, lebih dari seratus tubuh luka-luka. Angka-angka itu seakan hanya statistik dalam laporan resmi. Namun di dalamnya bersemayam satu pertanyaan lama: siapa yang berhak menentukan “suara” itu milik siapa?

Sejarah, bila kita mau belajar, sudah berkali-kali memberi peringatan. Dari buku-buku terlarang di masa kolonial Hindia, dari radio bawah tanah di masa pendudukan, sampai ke pamflet mahasiswa tahun 1998 di Jakarta. Selalu sama: ketika penguasa menutup satu pintu, rakyat menciptakan pintu lain.

Nepal hanya mozaik terbaru dari drama yang berulang: kekuasaan yang takut pada kata, dan kata yang akhirnya lebih kuat daripada senjata. Seperti Himalaya itu sendiri—gunung bisa digerogoti longsor, tetapi selalu ada lembah yang melahirkan sungai. Pertanyaannya kini: apakah pemerintah Nepal sadar bahwa mereka sedang berhadapan bukan dengan Facebook, bukan dengan Instagram, melainkan dengan arus sejarah itu sendiri?

Di balik demonstrasi Nepal: bukan hanya soal pemblokiran media sosial, tapi juga kekecewaan mendalam pada pemerintah yang gagal memberantas korupsi, mengendalikan mata uang, dan menciptakan lapangan kerja.

Nepal hari ini tidak sekadar meledak karena tombol ban pada Facebook ditekan. Ledakan itu sudah lama disiapkan oleh ekonomi yang compang-camping: mata uang yang jatuh ke jurang terdalam, pengangguran yang meroket, korupsi yang dibiarkan berlumut seperti batu-batu tua di Lembah Kathmandu. Pemblokiran media sosial hanyalah percikan kecil yang menyalakan gudang mesiu.

Kemarahan Gen Z Nepal mirip dengan kemarahan generasi muda di mana pun: mereka melihat negara sebagai institusi yang obsolete, sibuk dengan retorika, tapi gagal memberi masa depan. Dan ketika tak ada lapangan kerja, “lapangan” yang tersisa hanyalah jalanan—tempat di mana protes berubah jadi perayaan sekaligus duka.

Mozaiknya: dulu di abad ke-18, revolusi-revolusi Eropa juga lahir bukan semata karena raja-raja membungkam kata, tetapi karena perut rakyat lapar, sementara istana berkilau dengan pesta. Kini di abad ke-21, pola yang sama muncul, hanya kostumnya berbeda: bukan guillotine, melainkan hashtags; bukan pamflet, melainkan stories yang viral dalam hitungan detik.

Pertanyaan yang selalu mengintai adalah sama: berapa lama sebuah rezim bisa bertahan bila ia kehilangan kepercayaan generasinya yang paling muda?

Nepal seperti sebuah negeri yang ditulis ulang dengan tinta krisis. Demonstrasi besar-besaran itu mula-mula tampak seperti reaksi spontan terhadap larangan media sosial, namun sebenarnya ia adalah kulminasi dari kekecewaan panjang: tuduhan korupsi, nepotisme, ketimpangan yang menusuk seperti tebing curam Himalaya.

Lihatlah angka-angka itu: 56% kekayaan nasional hanya dikuasai oleh 20% populasi, terutama lingkaran elite politik. Angka yang dingin di kertas, tapi di jalanan ia menjelma jadi panasnya batu yang dilemparkan demonstran. Di negeri yang pernah menjadi kerajaan, dan kini mencoba merajut dirinya sebagai republik demokratis, luka itu terasa ironis: kebebasan politik tanpa kesejahteraan ekonomi ternyata hanyalah kemerdekaan yang timpang.

Generasi muda Nepal—Gen Z yang berteriak di jalan—sebenarnya sedang menagih janji sejarah. Demokrasi tidak cukup hanya diukur dari pemilu yang rutin digelar; ia juga harus menjamin akuntabilitas pemerintah, ruang publik yang terbuka, dan kesempatan hidup yang layak. Ketika mata uang jatuh ke jurang terdalam, pengangguran meroket, dan harga-harga melambung, demokrasi kehilangan daya magisnya. Ia menjadi cangkang kosong, semacam panggung di mana elite saling berebut kursi, sementara rakyat menjadi penonton yang harus membayar tiket dengan keringat.

Dan kita belajar dari sejarah: setiap kali kesenjangan ekonomi mencapai jurang tertentu, ia akan mencari jalan keluar dalam bentuk ledakan politik. Prancis abad ke-18, Rusia awal abad ke-20, Asia Tenggara 1998—semua menulis ulang bab yang sama dengan latar berbeda. Nepal kini sedang membuka bab serupa.

Mozaiknya sederhana namun getir: yang runtuh di sana bukan hanya nilai mata uang, tetapi juga nilai kepercayaan. Demokrasi yang kehilangan kepercayaan rakyatnya adalah demokrasi yang berdiri di atas es yang mencair.

Ada ironi yang tajam di Nepal: grafik ekonomi menunjukkan garis naik, tapi grafik politik dan sosial menunjukkan garis patah. Bank Dunia menuliskan angka-angka yang rapi: PDB naik dari US$34,19 miliar pada 2019 menjadi US$42,91 miliar pada 2024. Pertumbuhan lebih dari 23% dalam enam tahun—di atas kertas, Nepal sedang berjalan ke depan. Tetapi di jalanan Kathmandu, tubuh-tubuh tergeletak, gas air mata meledak, dan suara generasi muda menggema menuntut demokrasi yang tak sekadar angka.

Di sini kita bertemu paradoks klasik: pertumbuhan ekonomi dan ketidakpuasan publik bisa tumbuh bersamaan. Tahun 2022, PDB Nepal melesat 5,63%. Tapi apakah angka itu berarti pekerjaan baru, keadilan sosial, atau hilangnya korupsi? Tidak. Angka pertumbuhan ternyata bisa menjadi fatamorgana: dari jauh tampak sejuk, tetapi ketika didekati, rakyat masih kehausan.

Sejarah sering berbisik dengan pola yang sama: Spanyol di bawah Franco, Brasil di masa “cudgel miracle,” Indonesia di Orde Baru—semua pernah mencatat pertumbuhan ekonomi, tapi justru di baliknya mengeras ketidakadilan, korupsi, dan represi. Angka tumbuh, namun rasa percaya menyusut.

Nepal kini berdiri di persimpangan: ekonomi bergerak, tapi politik tersendat. Pertumbuhan tanpa keadilan hanya akan memperlebar jurang, seperti Himalaya yang tak bisa dipanjat semua orang. Yang bisa menjejak puncak hanyalah segelintir, sementara di bawah sana, mayoritas rakyat tetap bergulat dengan ketidakpastian.

Mozaik ini membuat kita bertanya: apakah demokrasi bisa bertahan bila ia hanya menjanjikan angka, tanpa makna? Atau apakah kita sedang menyaksikan bagaimana demokrasi yang tidak diiringi distribusi keadilan justru berubah menjadi panggung kemarahan kolektif?

Di Nepal, PDB naik. Angka pertumbuhan dipamerkan. Tetapi jalanan terbakar, anak muda berteriak. Lalu kita bertanya: apa gunanya pertumbuhan bila ia tidak menjangkau perut yang lapar, atau pikiran yang haus akan keadilan?

Indonesia tidak asing dengan cermin itu. Selama Orde Baru, kita dicekoki slogan “tinggal landas”. Pertumbuhan ekonomi dijadikan mantra, grafik PDB ditayangkan di layar televisi seolah grafik itu cermin kesejahteraan. Tetapi 1998 datang, dan kita tahu: angka-angka itu tidak bisa menahan ambruknya kepercayaan.

Kini, dua dekade lebih sesudahnya, kita masih sering mendengar nyanyian yang sama: “ekonomi tumbuh sekian persen”, “investasi meningkat”, “infrastruktur dibangun”. Seakan-akan angka PDB adalah dalil moral yang tak bisa dibantah. Padahal di baliknya, jurang ketimpangan melebar. Segelintir elite menguasai sebagian besar kekayaan, sementara mayoritas rakyat tetap bergulat dengan pekerjaan informal, harga pangan, dan pendidikan yang rapuh.

Nepal dan Indonesia sama-sama memperlihatkan paradoks abad ini: demokrasi bisa bertahan tanpa ekonomi yang sehat, atau ekonomi bisa tumbuh tanpa demokrasi yang sehat. Tetapi keduanya rapuh bila jurang keadilan dibiarkan menganga.

Pertanyaannya kini, bagi kita sendiri: apakah kita ingin belajar dari Nepal, atau mengulang lakonnya dengan kostum yang berbeda? Apakah kita akan terus menyembah angka PDB, atau mulai bertanya tentang distribusi, akuntabilitas, dan masa depan generasi muda?

Sebab sejarah selalu punya cara untuk menertawakan mereka yang terlalu percaya pada angka, tetapi lupa mendengar suara. Nepal seperti menghadirkan wajah ganda—satu wajah di kertas laporan ekonomi, satu wajah di jalanan penuh gas air mata.

Di satu sisi, data Bank Dunia dan Nepal Rastra Bank memberi kabar optimis: pariwisata pulih, belanja modal pemerintah mengalir, sektor pertanian dipoles dengan modernisasi. Inflasi bahkan jatuh ke titik terendah lima tahun, hanya 2,2% pada Juli 2025—bandingkan dengan 7,44% setahun sebelumnya. Dalam bahasa ekonom technokrat: stabil, terkendali, “fundamental sehat.”

Namun, seperti bayangan Himalaya di danau, angka-angka itu menipu bila tak dibaca dalam konteks. Pertumbuhan PDB Nepal lebih banyak “nominal” daripada “riil”—ia mengandung fatamorgana inflasi, fluktuasi kurs, bukan peningkatan daya beli rakyat jelata. Angka inflasi memang rendah, tapi itu belum tentu berarti harga-harga terasa ringan di kantong mereka yang tak punya pekerjaan.

Di sinilah paradoks Nepal menjadi mozaik yang menggelisahkan: ekonomi secara makro berjalan, tetapi rakyat di jalan merasa ditinggalkan. Seperti dua realitas yang tak pernah bersentuhan—rapat kabinet ekonomi yang sibuk dengan tabel, dan rapat jalanan yang sibuk dengan tuntutan akuntabilitas.

Indonesia pun sering menulis cerita serupa. Kita mendengar “inflasi terkendali” atau “defisit terjaga” sebagai mantra, seakan itu kabar gembira bagi semua orang. Padahal di pasar, harga beras, cabai, atau biaya sekolah tidak tunduk pada retorika makroekonomi. Kita juga berulang kali membanggakan pertumbuhan pariwisata, belanja infrastruktur, modernisasi pertanian. Tetapi di sisi lain, anak muda mengeluh tentang lapangan kerja yang kian sempit, politik yang korup, dan ruang publik yang makin sempit.

Mozaiknya begini: angka ekonomi seperti topeng, ia bisa menenangkan investor, tapi jarang menenangkan rakyat. Dan bila topeng itu terlalu lama menutupi luka, jalanan akan merobeknya. Nepal hanya satu bab terbaru. Pertanyaannya: apakah kita di Indonesia sedang menulis bab yang sama, dengan tinta dan kertas yang berbeda?

Nepal menampilkan wajah lain lagi dari paradoksnya. Di satu sisi inflasi terkendali, pertumbuhan PDB dipamerkan; di sisi lain, rupee jatuh ke titik terendah sepanjang sejarah: NPR 141,22 per dolar AS. Angka yang dingin di layar terminal Refinitiv, tetapi panas dampaknya di pasar. Sebab bagi rakyat, pelemahan kurs berarti harga barang impor melonjak, kebutuhan pokok makin memberat, dan rasa percaya pada pemerintah makin menguap.

Krisis mata uang selalu lebih dari sekadar hitungan persentase. Ia adalah cermin psikologis: ia menunjukkan ketakutan investor, hilangnya keyakinan rakyat, dan rapuhnya legitimasi politik. Rupiah Indonesia 1998 masih terngiang dalam ingatan—dari Rp 2.500 anjlok ke Rp 17.000 per dolar dalam beberapa bulan, menyalakan api krisis yang meluluhlantakkan rezim. Nepal kini seperti mengulang pola itu, meski dalam skala lebih kecil: politik yang bergejolak, kurs yang melemah, kepercayaan yang runtuh.

Mozaik ini menyingkap ironi: Nepal bisa mengklaim pertumbuhan PDB dan inflasi rendah, tetapi kurs yang runtuh membongkar rapuhnya fondasi. Sama halnya di Indonesia, kita sering mendengar klaim “fundamental ekonomi kuat,” tetapi tiap kali rupiah goyah terhadap dolar, kecemasan publik tak bisa ditutupi. Mata uang, lebih dari sekadar alat tukar, adalah simbol kepercayaan—dan sekali simbol itu runtuh, ia bisa menular ke seluruh sendi kehidupan bernegara.

Pertanyaan yang menghantui: apakah demokrasi Nepal mampu bertahan dengan kurs yang terus melemah, atau justru kurs itu menjadi tanda bahwa sistem politiknya sedang kehilangan pijakan? Dan bagi kita di Indonesia, maukah kita belajar bahwa fundamental sejati bukanlah grafik di Bank Dunia atau inflasi di bawah 3%, melainkan rasa percaya rakyat yang tak bisa dihitung dengan kalkulator?

Rupee yang melemah, demonstrasi yang membara, dan janji demokrasi yang ditagih generasi muda—semuanya bukan peristiwa yang terpisah. Mereka adalah gema dari satu ruang yang sama: ruang kepercayaan. Mata uang pada dasarnya hanya kertas, demokrasi hanya prosedur, dan janji pemerintah hanya kata-kata—semua kehilangan makna bila tak lagi dipercaya.

Kepercayaan itulah yang menopang harga rupee, legitimasi pemimpin, dan daya hidup demokrasi. Begitu ia retak, grafik PDB dan inflasi tak lagi menenangkan, sebab angka-angka tak bisa menambal luka yang lahir dari rasa dikhianati.

Nepal memberi kita pelajaran dengan cara yang getir: mata uang, demokrasi, dan kepercayaan sesungguhnya adalah tiga wajah dari satu cermin. Jika satu retak, bayangan yang lain ikut pecah. Dan cermin, sekali pecah, tak lagi memantulkan wajah yang utuh—hanya serpih-serpih yang mengiris tangan siapa pun yang mencoba merangkainya kembali.

Nitiprayan, 10 September 2025

SendTweetShare
Previous Post

Cermin di Ruang Baca

Next Post

Merdeka dari Penantian

Toto Rahardjo

Toto Rahardjo

Related Posts

Ekonomi, Perang, dan Ilusi Kemakmuran
Esensia

Ekonomi, Perang, dan Ilusi Kemakmuran

October 10, 2025
Indonesia dan Mimpi Peradaban Cahaya
Esensia

Indonesia dan Mimpi Peradaban Cahaya

October 9, 2025
Empati: Jembatan Kemanusiaan atau Senjata Manipulasi
Esensia

Empati: Jembatan Kemanusiaan atau Senjata Manipulasi

October 9, 2025
Partai Politik Semakin Lemah
Esensia

Partai Politik Semakin Lemah

October 3, 2025
Gelap Terang Topeng Digital
Esensia

Gelap Terang Topeng Digital

October 2, 2025
“Eling lan Waspada”: Sebuah Pijakan
Esensia

“Eling lan Waspada”: Sebuah Pijakan

October 2, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta