Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Esensia

Kalau Pejabat Bisa Puasa Mewah, Rakyat Mau Patungan Untuk Negara

Toto Rahardjo by Toto Rahardjo
August 26, 2025
in Esensia
Reading Time: 14 mins read
Kalau Pejabat Bisa Puasa Mewah, Rakyat Mau Patungan Untuk Negara

BEBERAPA dekade lalu, seorang profesor ekonomi dari Amerika datang dengan wajah serius, seolah-olah ia membawa kitab suci baru. Ia bilang, “Negara kalian harus kuat membangun, kalau mau sejahtera.” Kalimatnya terdengar seperti wejangan kiai, padahal nadanya lebih mirip makelar properti yang sedang menawarkan rumah tipe 36 tapi nyicilnya 36 tahun.

Bangsa ini mendengar dengan penuh takzim, seperti murid-murid di surau yang baru pertama kali belajar tentang iman dan takwa. Pembangunan, kata sang profesor, adalah jalan menuju surga kesejahteraan. Tapi kemudian ada catatan kaki: untuk membangun itu butuh dana. Nah, masalahnya, negara ini sejak lama sudah miskin tabungan. Kas negara isinya lebih sering cekak daripada longgar.

Lalu, datanglah ajaran kedua. Seperti khutbah lanjutan dari agama baru bernama “Ekonomisme Modern.” Solusinya: utang.

Utang untuk menambal defisit. Utang untuk menegakkan gedung-gedung. Utang untuk membayar bunga utang yang sudah ada. Utang untuk beli semen yang dipakai bikin jalan agar kendaraan asing bisa lewat lebih lancar.

Lucunya, semua ini dikemas rapi dalam istilah yang melenakan. Ada “pinjaman lunak”, yang sebenarnya lunak hanya di awal, tapi keras dan mencekik di ujung. Ada “bantuan pembangunan”, padahal lebih mirip bantuan supaya kita tetap jadi anak kos yang tergantung kiriman bulanan.

Kita pun larut dalam mantra itu. Jalan raya yang mulus dianggap bukti kemajuan, padahal di pinggirnya rakyat kecil tetap jualan gorengan untuk sekadar bisa beli beras. Gedung tinggi jadi simbol pertumbuhan, tapi di bawahnya para kuli bangunan masih tidur di emperan, berbantal semen sisa.

Ironinya, kita percaya bahwa utang adalah jembatan menuju kemerdekaan. Padahal, kalau dipikir pakai logika paling sederhana, sejak kapan orang bisa merdeka dengan meminjam borgol dari tetangganya?

Bangsa ini, dengan segala keindahannya, seperti anak muda yang kepingin cepat punya motor baru. Gajinya pas-pasan, tapi dealer bilang: “Tenang, bisa kredit kok.” Ia girang, merasa gagah ketika ngebut di jalan, tapi lupa bahwa cicilan tiap bulan akan mengikatnya lebih erat daripada tali sepatu yang dia pakai.

Itulah pembangunan ala kitab ekonomi impor. Kita diajari bahwa kesejahteraan bisa dicetak dari mesin hutang. Tapi tidak ada satu pun halaman yang membicarakan tentang gotong royong, tentang mandiri, tentang kemandirian pangan, tentang berkah sawah dan ladang yang kita punya. Semua direduksi jadi angka, grafik, dan tabel—sementara air mata rakyat tak pernah dicatat di dalam APBN.

Mungkin inilah waktunya kita bertanya lagi: benarkah kesejahteraan hanya bisa lahir dari utang? Atau sebenarnya, utang hanyalah strategi halus agar kita tetap menjadi bangsa yang tidak pernah dewasa, selalu disusui, selalu dikontrol, dan selalu diarahkan jalannya?

Bagaimana caranya berutang? Oh, gampang sekali. Tinggal buat surat obligasi negara. Kertas bergambar Garuda, ditandatangani dengan penuh wibawa, lalu dijual ke orang-orang kaya atau negara lain. Jadi, berutang itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan anak muda yang menulis surat cinta kepada pacarnya—hanya saja surat ini ditukar dengan uang, bukan dengan hati.

“Jangan khawatir,” kata para ekonom dari universitas ternama di seberang sana. “Negara punya cadangan emas ribuan ton. Kalau ada apa-apa, aman.” Kalimat itu seperti dokter yang bilang kepada pasien, “Minum saja obat ini. Efek sampingnya kecil kok, paling cuma bikin ketergantungan seumur hidup.”

Sayangnya kita percaya. Kita telan bulat-bulat. Beberapa politikus kita dulu sekolah ke negeri itu. Pulang-pulang mereka membawa ijazah, jas gagah, bahasa Inggris yang mengalir, dan satu paket ideologi pembangunan. Mereka tidak sekadar membawa ilmu, tapi juga membawa cara berpikir: bahwa utang bukanlah masalah, melainkan jalan menuju kejayaan.

“Lihat Amerika!” kata mereka, dengan mata berbinar. “Amerika bisa jaya karena sistem ini. Kalau mereka bisa, kenapa kita tidak?” Mereka lupa—atau pura-pura lupa—bahwa Amerika punya mesin cetak uang dunia, punya kapal induk, punya pasukan yang bisa parkir di laut mana saja. Amerika berutang, tapi utangnya dijamin oleh cakar elang yang siap menerkam siapa pun yang menagih terlalu keras. Sedangkan kita? Kita hanya punya sawah, tambang, dan laut luas yang justru sering dijadikan jaminan agar pinjaman berikutnya bisa turun.

Lucunya lagi, sistem ini diberi bumbu “kebijakan ekonomi modern”. Padahal kalau ditelanjangi, tak lebih dari jurus klasik: gali lubang, tutup lubang. Hanya saja lubangnya makin lama makin dalam, dan yang menutup bukan lagi kita sendiri, melainkan generasi cucu-cicit yang bahkan belum lahir.

Di sinilah letak humor pahitnya. Amerika bisa jaya dengan cara itu. Tapi kalau bangsa ini ikut-ikutan, yang jaya bukan rakyatnya—melainkan rentenir global yang setiap tahun menagih bunga. Kita membangun gedung, tapi tiap lantainya ada catatan kaki: “dibangun atas utang tahun sekian, lunas tahun entah kapan.” Kita membangun jalan tol, tapi setiap meternya ada aroma cicilan yang melayang ke luar negeri.

Pertanyaannya: kalau benar utang itu membuat bangsa jadi jaya, kenapa kita yang berutang sejak zaman Orde Baru sampai hari ini masih sibuk mengemis investasi? Kenapa rakyat masih harus berdesak-desakan membeli beras murah, sementara grafik ekonomi katanya naik?

Di negeri asal resep ini, utang bukan cuma dipakai untuk membangun jalan dan gedung pencakar langit. Mereka bisa pakai utang untuk bayar tunjangan pengangguran, jaminan sosial, kesehatan, bahkan bisa menyumbang WHO atau mendanai USAID untuk bantu negara lain. Aneh bin ajaib: pakai duit utang, tapi gaya tetap dermawan. Seperti orang berutang di bank, lalu traktir sekampung makan sate. Kita pun kagum, terpesona.

Lalu datanglah era Suharto. Beberapa ekonom kita pulang dari negeri itu, membawa ijazah dan konsep canggih. Maka dimulailah babak baru: APBN dinaikkan dengan utang. Kita seakan ikut misa besar “ekonomi pembangunan” di altar Bretton Woods.

Tapi jangan khawatir, kata para ekonom pintar itu. Kita punya Pertamina, punya tambang, punya hutan, punya BUMN yang bisa dijual sewaktu-waktu kalau perlu menutup utang. Seperti orang yang berani ngutang karena masih punya sawah warisan: “Tenang, kalau kepepet sawah bisa dijual.” Mereka lupa, kalau sawah dijual habis, mau makan apa anak cucu?

Logika inilah yang ditanamkan. Bahwa negara bisa berutang tanpa rasa cemas, karena ada aset yang siap dipajang di etalase. Padahal kalau dipikir-pikir, sama saja seperti menjual rumah sendiri untuk membayar kontrakan tiap bulan. Kita bangga seolah-olah berdaulat, padahal pintu-pintu kedaulatan pelan-pelan dijadikan jaminan.

Ironinya, kita percaya bahwa utang ini akan membawa kita pada kemakmuran. Padahal yang kita alami lebih mirip kemakmuran semu. Angka-angka naik, grafik membaik, tetapi hati rakyat di pasar dan di sawah tetap ngos-ngosan. Mungkin kita perlu jujur bertanya: Apakah benar utang itu alat menuju kesejahteraan? Atau hanya ilusi indah yang membuat bangsa ini ketagihan, sehingga setiap rezim merasa gagah kalau berhasil menaikkan APBN lewat pinjaman baru?

Kalau Amerika bisa jadi jaya karena utang, itu karena ia punya senjata, punya dolar, punya kursi paling empuk di meja dunia. Tapi kalau kita meniru resep yang sama, kita hanya jadi pasien yang ketagihan obat penenang. Bangun tidur selalu nunggu resep baru dari dokter IMF atau Bank Dunia.

Begitulah yang kita lihat: optimisme Pak Harto di ujung era beliau, ketika utang kita sudah menyentuh angka 450 milyar dolar. Angka yang kalau ditulis di papan tulis sekolah dasar, kapur bisa habis sebelum angka nolnya selesai. Tapi beliau tetap tersenyum, seakan-akan angka itu hanyalah nyanyian jangkrik di malam pedesaan Jawa. Kini, angka itu sudah menembus kisaran 10.000 milyar dolar AS. Kalau dihitung-hitung, utang kita ini bisa bikin jalan tol bukan hanya dari Sabang sampai Merauke, tapi mungkin juga sampai ke bulan—asal jangan ditanya siapa yang nanti bayar aspalnya.

Ketika Reformasi 98 terjadi, dolar meloncat seperti kuda liar yang lepas dari kandang. Harga naik, rakyat panik, ekonomi porak-poranda. Tapi para ekonom didikan Amerika tetap optimis. Mereka bilang: “Tenang saja, kita punya tambang, punya hutan, punya alam yang melimpah. Kalau divaluasi, nilainya jauh lebih tinggi dari utang.” Kalimat itu terdengar menenangkan, tapi juga mengerikan. Sama seperti orang yang utangnya menumpuk di bank, lalu bilang, “Santai saja, saya masih punya anak gadis yang bisa dijadikan jaminan.”

IMF pun tersenyum. Bank-nya Amerika makin senang. Mereka bilang, “Kalau begitu, mari kita glontorkan utang lagi.” Seperti bank plecit—rentenir di kampung yang tahu betul rumah tetangganya masih luas, sawahnya masih ada, kerbaunya masih gemuk. Jadi mereka dengan murah hati meminjamkan uang, sambil menunggu hari ketika sawah, kerbau, dan rumah itu perlahan berpindah tangan.

Ironinya, bangsa ini masih sering menganggap utang itu sebuah optimisme, bukan peringatan. Padahal sejarah mengajarkan, siapa pun yang masuk jebakan utang, jarang sekali bisa keluar dengan kepala tegak. Yang ada justru menunduk, tanda tangan, lalu menggadaikan masa depan anak cucunya.

Maka kita pun hidup dalam paradoks: Rakyat disuruh hemat, tapi negara boros dengan cicilan. Rakyat diminta mandiri, tapi bangsa tergantung pada surat obligasi. Kita bangga punya tambang emas, hutan tropis, dan laut luas, tapi semua itu dihitung bukan sebagai warisan anak cucu, melainkan sebagai jaminan di meja pinjaman global. Dunia pun tertawa kecil karena mereka tahu bahwa, bangsa yang kaya alam tapi miskin kedaulatan akan selalu jadi pelanggan setia hutang internasional.

Mereka—para bankir dunia, IMF, dan sejenisnya—makin senang karena orang Indonesia itu taat bayar utang. Taat sekali. Kita ini bangsa religius, penuh rasa takut, bahkan ketika bicara soal cicilan negara. Ada keyakinan bawah sadar bahwa kalau mati masih punya utang, bisa masuk neraka. Jadi lebih baik perut rakyat keroncongan, asal cicilan ke luar negeri tetap lancar.

Berbeda dengan Amerika Latin. Di sana, suatu masa, para presidennya kompak: ngemplang utang Barat massal. Mereka bilang, “Lha wong rakyat kami sudah miskin, masa mau kami peras lagi buat bayar bunga?” Maka mereka ramai-ramai bilang tidak. Barat kaget, tapi tak bisa berbuat banyak.

Sementara kita? Kita lebih sopan, lebih nrimo, lebih takut pada label “negara gagal” ketimbang gagal menyejahterakan rakyat sendiri. Kita lebih takut pada rating Moody’s dan Standard & Poor’s ketimbang takut pada jeritan orang kecil di pasar.

Maka jangan heran kalau IMF dan Bank Dunia tersenyum lebar setiap kali datang ke Indonesia. Karena di sini mereka tidak hanya berbisnis, mereka juga berhadapan dengan bangsa yang sungkan, bangsa yang nriman, bangsa yang takut utang dibawa mati. Kalau perlu, demi menjaga citra baik di mata dunia, kita rela menjual tanah sendiri, hutan sendiri, bahkan laut sendiri.

Ada humor pahit di sini—Kalau orang Indonesia masuk neraka karena punya utang, mungkin malaikat pun bingung mencatat: utangnya ini ke siapa? Apakah ke tukang warung, ke tetangga, atau ke lembaga keuangan internasional yang justru hidupnya dari menjerat bangsa-bangsa?

Jadi, jangan salah, ketaatan kita membayar utang ini adalah berkah besar bagi para kreditor global. Kita bangsa yang penuh iman—iman kepada bunga pinjaman, iman kepada cicilan, iman kepada rating ekonomi. Seperti semua iman yang salah alamat, hasil akhirnya adalah penderitaan panjang, bukan kebebasan.

Ketika minyak kita mulai habis, dan kita terpaksa membeli dari luar negeri dengan harga yang makin melambung, utang pun kembali jadi solusi darurat. Ketika ASN direkrut bukan untuk pelayanan publik, melainkan untuk memperkuat barisan politik, gaji mereka harus dibayar. Ketika pembangunan di negeri ini harus melewati jalan berliku bernama “ongkos korupsi”—ada yang bilang 35%, ada yang berani sebut 65%—maka biaya pembangunan sejatinya jauh lebih mahal daripada angka di kertas.

Apa opsi yang tersisa? Ya, utang. Utang makin adiktif, makin jadi candu yang kita hirup setiap tahun. Candu ini dibungkus rapi dengan mimpi: valuasi bumi kita yang kaya. Hutan, tambang, laut, sawah—semua jadi alasan optimisme bahwa kita bisa berutang lebih tinggi lagi.

Barat pun menikmati. Negara-negara maju enjoy memberi utang, karena murid-muridnya—para ekonom lulusan Amerika—bukan hanya duduk di kursi pemerintahan kita, tapi bahkan dipercaya jadi Presiden IMF. Betapa manisnya skenario: guru memberi resep, murid patuh menelan, lalu murid yang paling patuh diangkat jadi pengawas kelas untuk bangsa-bangsa lain.

Namun, semakin utang membabi buta, semakin berat pula saat membayarnya. Seperti orang yang terlalu banyak minum sirup manis, akhirnya gula darah naik dan tubuh lumpuh. Kita keringat dingin, ngos-ngosan tiap kali jatuh tempo, sementara bunga pinjaman beranak-pinak.

Ironisnya, semua ini bukan cerita eksklusif Indonesia. inilah IBU KONSEP DEFISIT ANGGARAN yang lahir di Amerika—dan kini diikuti hampir semua negara. Jepang, Eropa, negara-negara yang katanya pintar sekalipun, kini mengalami hal yang sama. Semua mabuk dalam pesta utang, semua menari di lantai dansa defisit, menunggu kapan musik berhenti dan lampu mati.

Maka yang tersisa hanyalah paradoks. Kita berutang karena kaya, tapi makin miskin karena berutang. Kita bangga punya alam melimpah, tapi melarat di meja negosiasi. Kita menjual mimpi kemakmuran, tapi yang kita wariskan kepada anak cucu hanyalah daftar cicilan panjang.

Maka Amerika, dengan gaya Donald Trump yang sering dianggap gila tapi sejatinya sangat waras untuk urusan kantong negara, bisa enak saja memecat ASN-nya. Bahkan hari ini mereka bisa membubarkan Voice of America, televisi-radio resmi negara itu. Menyusul pula organisasi-organisasi yang dianggap hanya nambahin hutang: USAID, keikutsertaan di WHO, bahkan NATO.

Bayangkan, betapa enteng mereka mencabut kabel-kabel organisasi internasional itu. Sementara kita di sini, jangankan membubarkan lembaga, mau mengurangi kursi wakil mentri, staf khusus presiden saja bisa bikin ribut berbulan-bulan.

Tapi di sana, rakyat Amerika kalau dipecat ya memang sedih. Siapa sih yang tidak sedih kehilangan pekerjaan? Tetapi mereka tidak terlalu kuatir. Sebab begitu surat pemecatan keluar, surat itu bisa langsung dibawa ke Departemen Sosial, dan orang tersebut otomatis mendapat jaminan hidup tanpa harus bekerja.

Artinya, di negeri itu, surat pemecatan adalah juga tiket jaminan sosial. Sebuah paradoks yang bikin orang Indonesia hanya bisa geleng-geleng kepala. Di sini, surat pemecatan sering kali berarti surat kematian pelan-pelan: tidak ada gaji, tidak ada jaminan, tidak ada kepastian. Yang ada hanyalah antrean panjang di pasar kerja dan hutang baru di warung sebelah.

Di Amerika, utang negara dipakai untuk mengasuransikan rakyatnya. Di Indonesia, utang negara sering dipakai untuk menambal APBN yang bocor karena korupsi, bayar gaji birokrat yang kinerjanya lelet, atau membangun gedung megah yang diresmikan dengan pita merah, lalu roboh sebelum sempat dipakai maksimal.

Inilah perbedaan yang pahit sekaligus satir. Sama-sama berutang, tapi hasilnya beda. Amerika bisa tetap gagah karena punya instrumen sosial yang menopang rakyatnya. Kita berutang, tapi rakyat sering hanya jadi penonton pembangunan, sambil menanggung beban cicilan yang bahkan tidak mereka nikmati.

Ketika semua di atas terjadi di Indonesia, kita pun ingin meniru resep efisiensi ala Amerika. Tetapi begitu sampai pada praktik: sulit sekali bilang “pecat ASN”. Karena kalau ASN dipecat, negara tetap harus membayar pensiunannya. Itu, kata Bu Menkeu, sudah jadi beban yang tinggi sekali.

Bahkan ketika putus kontrak tenaga kontrak saja, ributnya bukan main. Di Pati misalnya, ketika 200 perawat RS diputus kontrak, seketika ribut sekabupaten. Kenapa? Karena bagi orang kecil, hilang pekerjaan berarti hilang dunia. Mereka sudah telanjur punya cicilan motor, ada anak sekolah, ada dapur yang setiap hari harus ngebul. Maka satu surat putus kontrak bisa menghancurkan seluruh keluarga.

Di situlah letak bedanya dengan Amerika. Kalau di sana, begitu kena PHK, rakyat masih bisa hidup karena ada jaminan sosial. Di sini? Paling banter jatah beras 20 kilo per bulan. Cukup untuk sekadar bertahan, tapi tidak cukup untuk hidup bermartabat. Itu pun kalau berasnya sampai, dan bukan beras kualitas rendah yang dicampur karung demi karung.

Maka rumitlah keadaan kita. Terutama ketika pemimpin tidak cukup bijak dalam mengelola anggaran. Negara lebih sibuk membangun citra ketimbang membangun pondasi. Dana pusat kadang tak cukup untuk bayar ASN, akibatnya kabupaten-kabupaten megap-megap. Bila Dan bila kondisi ini dibiarkan terus, bayangannya bukan lagi sekadar ribut di satu rumah sakit daerah—tetapi bisa menjalar jadi pemberontakan rakyat, perpecahan sosial, bahkan retakan di tubuh NKRI.

Itu makin ngeri. Bayangkan, bangsa dengan tanah subur, tambang emas, laut luas, dan hutan tropis, bisa pecah belah hanya karena gagal mengatur duit. Sebab negara yang tak mampu mengelola perut rakyat, akhirnya akan dipaksa mengelola amarah rakyat. Sejarah sudah terlalu sering membuktikan: amarah rakyat yang lapar adalah badai paling dahsyat yang bisa merobohkan negara mana pun.

Walaupun pada dasarnya, rakyat Indonesia ini sesungguhnya rakyat yang tuhu. Penurut. Nurut bukan karena bodoh, tapi karena ada iman dan ada laku batin yang percaya: kalau negeri ini butuh, maka aku harus ikut andil. Sejarah kita penuh buktinya. Ketika republik muda ini tidak punya uang, para sultan rela iuran. Mereka urunan untuk biaya negara. Bahkan rakyat Aceh dulu patungan beli pesawat—bukan buat gaya-gayaan, bukan buat selfie, tapi betul-betul untuk republik. Rakyat kita ini, kalau diminta iuran demi bangsa, pasti mau. Tidak pernah hitung-hitungan.

Persoalannya baru muncul ketika kepercayaan itu koyak. Ketika yang diminta iuran, yang diminta pajak, adalah rakyat yang setiap hari sudah hidup susah, sementara mereka melihat pejabat-pejabatnya hidup hedonis. Korupsi jadi candu. Uang negara bocor ke sana-sini. Yang lebih pahit lagi: ketidak-efisienan dijadikan lifestyle.

Kalau efisiensi dianggap dosa, maka pemborosan dianggap pahala.

Kalau pejabat bisa jalan-jalan pakai APBN, rakyat diminta hemat listrik di rumah. Kalau penguasa bisa rapat di hotel berbintang, rakyat diminta bayar pajak motor dengan wajah serius dan ancaman denda.

Maka wajar kalau akhirnya rakyat marah. Mau bayar Pajak Bumi dan Bangunan pun jadi sebal. Bayar pajak motor, SIM, STNK—rasanya seperti ditagih hutang pribadi oleh negara yang justru rajin memboroskan uangnya sendiri.

Rakyat Indonesia bukan tidak mau iuran. Bukan tidak mau taat. Tapi seperti kata pepatah Jawa: “yen pinuji ojo ngapusi, yen njaluk ojo serakah.” Kalau pemimpin jujur, sederhana, dan benar-benar berjuang untuk rakyat, maka rakyat akan mengeluarkan darah sekalipun demi negeri. Tapi kalau pemimpin korup, hedon, dan menjadikan anggaran sebagai pesta pora, jangan salahkan kalau rakyat mulai menutup dompetnya. Karena iuran tanpa kepercayaan hanyalah pemerasan. Bangsa ini terlalu mulia untuk terus-menerus diperas oleh anak-anaknya sendiri yang kebetulan duduk di kursi kekuasaan.

Bayangannya begini: suatu pagi, Presiden muncul di televisi nasional bukan untuk meresmikan jalan tol baru atau menandatangani proyek mercusuar, melainkan untuk mengumumkan sesuatu yang sangat sederhana—ia memangkas gaji dan tunjangan dirinya sendiri, sekaligus memutuskan tidak lagi menggunakan fasilitas mewah dari negara. Bukan pencitraan, bukan sekadar setahun-dua tahun, tapi permanen. Setelah itu, menteri-menteri, anggota DPR, pejabat BUMN hingga direksi anak perusahaannya pun tak punya pilihan lain selain mengikuti.

Sejak hari itu, wajah kekuasaan berubah: mobil dinas yang biasanya berkilau di jalan-jalan protokol diganti kendaraan sederhana; pesta seremonial yang biasanya penuh tari-tarian mahal dan catering istimewa, diganti acara singkat yang hemat; perjalanan dinas ke luar negeri hanya dilakukan bila betul-betul mendesak. Negara berhemat, tapi lebih dari itu—para pejabat memberi teladan.

Langkah ini lalu disambut dengan gebrakan kedua: pemberantasan korupsi yang bukan sekadar headline penangkapan, tetapi juga pemulihan aset. Koruptor bukan hanya dipenjara, melainkan juga dipaksa mengembalikan uang yang dikemplang, langsung dimasukkan ke APBN. Hukuman berat berjalan seiring perbaikan sistem yang menutup rapat jalur kebocoran.

Kemudian, negara membuka “dapur”-nya. Seluruh belanja negara ditampilkan di dashboard publik: berapa pemasukan pajak, ke mana larinya, siapa penerima manfaatnya. Rakyat bisa melihat langsung, tanpa tabir birokrasi. Transparansi menjadi alat kontrol sosial.

Ketika kepercayaan itu tumbuh, rakyat pun bergerak. Ada yang membeli obligasi rakyat, ada yang ikut tabungan gotong royong, bahkan ada yang rela melepas perhiasan—mirip kisah Aceh menyumbangkan emas untuk membeli pesawat pertama republik. Bukan karena dipaksa, tapi karena mereka merasa dilibatkan, merasa pejabatnya lebih dulu berkorban, merasa bagian dari perjuangan.

Dalam atmosfer seperti ini, krisis ekonomi tidak lagi dipandang sebagai malapetaka, melainkan sebagai panggung kebangkitan. Yang tadinya jengkel membayar pajak atau PBB, kini bisa merasa bangga: mereka sedang ikut menjaga republik. Politik tidak lagi dilihat sebagai pesta elitis, tetapi sebagai arena gotong royong. Republik yang semula goyah, justru berdiri lebih tegak—karena lahir dari kesediaan bersama untuk menderita, dan karena teladan datang dari atas. APA MUNGKIN YA?

Pakem, 24 Agustus 2025

SendTweetShare
Previous Post

Buruh Harian, Jadi Buruh Bulan-Bulanan

Toto Rahardjo

Toto Rahardjo

Related Posts

Buruh Harian, Jadi Buruh Bulan-Bulanan
Esensia

Buruh Harian, Jadi Buruh Bulan-Bulanan

August 25, 2025
Filsafat yang Dianggap Tak Penting
Esensia

Filsafat yang Dianggap Tak Penting

August 22, 2025
Apa-Apa Cinta
Esensia

Apa-Apa Cinta

August 21, 2025
Sekolah Tanpa Gedung, Guru Tanpa Papan Nama
Esensia

Sekolah Tanpa Gedung, Guru Tanpa Papan Nama

August 19, 2025
“Indonesia Tidak Kekurangan Orang Pintar, tapi Orang Jujur” … adalah Warisan Psikologis Kolonial
Esensia

“Indonesia Tidak Kekurangan Orang Pintar, tapi Orang Jujur” … adalah Warisan Psikologis Kolonial

August 18, 2025
Bendera Bajak Laut dan Harga Sembako yang Tak Kunjung Turun
Esensia

Bendera Bajak Laut dan Harga Sembako yang Tak Kunjung Turun

August 8, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta