Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Esensia

Kebebasan Tanpa Batas Menghancurkan Sumber Daya Bersama

Toto Rahardjo by Toto Rahardjo
December 2, 2025
in Esensia
Reading Time: 7 mins read
Kebebasan Tanpa Batas Menghancurkan Sumber Daya Bersama

SELALU ADA saat ketika manusia merasa paling merdeka justru ketika ia lupa bahwa dunia ini tidak hanya dihuni oleh dirinya. Di situlah, kata Garrett Hardin, tragedi mulai mengintai: tragedi bukan sebagai dentang gong dramatis, melainkan sebagai gumaman pelan yang lama-lama menjadi reruntuhan. Tragedy of the Commons, 1968. Tahun ketika dunia sedang sibuk merayakan kebebasan baru: musik rock, gelombang protes mahasiswa, dan manusia yang pertama kali menjejak bulan. Tapi Hardin mengingatkan sesuatu yang jauh lebih tua dari itu—setua ilusi bahwa kebebasan tanpa batas adalah hadiah paling mulia umat manusia.

Bayangkan sebidang padang rumput komunal di desa kecil Inggris abad ke-16. Semua orang boleh menggembala. Tidak ada pagar. Tidak ada larangan. Tidak ada negara. Rumput tumbuh untuk semua makhluk—sampai tiba saat ketika seorang warga menambah satu sapi lagi. “Apa salahnya?” pikirnya. Orang lain pun mengikuti. Rumput pun habis. Maka lahirlah tragedi itu: kehancuran bukan oleh kebencian, melainkan oleh logika kecil yang masuk akal bagi seorang, tapi mematikan bagi semua.

Di Indonesia hari ini, padang rumput itu menjelma menjadi laut yang kian sepi ikan, udara yang makin berat ditelan paru-paru, hutan yang mengecil seperti foto lama yang warnanya memudar. Setiap orang—atau lebih tepatnya setiap kekuasaan—merasa ia punya hak untuk sekali lagi saja mengambil sedikit lebih banyak. Sedikit kayu. Sedikit suara rakyat. Sedikit ruang hidup orang lain. Selalu sedikit, tapi berulang.

Hardin menulis bahwa tragedi terjadi ketika kebebasan individu menabrak batas ekologis. Tetapi dalam politik hari ini, tragedi itu terjadi ketika kebebasan kekuasaan menabrak batas moral. Dalam keseharian, ia hadir ketika kita membuang sampah ke sungai karena semua orang juga begitu. Dalam kehidupan bernegara, ia menjelma ketika undang-undang dilubangi demi “kepentingan umum” yang selalu entah punya siapa.

Kebebasan tanpa pagar, kata Hardin, akhirnya bukan merdeka, melainkan takdir menuju kehancuran bersama. Tetapi bangsa sering mencintai kebebasan seperti seorang anak kecil mencintai korek api: dengan kepolosan yang berbahaya.

Hardin tidak sedang bicara tentang sapi dan rumput. Ia sedang menunjukkan cermin pada sifat manusia: bahwa kita sering menginginkan dunia tanpa aturan, sambil diam-diam berharap orang lain tetap patuh. Kita ingin mengonsumsi tanpa batas, tapi berharap alam tetap sabar seperti ibu tua yang tak pernah marah. Kita ingin mengambil dari “umum”, tapi tidak pernah merasa perlu mengembalikan apa pun.

Di masa lalu, nenek moyang kita mengenal adat: hutan larangan, mata air keramat, sawah yang tak boleh digarap sebelum waktunya. Ada pagar yang tak terlihat, tapi lebih kuat dari beton: rasa malu, rasa hormat, rasa takut pada konsekuensi yang tidak sekadar ekonomi. Hari ini kita menyebutnya kuno. Kita lebih percaya pada pasar bebas dan algoritma. Tapi alam, seperti sejarah, selalu menagih hutang.

Tragedy of the Commons bukan sekadar teori. Ia adalah semacam peringatan keras yang disembunyikan dalam metafora. Bahwa bumi ini, pada akhirnya, adalah padang rumput bersama.

Setiap sapi tambahan—setiap limbah, setiap lubang tambang, setiap ambisi politik yang merampas ruang publik—adalah goresan kecil pada peta kehancuran yang kita gambar sendiri.

Jika Hardin menulis pada 1968 sebagai ilmuwan, mungkin hari ini ia harus menulis sebagai penyair: bahwa tragedi terbesar bukan ketika rumput habis, melainkan ketika kita tak lagi merasa bersalah saat memakannya sampai ke akar.

Kita tak sedang kekurangan ilmu. Kita kekurangan jeda: jeda untuk melihat bahwa kebebasan yang tak mengenal batas bukanlah tanda kedewasaan sebuah bangsa, melainkan tanda bahwa kita sedang berlari menuju tebing sambil meyakini bahwa yang jatuh nanti hanyalah orang lain. Padahal, seperti semua tragedi klasik, akhirnya panggung akan runtuh kita bersama.

Ada ironi tua yang berulang muncul dalam sejarah manusia: bahwa kehancuran kadang tidak datang dari kebodohan, melainkan dari kecerdasan. Dari logika yang rapi. Dari perhitungan yang masuk akal. Garrett Hardin, pada 1968, menuliskannya dengan nada seorang ilmuwan yang sedang menahan napas: ketika sebuah sumber daya dibiarkan terbuka—open access—rasionalitas justru bekerja sebagai alat perusak.

Bayangkan padang rumput yang membentang, hijau, lapang, dan tanpa pagar. Setiap penggembala boleh menambah sapinya. Hardin menempatkan kita di tengah perhitungan kecil yang tampak sederhana: Menambah satu sapi memberi keuntungan penuh bagi si pemilik—100 persen. Kerusakan rumput akibat satu sapi tambahan itu? Dibagi rata oleh semua pengguna padang. Maka kesimpulannya tegak dan jernih: selalu rasional bagi tiap individu untuk menambah sapi.

Kita sering diajari bahwa rasionalitas adalah cahaya. Dalam cerita Hardin, ia justru menjadi api kecil yang menjilat kering rumput-rumput itu. Karena semua orang, dengan kecerdasan yang sama, mengikuti rumus yang sama. Semua memilih menambah sapi. Dan padang pun pelan-pelan berubah menjadi kerak.

Tragedinya, kata Hardin, bukan terletak pada kejahatan manusia, melainkan pada ketulusan sebuah logika yang salah arah. Rasionalitas individu, ketika dibiarkan tanpa pagar moral atau kesepakatan publik, menjadi alat pembongkar rumah yang kita tinggali bersama. Ia kecil, ia sederhana, tapi fatal.

Hardin merumuskannya dalam satu kalimat yang terus bergaung seperti palu hakim yang mengetuk keputusan akhir: “Freedom in a commons brings ruin to all.” Kebebasan di wilayah bersama menghantarkan kehancuran bagi semua.

Kalimat itu, hari ini, terasa seperti peringatan yang datang terlambat. Kita melihat laut yang dikuras bukan oleh keserakahan para nelayan kecil, tetapi oleh logika keuntungan yang sama yang dulu membakar padang rumput Hardin. Kita melihat kota yang menumpahkan sampahnya ke sungai, bukan karena benci pada air, tetapi karena setiap orang yakin bahwa “sedikit saja” tidak akan merusak apa-apa. Kita melihat udara yang penuh jelaga dari pabrik yang bekerja persis menggunakan rumus sapi tambahan itu: keuntungan masuk ke satu kantong, kerusakan ditanggung oleh seluruh paru-paru kota.

Sejarah alam dan sejarah politik kadang berjalan beriringan. Ketika kekuasaan juga menjadi “commons”—wilayah yang siapa pun merasa boleh menambah sedikit pengaruh, sedikit privilese, sedikit pengecualian—rasionalitas yang sama bekerja. Dan institusi pun keropos, bukan karena satu kejahatan besar, tetapi oleh ribuan tindakan rasional kecil yang menggerogoti.

Hardin ingin kita sadar bahwa tanpa pagar, tanpa kesepakatan, tanpa pembatas kolektif, kebebasan bukanlah kemuliaan. Ia adalah jurang. Sesuatu yang tampak seperti ruang luas untuk bergerak, padahal sebenarnya adalah ladang kering yang menunggu percikan terakhir.

Di dunia yang memuja kebebasan sebagai mantra, barangkali kita perlu mendengar Hardin bukan sebagai ekonom, tetapi sebagai penulis tragedi Yunani. Ia mengingatkan bahwa manusia, ketika hanya mengandalkan hitungan untung-rugi jangka pendek, adalah makhluk yang sedang menggali liang kuburnya sendiri—dengan kalkulator di tangan.

Padang rumput itu, entah bernama hutan, udara, laut, atau republik, akan habis dengan cara yang sama: bukan karena kita tidak tahu, tetapi karena masing-masing dari kita merasa telah mengambil hanya sedikit saja.

Lalu ketika “Sapi Tambahan” Bukan Lagi Milik Warga: Tentang Predator di Luar Lingkaran Komunal? Pertanyaan itu—apakah jadinya bila pelaku bukan lagi warga padang rumput*, melainkan institusi bisnis?*—adalah retakan penting dalam cerita Hardin. Sebab tragedi yang dibayangkan Hardin terjadi di antara sesama penggembala, para penghuni padang yang saling menatap mata. Mereka bagian dari komunitas. Mereka hidup dari tanah yang sama, minum dari sumur yang sama, dan tahu bahwa jika rumput habis, anak mereka juga lapar.

Namun abad ke-21 menghadirkan tokoh baru: perusahaan, korporasi, institusi yang tak tidur dan tak punya kampung halaman. Mereka bukan bagian dari masyarakat lokal. Mereka tidak menggembala empat ekor sapi, tetapi ribuan mesin; tidak merusak setapak rumput, tetapi ekosistem. Mereka tidak hidup di desa yang tanahnya mereka kuras. Keuntungan mereka tidak kembali ke ruang komunal, melainkan ke gedung kaca jauh di kota lain—atau negara lain.

Maka tragedi Hardin berubah bentuk. Ia bukan lagi tragedy of the commons tetapi tragedy of the externally imposed will—tragedi ketika kehancuran datang dari pihak yang tidak harus menanggung akibatnya. Di sini, logika korporasi bekerja dengan dingin: Kerugian ekologis dibagi oleh publik.

Keuntungan finansial dikunci dalam neraca internal. Sebuah jurang yang bahkan Hardin mungkin tidak sepenuhnya bayangkan. Jika penggembala di desa menambah satu sapi karena “rasional”, korporasi menambah tambang, menambah sumur minyak, menambah hektar perkebunan bukan lagi demi rasionalitas yang kecil—melainkan demi permainan modal yang berputar cepat. Di titik ini, angka-angka jauh lebih berkuasa daripada alam. Bagian bumi, seperti padang rumput itu, kembali menjadi ruang yang dianggap “bebas,” kecuali bahwa yang beroperasi di dalamnya bukan manusia biasa, melainkan mesin keuntungan.

Lalu apa yang terjadi? Rasionalitas yang sama bekerja, tetapi dengan skala yang berkali-kali lipat lebih merusak. Seorang penggembala hanya mampu menghancurkan padang. Korporasi mampu menghancurkan sebuah bentang alam.

Komunitas tradisional dulu punya pagar moral: pamali, tabu, larangan adat, rasa malu. Korporasi punya pagar berbeda: klausul kontrak, proteksi hukum, dan laporan laba yang harus memuaskan pemegang saham. Ia tidak mengenal sumur keramat atau hutan larangan. Baginya, hutan bernilai ketika tumbang, sungai bila dialirkan, gunung bila digali.

Jika Hardin hidup hari ini, ia mungkin akan menulis ulang kalimat terkenalnya: “Freedom in a commons brings ruin to all.” Namun kini, kebebasan itu bukan lagi milik semua orang—melainkan milik sedikit kekuatan ekonomi yang bisa memperbesar efektivitas kerusakan.

Inilah titik paling getir: bahwa kehancuran yang dulu lahir dari banyak orang, kini dapat lahir dari sangat sedikit orang. Dulu tragedi adalah kerumunan kecil penggembala yang sama-sama buta pada konsekuensi. Kini tragedi adalah satu tangan korporasi yang dapat mengubah sebuah ekosistem menjadi angka.

Ketika pelaku bukan bagian dari komunitas, tragedi tidak hanya mempercepat kehancuran commons—ia memutus tali emosional antara pelaku dan korban. Korporasi tidak merasakan patahnya tanah, hilangnya ikan, turunnya kualitas air. Yang merasakan adalah komunitas yang bahkan tidak pernah diajak bicara.

Di sanalah tragedi baru itu muncul: Bukan sekadar kehancuran padang rumput, tetapi kehancuran rasa memiliki terhadap tanah yang dulu kita sebut rumah. Dalam dunia seperti ini, kita tak hanya perlu bicara tentang “pagar.” Kita perlu bicara tentang siapa yang punya kunci pagar, siapa yang bisa merusaknya, dan siapa yang dipaksa menanggung reruntuhannya.

SendTweetShare
Previous Post

Kultus Visibility

Next Post

Kepalsuan di Balik Jendela Kelas

Toto Rahardjo

Toto Rahardjo

Related Posts

Kepalsuan di Balik Jendela Kelas
Esensia

Kepalsuan di Balik Jendela Kelas

December 3, 2025
Kultus Visibility
Esensia

Kultus Visibility

December 1, 2025
Menulis Itu Tidak Gampang
Esensia

Menulis Itu Tidak Gampang

November 26, 2025
Tumbuh tapi Tidak Sadar
Esensia

Tumbuh tapi Tidak Sadar

November 25, 2025
Penjahat Tak Pernah Membangun Negara
Esensia

Penjahat Tak Pernah Membangun Negara

November 24, 2025
Sadar, Menyadari, Bernurani
Esensia

Sadar, Menyadari, Bernurani

November 21, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta