Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Esensia

Jangan Salahkan Tuhan Kalau Itu Kesalahanmu

Chudzaifi Alawil Haddaddegusti by Chudzaifi Alawil Haddaddegusti
October 23, 2025
in Esensia
Reading Time: 5 mins read
Jangan Salahkan Tuhan Kalau Itu Kesalahanmu

BUKAN gemuruh petir atau guntur, tapi gemuruh dari beton dan besi yang menyerah. Sebuah gedung runtuh. Puluhan nyawa melayang. Laporan investigasi awal tak terbantahkan: fondasi dirancang untuk satu lantai, dipaksakan menjadi empat. Izin keluar atas dasar dokumen yang tidak lengkap. Prosedur keselamatan yang diabaikan begitu saja. Ini adalah sebuah tragedi yang disusun oleh manusia, bagi manusia.

Di antara air mata dan duka keluarga yang ditinggal, respons tenang sang pemilik gedung muncul: “Ini sudah takdir.”

Kalimat itu bukan miliknya sendiri. Ia adalah cermin dari percakapan kolektif yang sering kita dengar—dan bahkan ucapkan—tanpa sadar. “Kalau sudah rezeki, nggak ke mana” adalah mantra untuk menidurkan keinginan berusaha. “Semua ada waktunya” sering jadi dalih untuk menunda, bukan menunggu dengan persiapan. “Nggak usah dipaksain, nanti juga datang sendiri” adalah lagu pengantar tidur bagi semangat yang padam. Betapa sering kita menjadikan keyakinan pada takdir sebagai zona nyaman yang membius, tanpa pernah menggali akar masalah.

Memang tidak semua yang mengucap “takdir” sedang melarikan diri dari tanggung jawab. Ada yang mengatakannya setelah berbulan-bulan mencari kerja, setelah ratusan lamaran ditolak, setelah doa dan usaha habis-habisan. Bagi mereka, “takdir” bukan pelarian, tapi penerimaan yang lapang dada. Itu adalah bentuk tawakal—menyerahkan hasil kepada Yang Maha Menentukan, sambil tetap menghormati proses yang telah dijalani.

Yang salah bukan keyakinan pada takdir. Yang salah adalah menggunakannya sebelum ikhtiar optimal, sebelum evaluasi, sebelum pertanggungjawaban atas pilihan dipenuhi. Kata “takdir” harus menjadi penutup dari proses, bukan pintu keluar dari kewajiban.

Ketika kata “takdir” diucapkan sebelum analisis dan evaluasi dimulai, ketika ia muncul sebelum pertanyaan seperti “Apa yang salah?” atau “Siapa yang lalai?”, maka di situlah ia berubah fungsi. Bukan lagi ungkapan spiritual, melainkan pelindung halus dari konsekuensi. Selimut yang menutupi kelalaian, kemalasan, dan ketidaktahuan. Dengan satu kalimat sakti, kita menggunakan nama Tuhan agar tidak perlu menyalahkan diri sendiri.

Inilah pola pikir berbahaya: fatalisme pasif. Ia menghambat kemajuan, mematikan pembelajaran, dan mengaburkan bencana buatan manusia menjadi misteri ilahi. Tragedi ini mungkin ujian Tuhan, tetapi yang pasti adalah kegagalan sistemik manusia. Yang dihasilkan dari serangkaian pilihan yang seharusnya bisa dicegah, maka ia mutlak harus dipertanggungjawabkan.

Menyalahkan takdir saat berhadapan dengan kegagalan yang bersifat teknis adalah sebuah kesalahan logika yang berbahaya. Sebab, ketika seseorang percaya bahwa semua hasil sudah ditentukan dan usaha kita sia-sia, keyakinan ini otomatis menjadi pembunuh motivasi yang paling halus. Pola pikir ini yang membuat kita bertanya: untuk apa lagi berusaha lebih keras, berinovasi, atau memperbaiki kesalahan? Berlandaskan pada pola ini, dunia akan terkunci dalam siklus kegagalan yang dianggap sebagai ketentuan alam tak terhindarkan.

Lebih berbahaya lagi, fatalisme ini menghentikan proses evaluasi secara paksa. Ia bertindak seperti rem darurat pada otak kita. Alih-alih bertanya, “Kesalahan teknis apa yang terjadi pada fondasi?” atau “Prosedur apa yang saya langgar?”, pikiran langsung melompat ke kesimpulan final: “Ini sudah suratan.” Lompatan yang menghindarkan kita dari ketidaknyamanan menyelidiki kesalahan sendiri, namun konsekuensinya adalah kita terperangkap dalam kesalahan yang sama, berulang-ulang.

Untuk memahami persoalan ini, kita butuh kompas yang membantu membedakan mana yang benar-benar di luar kendali kita, dan mana yang seharusnya menjadi tanggung jawab kita. Ribuan tahun lalu, filsuf Stoik bernama Epictetus sudah memberikan panduan sederhana: “Beberapa hal berada dalam kendali kita, beberapa tidak.” Ia mencontohkan bahwa kita tidak bisa mengontrol apakah hujan turun, tapi kita bisa memilih membawa payung atau tidak. Dalam konteks gedung yang runtuh, kita tak bisa mengontrol gempa bumi—tapi kita bisa mengontrol apakah fondasi dirancang sesuai standard, apakah izin diproses dengan benar, dan apakah keselamatan kerja diterapkan atau tidak.

Menariknya, gagasan kuno ini ternyata selaras dengan temuan psikologi modern. Pada 1960-an, psikolog Julian Rotter memperkenalkan konsep Locus of Control. Sebuah cara memahami di mana seseorang meletakkan sumber kendali atas hidupnya. Orang dengan external locus cenderung berkata, “Saya gagal karena sial,” bahkan ketika laporan struktural jelas menunjukkan bahwa balok penyangga tidak sesuai ukuran. Sebaliknya, orang dengan internal locus akan bertanya, “Apa yang bisa saya perbaiki dalam perhitungan teknis saya?” Bukan karena mereka sombong, tapi karena mereka percaya usaha itu berarti.

Namun, dalam tradisi Islam kita diajak melampaui dikotomi ini. Kita tidak diminta memilih antara “semua tergantung saya” atau “semua sudah diatur Tuhan.”

Yang diajarkan justru keseimbangan: berusaha sekuat tenaga dalam wilayah yang bisa kita kendalikan (ikhtiar), lalu menyerahkan hasil akhir kepada Yang Maha Kuasa (tawakal).

Barangkali, internal locus dan external locus masih perlu dilengkapi dengan balanced locus of control—keyakinan bahwa tindakan kita penting, tapi hasil akhir bukan sepenuhnya milik kita.

Ketika seorang insinyur yang merancang gedung dengan standard tertinggi, berkonsultasi dengan ahli geologi, memastikan semua izin lengkap, dan mengawasi setiap tahap konstruksi. Jika kemudian terjadi gempa dahsyat di luar perkiraan ilmiah dan gedung itu runtuh, ia boleh berkata, “Ini takdir” karena ia telah memenuhi tanggung jawabnya. Tapi jika fondasi runtuh karena ia memotong anggaran baja demi keuntungan, lalu berkata, “Ini takdir,” maka ia bukan sedang bertawakal, ia sedang meminjam nama Tuhan untuk berlindung dari kelalaiannya sendiri.

Dalam praktik nyata, prinsip keseimbangan ini sudah diadopsi di dunia profesional. Edward Deming memperkenalkan siklus PDCA (Plan-Do-Check-Act). Saat terjadi kebocoran kecil di pipa air di sebuah bangunan, mereka tidak berkata, “Ya sudah, mungkin memang belum rezekinya bangunan ini aman.” Mereka justru langsung masuk ke tahap Check: mengumpulkan data, mewawancari tim lapangan, memeriksa gambar teknis. Lalu di tahap Act, mereka memperbarui prosedur pelatihan atau merevisi desain. Bagi mereka, “takdir” bukan alasan untuk berhenti belajar, justru sebaliknya. Mereka bekerja seolah segalanya tergantung pada mereka, sambil menyadari bahwa hasil akhir tetap di luar kendali penuh manusia.

Dalam konteks personal, prosesnya serupa: Akui, Analisis, Perbaiki. Pertama, akui kegagalan itu sebagai hasil dari pilihan dan tindakan kita. Kedua, analisis dengan dingin dan jujur, “Di titik mana saya salah? Pengetahuan apa yang kurang? Keputusan apa yang keliru?”. Ketiga, susun strategi perbaikan yang konkret.

Reruntuhan gedung itu adalah metafora yang pahit. Fondasi yang lemah tidak akan pernah mampu menopang beban yang berlebihan. Begitu pula fondasi mental kita. Fondasi yang dibangun dari fatalisme dan pengalihan tanggung jawab akan runtuh ketika dihadapkan pada realitas yang keras.

Melepaskan kebiasaan menyalahkan takdir bukanlah penolakan terhadap iman; itu adalah pemenuhan dari tanggung jawab kita sebagai makhluk berakal. Itu adalah langkah pertama menuju kedewasaan psikologis.

Takdir bukanlah penjara yang membelenggu. Ia adalah panggung luas tempat kita diberi kebebasan untuk berakting, dengan Tuhan sebagai Sutradara Utama yang mengetahui alur cerita akhir.

Takdir adalah rahasia Tuhan yang mendahului kita. Ikhtiar adalah tugas manusia yang menyertai kita. Jangan gunakan rahasia Tuhan untuk menjustifikasi kegagalan tugas kita.

Berhentilah menyalahkan Tuhan untuk kesalahan yang kita perbuat. Akui dengan rendah hati. Perbaiki dengan tekun. Berusahalah dengan lebih gigih. Sebab, di situlah letak kehormatan kita sebagai manusia. Makhluk yang diberi akal untuk berpikir, hati untuk merasa, dan kehendak untuk memilih. Iman yang sejati adalah keberanian untuk bertanggung jawab. Bukan pelarian dari kenyataan.

SendTweetShare
Previous Post

Bekerja untuk Tuhan Wajib Arif Profesional

Next Post

Air Gratis dan Bayangan Kekuasaan

Chudzaifi Alawil Haddaddegusti

Chudzaifi Alawil Haddaddegusti

Related Posts

Bekerja untuk Tuhan Wajib Arif Profesional
Esensia

Bekerja untuk Tuhan Wajib Arif Profesional

October 22, 2025
Residu-Residu Kebenaran
Esensia

Residu-Residu Kebenaran

October 20, 2025
Dekadensi Epistemik dan Krisis Nalar
Esensia

Dekadensi Epistemik dan Krisis Nalar

October 18, 2025
Kereta yang Tak Pernah Pulang
Esensia

Kereta yang Tak Pernah Pulang

October 17, 2025
Negarawan Jumud vs Rakyat Ajaib
Esensia

Negarawan Jumud vs Rakyat Ajaib

October 16, 2025
Ekonomi, Perang, dan Ilusi Kemakmuran
Esensia

Ekonomi, Perang, dan Ilusi Kemakmuran

October 10, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta