TIAP PAGI, Dina berdiri di depan cermin—mematut wajahnya yang belum sepenuhnya terbangun, di kamar sempit apartemen sewa di pinggir Jakarta. Tangan kanannya meraih krim mata, tangan kirinya menggulir notifikasi pekerjaan. Ia bekerja sebagai analis keuangan di sebuah firma investasi lokal, dengan gaji yang cukup untuk membayar cicilan mobil, langganan gym, dan sesekali makan malam di kafe Jepang yang sedang tren. Tapi tidak cukup untuk membeli hunian di pusat kota. Bahkan apartemen studio di kawasan bisnis kini terasa seperti utopia yang dikurung dalam simulasi real estate.
Tiap pukul 06.15, ia turun dari lantai 17, masuk ke mobil, dan menyusuri arus lalu lintas yang tak pernah selesai. Kadang ia bertanya-tanya, berapa tahun hidupnya habis di tol dalam kota. Sembari mendengarkan podcast soal “financial freedom” dan “investasi properti”, Dina tahu satu hal bahwa hidupnya bukan defisit uang, tapi defisit ruang. Ruang untuk tinggal di dekat pekerjaannya, ruang untuk berjalan kaki ke taman, ruang untuk menyapa tukang bubur ayam saat pagi—ruang yang memungkinkan hidup menjadi lebih dari sekadar produktivitas.
Di Jakarta, kelas menengah seperti Dina disebut beruntung. Punya pekerjaan formal, penghasilan stabil, bisa liburan setahun sekali. Tapi pada saat yang sama, mereka adalah generasi yang terhimpit oleh kota yang tumbuh tapi tak mengajak mereka tumbuh bersama. Kelas bawah disasar oleh rumah bersubsidi yang jauh di luar kota. Kelas atas punya akses ke menara kaca dengan sistem pendingin pintar. Sementara Dina—dan jutaan lainnya—terdampar di antara.
Ia adalah bagian dari missing middle—konsep yang telah dibahas secara mendalam oleh Daniel Parolek (2020) dalam bukunya Missing Middle Housing: Thinking Big and Building Small to Respond to Today’s Housing Crisis. Parolek menunjukkan bahwa krisis hunian di kota-kota besar dunia justru menimpa kelompok tengah—yang tidak tergolong cukup miskin untuk mendapat subsidi, tapi juga tidak cukup kaya untuk menembus pasar properti. Di Indonesia, situasinya diperparah oleh kebijakan spasial yang terfragmentasi serta dominasi model hunian ekstrem: rumah tapak di pinggiran dan apartemen mewah di pusat kota.
Ketimpangan ini bukan hanya perumahan, tapi juga spasial. Dalam Urban Warfare: Housing Under the Empire of Finance (Aalbers, 2022), kota-kota besar kini dihadapkan pada financialization of housing—di mana tanah dan bangunan tidak lagi dipandang sebagai ruang hidup, melainkan sebagai aset finansial yang harus dioptimalkan. Dalam logika ini, hunian di pusat kota akan selalu dialokasikan bagi pemilik modal terbesar, bukan bagi warga yang benar-benar tinggal dan bekerja di sana. Hal ini yang membuat akses ke ruang urban semakin eksklusif dan menutup kemungkinan bagi kelas menengah untuk berakar di kota.
Urbanisasi pun tidak lagi menjadi jaminan mobilitas sosial. Alih-alih meraih kenyamanan, banyak dari mereka justru terperangkap dalam urban penalty—sebuah konsep yang dijelaskan oleh UN-Habitat (2022) sebagai beban biaya hidup, waktu tempuh, dan tekanan mental yang semakin besar di kota-kota besar, terutama bagi kelompok pekerja muda dan keluarga baru. Mereka menghadapi waktu tempuh yang panjang, minimnya ruang terbuka, hingga alienasi sosial akibat kota yang tidak dirancang untuk interaksi dan inklusi, melainkan efisiensi dan investasi.
Pada malam hari, setelah rapat daring terakhir selesai, Dina duduk di balkon sempit, memandangi deretan lampu gedung di kejauhan. Di satu titik, ia berpikir tentang bagaimana kota ini begitu penuh namun terasa kosong. Ia tidak ingin istana. Ia hanya ingin rumah kecil yang tak perlu ditempuh dengan 90 menit perjalanan. Ia ingin membaca buku di sore hari tanpa bunyi klakson, ingin menanam daun bawang di jendela dapur, ingin sesekali bisa pulang untuk makan siang.
Tapi kota, seperti algoritma, hanya melayani yang mampu membayar perhatian paling mahal. Bagi kelas menengah, perhatian itu terlalu mahal. Ruang—yang dulu adalah hak dasar—kini menjadi komoditas yang licin dan menanjak.
Mungkin suatu hari, kota akan belajar mendengar suara-suara dari orang-orang semacam Dina. Mungkin suatu hari, “tengah” akan kembali diberi ruang. Tapi untuk hari ini, Dina hanya bisa berharap bahwa hidup yang layak tidak selamanya harus menunggu di tepi.