Disclaimer
Namanya juga Gugon Tuhon—percaya tidak percaya. Dibilangnya cuma kebetulan, maka jika disikapi berlebihan bisa menjurus ke syirik, lho. Jadi, mau nerusin membaca, tidak?
Alarm Berbunyi
Dalam sebuah perjalanan, di pintu keluar bandara, semua penumpang harus melewati pemeriksaan barang bawaan. Prosedurnya seperti itu: sabuk dilepas, HP dan tas dimasukkan ke dalam tray untuk discan melalui detektor. Cak Nun, seperti biasanya, selalu membawa alat-alat pribadi dalam tasnya—pisau cukur dan gunting kecil. Benda-benda ini jelas akan memicu alarm dan menarik perhatian petugas.
Dalam antrean, Cak Nun sudah merencanakan sesuatu. Yaitu “memindahkan” barang-barang tersebut ke tas milik orang yang berdiri di depannya. Bagaimana caranya? Itu yang tidak pernah dijelaskan. Bisa ditebak, saat tas orang itu—entah siapa—melewati detektor, alarm berbunyi. Petugas pun dibuat sibuk memeriksanya. Anehnya, setelah diperiksa dengan teliti, petugas tidak menemukan apa-apa di dalam tas orang tersebut.
Cak Nun yang berada tepat di belakangnya, melenggang kangkung menuju metal detector gate dan lolos begitu saja. Tas miliknya juga tak berbunyi sama sekali.
Macet Parah
Rangkaian perjalanan Cak Nun di Jakarta. Dari bandara menuju Cibubur, dijemput oleh dua orang: Gandhie dan Hendra—yang bertugas untuk menyetir. Meski disebut sebagai “driver”, bukan berarti sebagai sopir yang mengantar jemput—sebagaimana pemahaman awam. Hendra, adalah seorang advokat yang menangani beberapa kasus besar yang pernah hangat di Negara Konoha, setahun yang lalu.
Cak Nun duduk di bangku belakang dan segera memejamkan mata, beristirahat sepanjang perjalanan.
Pagi itu, suasana jalan Jakarta seperti biasa: padat merayap, kendaraan saling berebut ruang. Tapi perjalanan menuju Cibubur lancar jaya.
Karena merasa perjalanan begitu nyaman, Hendra tanpa sadar berucap, “Wah, lancar ya.”
Gandhie yang duduk di sampingnya sontak kaget. Hampir menegur Hendra agar jangan asal berkomentar. Belum sempat peringatan itu keluar, tiba-tiba jalanan di depan menjadi kacau. Kemacetan muncul mendadak, kendaraan mulai saling serobot, dan perjalanan pun tersendat. Macet parah.
Cak Nun terbangun, lalu bertanya, “Sudah sampai mana?”
Sesampainya di rumah Cibubur, Gandhie sempat berbisik pada Hendra. Silakan bertanya langsung kepada Gandhie apa yang pernah dibisikkan. Kalau ditanyakan kepada Hendra, pasti dia lupa.
Drone Tiba-Tiba Jatuh
Suasana Kenduri Cinta edisi Juni 2025 sangat meriah—malam istimewa yang menandai seperempat abad perjalanan Kenduri Cinta. Kali ini bertepatan pula dengan ajang Jakarta Future Festival 2025. Berbeda dari biasanya yang cenderung gelap dengan nuansa hitam, panggung Kenduri Cinta justru tampil serba putih. Sederhana tapi anggun. Tetapi, justru karena itu tampak lebih istimewa. Oleh pihak Taman Ismail Marzuki, Kenduri Cinta dijadikan sebagai salah satu event unggulan dalam gelaran Jakarta Future Festival tahun ini.
Di tengah acara, terdengar dengungan di udara. Sebuah drone tampak melayang, memutari area acara. Entah milik siapa, konon kabarnya dari salah satu jamaah yang sebelumnya sempat mengirim DM ke Instagram Official Kenduri Cinta, meminta izin untuk mendokumentasikan suasana dari udara.
Drone itu sempat stabil berkeliling, lalu perlahan naik, namun terlalu tinggi hingga akhirnya menyenggol atap Gedung Teater Besar. Suara “krak” kecil terdengar, lalu drone itu jatuh berdebum ke tanah. Baling-balingnya patah.
Saya menikmati acara dari belakang panggung. Saya bisa melihat jelas drone itu terjatuh. Di sebelah saya, duduk Wawan, kawan pegiat dari Pontianak. Ia berseloroh, “Dulu, mungkin tujuh tahun lalu, waktu Kenduri Cinta masih di halaman depan TIM, Hendra pernah nerbangin drone juga. Sama, muter-muter di atas acara. Tapi anehnya, pas drone itu sampai di atas panggung, tiba-tiba sinyalnya hilang. Macet. Gak bisa dikendalikan. Sejak itu, gak pernah lagi ambil gambar dari atas panggung. Cuma di sekitaran luaran aja.”
Wawan lalu menambahkan dengan nada penuh percaya, “Kayaknya auranya Kenduri Cinta itu luar biasa. Memang ‘dijaga’. Oleh siapa, kita nggak tahu.”
Ephemeral
Kisah-kisah seperti ini memang tidak perlu disikapi dengan terlalu serius karena sangat mungkin terjadi kepada siapa saja. Bagi mereka yang kerap bersinggungan dengan Cak Nun, cerita-cerita semacam ini bukanlah hal langka.
Salah satunya terjadi di sebuah bandara. Saat itu Cak Nun sedang berjalan melewati area umum, tiba-tiba seorang ibu, tak dikenal, memanggil. Diajak menjauh sedikit dari keramaian. Sang ibu menyodorkan sebuah amplop coklat, tanpa banyak bicara. Isinya tidak dijelaskan, wajahnya pun tak menunjukkan maksud lain selain ingin menyampaikan sesuatu yang ia yakini penting.
Cak Nun memang sedang buru-buru karena mendapat kabar bahwa salah satu kakaknya di Jombang mengalami kecelakaan dan tengah dirawat di rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, setelah menjenguk kakaknya, Cak Nun langsung menuju loket pembayaran untuk meminta billing. Kemudian menuju ke toilet. Amplop yang dari ibu-ibu tadi dibuka.
Jumlahnya pas. Tidak kurang, tidak lebih. Persis sama dengan billing rumah sakit yang harus dibayarkan.
Tetap bersyukur, sih. Tapi berseloroh, “Ya Allah, mosok enggak ditambahi barang lima puluh ribu buat beli kopi sama rokok?”