Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Esensia

Indonesia dan Mimpi Peradaban Cahaya

Chudzaifi Alawil Haddaddegusti by Chudzaifi Alawil Haddaddegusti
October 9, 2025
in Esensia
Reading Time: 13 mins read
Indonesia dan Mimpi Peradaban Cahaya

KITA hidup di tengah ironi. Informasi mengalir deras, namun kebenaran makin sulit ditemukan. Pendidikan diperluas, tetapi kesenjangan sosial tak kunjung menyusut. Jalan tol dan jaringan digital menyambungkan pulau-pulau, namun kebersamaan antara anak bangsa semakin renggang. Kita terhubung secara teknis, tapi terpecah secara emosional dalam hoaks, kebencian, dan identitas sempit. Ini bukan hanya soal kebijakan gagal—ini adalah gejala ketidakseimbangan dalam konsep pembangunan kita. Kita sibuk membangun sistem infrastruktur, tapi lupa merawat jiwa; mengejar angka, tapi kehilangan mimpi.

Pembangunan Indonesia terlalu sering diglorifikasi oleh angka. PDB naik, IPM membaik, jumlah kilometer jalan tol bertambah. Namun, ketika angka naik tapi rasa keadilan turun, ketika gedung tinggi tapi ruang publik menyempit, muncul pertanyaan: apakah kita sedang membangun peradaban, atau hanya mesin ekonomi?

Lalu, muncul bayangan lain: bagaimana jika Indonesia bukan hanya negara yang tumbuh secara angka, tapi menjadi peradaban cahaya?

Bukan cahaya yang datang dari layar handphone, dari reklame digital, atau gedung-gedung tinggi, melainkan cahaya yang menyala dari keadilan, imajinasi kolektif, akal sehat, dan moral yang utuh. Cahaya yang tidak membakar, tapi menerangi.

Terdengar ambisius memang mengingat kita saja cukup optimis dengan jargon “Indonesia Emas 2045”. Tapi orang selalu bilang, gantungkan mimpi setinggi langit. Rasanya, tidak ada salahnya kita bermimpi.

Dalam mencari jawaban atas ironi ini, saya tidak menawarkan rencana teknokratis atau formula kebijakan. Alih-alih, saya ingin mengajak berpikir melalui lensa yang jarang digunakan dalam diskursus pembangunan: Surat An-Nur ayat 35—metafora cahaya yang diabadikan dalam Al-Qur’an.

Bagi Jamaah Maiyah, ayat ini mungkin terasa akrab. Cak Nun sering menguliknya dalam berbagai forum Sinau Bareng. Namun, jauh sebelum itu, Imam Al-Ghazali telah menyelaminya secara mendalam dalam sebuah kitab berjudul Misykat al-Anwar.

Dalam satu bagian, Al-Ghazali menafsirkan tingkatan cahaya yang disebutkan dalam ayat itu sebagai lima tingkatan ruh yang diurutkan sebagai proses transformasi spiritual, dari kesadaran indrawi hingga penyatuan dengan cahaya hakiki.

Saya tidak mengklaim bahwa tafsir ini bisa menjadi blueprint pembangunan nasional. Tapi justru karena sifatnya yang bukan teknokratis, ia bisa menjadi cermin yang memantulkan pertanyaan: Apa yang kita abaikan ketika pembangunan hanya diukur oleh PDB, infrastruktur, dan efisiensi?

Namun, harus ditegaskan bahwa Al-Ghazali mungkin tidak peduli pada inflasi, defisit anggaran, atau indeks korupsi. Konteksnya metafisik: bagaimana cahaya ilahi bisa hadir dalam jiwa manusia. Maka, penggunaan tafsir Al-Ghazali dalam esai ini bersifat analogis, terbatas, dan kritis—bukan doktrinal, bukan literal. Tujuannya bukan membuktikan bahwa “zaitun = etika nasional”, melainkan: bagaimana kosmologi spiritual Al-Ghazali bisa memaksa kita bertanya ulang tentang hierarki nilai dalam pembangunan kita.

Fondasi Fisik: Misykat sebagai Ruh Indrawi dan Prasyarat Eksistensi

Dalam tafsir Al-Ghazali, misykat adalah ceruk dinding tempat pelita diletakkan—sebuah wadah sederhana yang melindungi nyala api dari hembusan angin. Misykat bukan sumber cahaya, bukan pula pelitanya—tapi prasyarat agar cahaya bisa eksis. Tanpanya, cahaya bisa padam dalam sekejap, menyala tak menentu, atau tanpa arah dan manfaat.

Secara simbolik, ini adalah Ruh Indriawi: kesadaran dasar yang hanya merespons sensasi langsung, tanpa imajinasi atau nalar abstrak. Seperti seorang bayi yang belum mampu berpikir kompleks atau berimajinasi, ia hanya merasakan fenomena saat itu juga. Lapar, ia menangis; nyaman, ia tertidur. Tanpa ingatan jangka panjang, segala keinginannya cepat dilupakan. Belum ada memori, belum ada harapan, belum ada pertanyaan.

Meskipun Al-Ghazali menggunakan misykat untuk menggambarkan Ruh Indriawi sebagai penerima rangsangan dari lingkungan, kita dapat meminjam istilah ini secara poetik untuk menekankan bahwa tanpa fondasi fisik yang kokoh, tak ada ruang bagi cahaya kehidupan untuk bersinar.

Dalam konteks sosial, misykat—secara metaforis, bukan literal—merujuk pada prasyarat eksistensial peradaban: keamanan, pangan, air bersih, kesehatan, dan infrastruktur dasar. Masyarakat yang masih berjuang untuk bertahan hidup sulit mencapai potensi intelektual atau moralnya, sebagaimana cahaya membutuhkan misykat yang aman untuk bersinar. Bagaimana bisa bermimpi tentang keadilan, jika tubuhnya kelaparan? Bagaimana bisa berpikir jernih, jika pikirannya dibebani ketakutan?

Namun, misykat kita rapuh.

Data BPS (2025) mencatat 23,8 juta orang (8,47%) masih hidup di bawah garis kemiskinan. Itu pun didasarkan pada standard pengeluaran yang tidak masuk akal, sama dengan atau di bawah Rp 609.160 per kapita per bulan. Itu adalah bukti bahwa bagi jutaan masyarakat, misykat-nya belum kokoh. Mereka bukan hidup untuk berkembang, melainkan bertahan agar tidak mati.

Selaras dengan teori Abraham Maslow, manusia tidak bisa mengejar aktualisasi diri sebelum kebutuhan dasarnya terpenuhi. Juga dengan filsafat John Rawls, keadilan tidak bisa dibicarakan di atas tanah yang retak. Celakanya, kita sering lupa bahwa pembangunan yang mengabaikan fondasi ini tidak pantas disebut pembangunan. Itu eksploitasi terselubung.

Budaya dan Narasi: Zujajah sebagai Ruh Imajinasi yang Menjernihkan

Al-Ghazali menyebut zujajah (kaca) sebagai medium transparan yang melindungi sekaligus memungkinkan cahaya bisa memancar. Kaca terbuat dari materi dunia yang rapuh, bisa lecet, dan mudah kotor. Namun dalam keadaan bersih, ia membiarkan cahaya melewatinya tanpa distorsi. Bukan sumber cahaya, bukan pula pelitanya, tetapi penyaring yang menentukan apakah cahaya itu menerangi sepenuhnya atau tidak.

Dalam tafsirnya, zujajah merepresentasikan Ruh Khayali: lapisan kesadaran di mana memori disimpan, bayangan dibentuk, dan realitas direpresentasikan dalam benak. Ini adalah lapisan kesadaran yang memungkinkan manusia tidak hanya merasakan, tapi mengingat dan membayangkan kembali apa yang pernah diterima indra.

Ambil contoh seorang anak yang menangis karena mainannya disembunyikan. Meskipun mainan itu sudah tidak terlihat, ia menggunakan Ruh Khayali untuk membawa gambaran mainan tersebut dalam pikiran. Tanpa kemampuan imajinasi ini, mustahil ada harapan, mimpi, atau bahkan narasi tentang diri.

Dalam tubuh peradaban, zujajah adalah ranah budaya dan narasi kolektif: kesenian, pendidikan sejarah, dan kebudayaan yang kita wariskan dari generasi ke generasi. Ia adalah kaca yang seharusnya menjernihkan realitas, agar masyarakat bisa melihat bersama, berpikir bersama, dan memutuskan bersama.

Namun, zujajah kita keruh.

Setiap hari, lini masa dan media populer dipenuhi hoaks, ujaran kebencian, dan narasi yang dipotong dari konteksnya. Data Komdigi (2022) mencatat bahwa 68% masyarakat Indonesia ragu atau tidak yakin dalam membedakan berita faktual dan palsu.

Angka ini bukan sekadar soal ketidaktahuan. Ia adalah gejala dari krisis representasi. Sebuah kondisi di mana gambaran (representasi) realitas yang kita terima melalui media, pendidikan, narasi publik, atau teknologi tidak lagi mencerminkan realitas itu sendiri, sehingga masyarakat kehilangan kemampuan untuk memahami dunia secara jujur dan utuh.

Fakta dikubur oleh emosi, kebenaran dikalahkan oleh viralitas. Yang penting bukan “apakah ini benar?”, tapi “apakah ini menyenangkan hati saya?”.

Dalam psikologi kognitif, ini dikenal sebagai schema bias: kecenderungan otak untuk menerima informasi yang sesuai dengan keyakinan yang sudah tertanam, dan menolak yang bertentangan—meski itu benar. Kaca kita tidak hanya kotor, tapi sudah dicat dari dalam.

Di sinilah zujajah kita terburamkan. Media, yang seharusnya menjadi penjernih, kini kerap berubah menjadi mesin polarisasi. Narasi kebangsaan, yang mestinya menyatukan, justru dipolitisasi dan dipecah belah. Sejarah direduksi menjadi propaganda: heroik bagi yang menang, hina bagi yang kalah. Imajinasi kolektif tidak lagi menatap masa depan dengan harapan, tapi terperangkap dalam trauma masa lalu atau khayalan sempit tentang kemurnian identitas.

Tantangannya bukan hanya literasi digital. Yang lebih dalam: siapa yang boleh bercerita? Siapa yang didengar? Siapa yang diam-diam mengatur warna kacanya?

Ketika satu suara dominan, ketika satu versi narasi dipaksakan atas semua, maka zujajah kehilangan transparansinya. Cahaya pelita masih menyala, tapi tak bisa menembus buramnya kaca. Peradaban butuh lebih dari sekadar akses informasi. Ia butuh kebebasan narasi, ruang di mana banyak suara bisa bicara, bertemu, dan saling membersihkan kaca.

Rasionalitas dan Keadilan: Mishbah sebagai Ruh Akal yang Menerangi

Pelita (mishbah) bukan cahaya itu sendiri. Ia hanya manifestasi nyatanya, perwujudan yang membuat cahaya bisa dilihat dan dirasakan. Dalam tafsir Al-Ghazali, mishbah merepresentasikan Ruh ‘Aqliyyah, akal yang mampu menangkap hukum sebab-akibat, membedakan benar-salah berdasarkan logika, dan menjangkau prinsip-prinsip universal.

Ini adalah lapisan kesadaran yang memungkinkan manusia tidak hanya hidup, tapi berpikir, menguji, dan bertanggung jawab. Tanpa mishbah, manusia kembali menjadi makhluk reaktif, digerakkan oleh emosi semata.

Dalam tubuh peradaban modern, mishbah hadir dalam bentuk sistem pendidikan bermutu, penelitian ilmiah yang independen, dan penegakan hukum yang adil. Ia adalah jantung dari rasionalitas publik—ruang di mana keputusan besar dibuat bukan karena popularitas, uang, atau tekanan politik, melainkan karena bukti dan argumen.

Namun, pelita kita redup.

Ketika persidangan bisa dibeli, maka pengadilan bukan lagi ruang pencarian kebenaran, melainkan pasar tawar-menawar. Ketika gelar akademis diperjualbelikan, universitas berubah menjadi pabrik sertifikat, bukan tempat lahirnya pemikiran kritis. Ketika statistik negara dipolitisasi demi legitimasi kekuasaan, data bukan lagi fakta, melainkan narasi yang direkayasa.

Di titik inilah mishbah bukan lagi penerang. Ia menjadi sumber asap yang mengaburkan pandangan, menyebabkan sesak bagi akal sehat kolektif. Al-Ghazali menyebut kondisi seperti ini sebagai “hijab gelap”: kabut yang memisahkan manusia dari cahaya kebenaran, bukan karena cahayanya padam, tapi karena pelitanya sendiri telah ternoda.

Ironi terbesarnya, peradaban kita terperosok ke dalam kegelapan bukan karena kurang teknologi, tapi karena kehilangan kepercayaan pada akalnya sendiri. Kita punya akses tak terbatas ke informasi, tetapi menolak untuk berpikir. Kita menghormati gelar, tapi meremehkan proses berpikir. Kita bangga pada kemajuan, tapi mudah percaya pada omong kosong yang viral.

Padahal, Al-Ghazali sendiri—yang sering dikira anti-akal—justru sangat menghargai ‘aql. Dalam Tahafut al-Falasifah, ia tidak menolak akal, melainkan mengkritik mereka yang menganggap akal bisa mencapai kebenaran tertinggi tanpa wahyu dan hati yang bersih. Ia ingin akal tidak sombong, bukan dihilangkan.

Ironis, kita malah melakukan sebaliknya. Bukan akal yang terlalu tinggi, tapi terlalu rendah. Kita tidak terjebak dalam dominasi akal murni—kita kehilangan akal sama sekali. Digantikan oleh emosi, uang, dan kekuasaan yang berbicara atas nama rakyat. Sebuah peradaban yang kehilangan mishbah-nya bukan peradaban maju. Ia adalah zaman kegelapan yang berpakaian modern.

Inovasi dan Visi: Syajarah sebagai Ruh Pemikir yang Berbuah

Akal yang sehat (mishbah) memang penting, tapi akal murni tidak cukup. Ia butuh ruang untuk bercabang, beradaptasi, dan melampaui. Butuh tanah subur tempat gagasan tumbuh bukan karena kebiasaan, tapi karena visi.

Inilah Ruh Fikriyyah: kesadaran yang tidak sekadar menangkap prinsip universal, tetapi menerjemahkannya ke dalam bentuk baru, sesuai zaman dan realitasnya. Dalam tafsir Al-Ghazali, ia dilambangkan oleh syajarah—pohon yang digambarkan dalam Surat An-Nur sebagai “tidak di timur, tidak pula di barat”, sehingga cahayanya menyala terus-menerus, tak terhalang bayangan matahari yang bergeser.

Pohon ini bukan milik timur, bukan milik barat. Ia tumbuh dari akar yang dalam, tapi bercabang tanpa batas. Simbol dari kemandirian berpikir, ijtihad kontemporer, dan keberanian intelektual untuk merumuskan jawaban atas persoalan yang belum pernah ada sebelumnya.

Dalam tubuh peradaban modern, syajarah bisa hadir dalam bentuk: pusat riset kebijakan yang visioner, think tank yang berani mengkritik arah negara, komunitas intelektual yang bukan hanya merespons krisis, tapi juga merancang masa depan berbasis logika yang responsif terhadap zaman.

Namun, pohon ini masih kurus di tanah kita.

Belanja penelitian dan pengembangan (R&D) Indonesia hanya 0,28% dari PDB (World Bank, 2024 ), jauh tertinggal dari Malaysia (0,95%) dan Singapura (2,16%). Angka ini adalah bukti defisit imajinasi strategis.

Think tank lokal, meski ada yang berkualitas, sering kali dipanggil setelah keputusan dibuat, bukan diajak merancang dari awal. Kebijakan nasional lebih sering bersifat reaktif, pragmatis, atau elektoral, bukan lahir dari proses refleksi mendalam tentang arah peradaban.

Akibatnya, kita selalu tertinggal satu langkah. Kita menghadapi revolusi digital dengan regulasi analog. Menghadapi perubahan iklim dengan proyek infrastruktur yang justru merusak ekosistem. Mengelola inovasi dengan birokrasi yang tak mengerti arti eksperimen. Kita punya banyak ahli, tapi sedikit pemikir bebas yang berani keluar dari kotak timur maupun barat.

Kita mengimpor solusi, bukan melahirkan mimpi. Padahal, syajarah yang sejati tidak tumbuh dari meniru. Ia tumbuh dari akar lokal dan disirami oleh nilai. Ia tidak butuh izin dari pusat kekuasaan untuk berpikir. Ia hanya butuh kebebasan, dukungan, dan rasa hormat terhadap pikiran sebagai ibadah.

Peradaban yang ingin bercahaya harus menanam pohon ini. Bukan sekadar memagari pelita, membersihkan kaca, atau menjaga nyala api. Tapi merawat taman pemikiran, tempat banyak pohon bisa tumbuh, bercabang, dan memungkinkan keberlanjutan. Karena masa depan tidak diramal. Ia dirancang oleh mereka yang berani bermimpi sambil berpikir.

Jiwa dan Tujuan: Zaitun sebagai Ruh Suci yang Memberi Makna

Lalu muncul pertanyaan terakhir—yang paling sunyi, tapi paling menentukan: Untuk apa semua ini?

Untuk apa jalan tol membentang sejauh mata memandang, jika hanya dinikmati oleh segelintir orang, sementara desa-desa di pinggirannya masih gelap? Untuk apa sistem hukum yang rumit dan canggih, jika digunakan bukan untuk keadilan, tapi untuk melindungi yang berkuasa? Untuk apa inovasi teknologi yang mengagumkan, jika hasilnya rakyat yang terasing dari tanahnya?

Di sinilah kita sampai pada elemen paling mulia dalam pelita itu: zaitun—minyak zaitun yang digambarkan dalam Surat An-Nur sebagai “bercahaya, walaupun tidak tersentuh api”.

Dalam tafsir Al-Ghazali, zaitun adalah simbol Ruh Qudsiyyah: ruh suci, cahaya ilahi yang menyala dari dalam, bukan karena gesekan dunia, tapi karena kehadiran Tuhan dalam hati manusia. Ia bukan sumber cahaya itu sendiri, tapi bahan bakar yang membuat cahaya bisa menyala lama, stabil, dan menerangi tanpa asap. Tanpa zaitun, pelita akan cepat padam.

Dalam tubuh peradaban, zaitun adalah fondasi moral, etika transenden, spiritualitas publik, dan kepemimpinan yang tercerahkan. Bukan agama yang dipolitisasi, bukan dogma yang dipaksakan, tapi kesadaran kolektif akan tanggung jawab kepada sesama, alam, dan Yang Maha Adil.

Ia adalah mengapa di balik setiap apa dan bagaimana. Mengapa kita membangun? Bukan demi kemegahan, bukan demi kekuasaan, tapi demi kemanusiaan yang lebih adil, damai, dan bermartabat.

Namun, di sinilah bahaya terbesar mengintai—yang disebut Al-Ghazali sebagai “hijab cahaya murni”: ketika manifestasi cahaya menjadi tirai yang menghalangi Sang Sumber Cahaya. Peradaban bisa maju pesat di empat tingkatan sebelumnya—fondasi kokoh (misykat), narasi jernih (zujajah), akal sehat (mishbah), inovasi visioner (syajarah)—namun tetap jatuh menjadi monster jika kehilangan zaitun-nya.

Ia menyembah kenikmatan materi sebagai tuhan (misykat yang dipuja), viralitas dan popularitas sebagai kebenaran (zujajah yang dikultuskan), akal sebagai satu-satunya jalan (mishbah yang sombong), inovasi tanpa batas sebagai keselamatan (syajarah yang tak bertuhan). Semua dimuliakan, tapi Sang Pemberi Cahaya dilupakan.

Inilah wajah nyata dari peradaban yang terperangkap dalam hijab manifestasi cahaya: teknokrasi tanpa moral, kapitalisme tanpa etika, pembangunan tanpa jiwa. Kita punya data, punya strategi, punya infrastruktur, tapi tidak punya rasa malu saat keadilan ditindas, tidak punya kerinduan akan kejujuran yang tulus, tidak punya keberanian untuk berkata “cukup” atas nama kemanusiaan.

Padahal, zaitun tidak membutuhkan istana. Ia tumbuh di tanah yang sederhana. Ia menyala dalam hati yang jujur, dalam pemimpin yang rela tidak populer demi kebenaran, dalam rakyat yang masih peduli pada nasib anak cucu mereka. Peradaban yang bercahaya bukan yang paling gemerlap. Tapi yang paling setia pada nuraninya sendiri.

Menuju Indonesia Bercahaya

Saya tidak punya solusi teknis. Tidak ada rumus ajaib dalam tafsir sufistik. Yang saya tawarkan hanyalah serangkaian pertanyaan dari kelima elemen yang menyusun pelita peradaban: misykat, zujajah, mishbah, syajarah, dan zaitun. Pertanyaan-pertanyaan ini bukan untuk dijawab oleh para ahli di menara oleh yang katanya mewakili kita saja, tapi oleh kita semua—di tengah hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari:

  • Apakah pembangunan kita memperkuat misykat, atau hanya memperindah permukaan? Adakah cukup makanan dan keaman bagi yang paling rapuh?
  • Sudahkah zujajah kita dibersihkan dari distorsi dan kebencian? Apakah narasi kita masih mampu menjernihkan, atau justru memecah?
  • Apakah mishbah kita masih menyala sebagai penerang, atau telah menjadi alat kekuasaan? Adakah ruang bagi kebenaran yang tak bisa dibeli?
  • Adakah ruang bagi syajarah—pemikiran bebas yang visioner, yang berani merancang masa depan tanpa harus meniru Timur maupun Barat?
  • Dan yang paling penting: Mana zaitun-nya? Di mana letak moral transenden, etika publik, dan kepemimpinan yang tercerahkan? Untuk apa semua ini, jika bukan demi kemanusiaan yang lebih adil?

Sebab, ruh suci (zaitun) membutuhkan strategi (syajarah) untuk diwujudkan. Strategi itu harus berakar pada logika dan keadilan (mishbah). Logika akan lumpuh jika narasi publik (zujajah) dipenuhi kebencian. Tapi semuanya runtuh jika fondasi fisik (misykat) ambruk.

Di sinilah konsep Ummatan Wasathan menemukan wujudnya: peradaban yang seimbang—tidak terjebak dalam materialisme yang mengabaikan jiwa, juga tidak larut dalam spiritualisme yang meminggirkan akal dan realitas. Ia adalah sintesis harmonis yang la syarqiyyah wa la gharbiyyah: bukan timur, bukan barat, melainkan jalan lurus yang memadukan semua dimensi dalam kerangka Tauhid—kesatuan hakiki antara hati, akal, dan tindakan.

Epistemologi cahaya Al-Ghazali memang bukan kitab pembangunan. Model lima dimensi ini bukan kebenaran mutlak. Ia rapuh, metaforis, dan bisa salah. Tapi kadang, yang kita butuhkan bukan kepastian, melainkan keberanian untuk mempertanyakan arah.

Indonesia tidak butuh lebih banyak rencana lima tahun. Ia butuh mimpi yang tulus tentang peradaban cahaya—yang tidak hanya gemerlap, tapi juga bercahaya dari dalam. Bukan mimpi dari atas, bukan visi dari istana, tapi mimpi yang tumbuh dari tengah: di warung kopi yang bising, di kampus yang riuh oleh debat, di masjid yang memeluk damai, di sanggar yang melahirkan imajinasi, dan di ruang digital yang tidak diracuni kebencian.

Peradaban yang sesungguhnya bukan diukur dari seberapa tinggi menaranya, tapi dari seberapa dalam ia menerangi jiwa rakyatnya. Barangkali, cahaya itu tidak hanya dihadirkan dari proyek nasional, tapi juga dari satu pertanyaan jujur: “Untuk siapa kita membangun?”

Dari sana, mimpi bisa tumbuh. Pelita bisa dinyalakan. Pada akhirnya, sangat mungkin Indonesia bisa menjadi peradaban cahaya.

SendTweetShare
Previous Post

Empati: Jembatan Kemanusiaan atau Senjata Manipulasi

Next Post

Ekonomi, Perang, dan Ilusi Kemakmuran

Chudzaifi Alawil Haddaddegusti

Chudzaifi Alawil Haddaddegusti

Related Posts

Ekonomi, Perang, dan Ilusi Kemakmuran
Esensia

Ekonomi, Perang, dan Ilusi Kemakmuran

October 10, 2025
Empati: Jembatan Kemanusiaan atau Senjata Manipulasi
Esensia

Empati: Jembatan Kemanusiaan atau Senjata Manipulasi

October 9, 2025
Partai Politik Semakin Lemah
Esensia

Partai Politik Semakin Lemah

October 3, 2025
Gelap Terang Topeng Digital
Esensia

Gelap Terang Topeng Digital

October 2, 2025
“Eling lan Waspada”: Sebuah Pijakan
Esensia

“Eling lan Waspada”: Sebuah Pijakan

October 2, 2025
Janji Gizi, Pengkhianatan di Piring Sekolah
Esensia

Janji Gizi, Pengkhianatan di Piring Sekolah

October 1, 2025

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta