MANUSIA memang tempatnya salah dan lupa. Begitulah cara banyak orang membentengi diri saat dia berbuat kesalahan. Dengan sebuah ungkapan sederhana, tampak terasa cukup untuk menutupi kesalahan yang diperbuat, alih-alih meminta maaf dan memperbaiki diri. Padahal, sering kali manusia itu melakukan kesalahan karena langkah yang sudah dia prediksi sebelumnya. Terkadang, manusia hanya ingin mendapatkan validasi untuk kesekian kali atas keputusan yang dia ambil sebelumnya.
Sementara, Al Qur’an sudah menegaskan bahwa hidup adalah permainan dan senda gurau. Meskipun hanya permainan dan senda gurau, kita melalui kehidupan ini dengan sangat dinamis. Tidak selalu bercanda, justru lebih sering serius. Pertandingan sepakbola saja yang hanya 90 menit, rule of the game yang digunakan sangat detail, bahkan untuk mengukur presisi garis offside saja sekarang sudah dibantu teknologi bernama VAR; Video Assistant Referee. Jumlah kamera yang digunakan untuk menayangkan secara langsung sebuah pertandingan bisa mencapai 20-30 kamera dalam satu stadion. Hampir tidak ada celah bagi seorang pemain sepakbola untuk melakukan hal-hal yang melanggar rule of the game. Bahkan, suporter yang menunjukkan rasisme bisa langsung disuruh keluar stadion dan akan di-banned seumur hidup untuk tidak lagi bisa menonton pertandingan secara langsung di stadion.
Sepakbola seakan menjadi sebuah panggung yang bisa kita pelajari. Dalam 90 menit sebuah pertandingan sepakbola, kita akan menyaksikan berbagai macam drama. Dari sudut pandang seorang penikmat sepakbola, kita akan disajikan dua kesebelasan yang beradu taktik dan strategi. Sebelas pemain yang diturunkan oleh masing-masing kesebelasan yang diumumkan satu jam jelang pertandingan saja sudah akan menghadirkan banyak prediksi bagaimana jalannya duel kedua kesebelasan.
Sejatinya, setiap pemain yang diturunkan sudah memahami makna eling lan waspada itu. Mereka sudah sangat faham bagaimana seharusnya sepakbola dimainkan di setiap levelnya. Ketika pertandingan dimainkan pada level internasional, pemain sepakbola sudah memahami bahwa ia akan ditonton jutaan pasang mata di seluruh dunia.
Sebagai penonton, kita berharap sebuah pertandingan menghadirkan duel antara kedua kesebelasan yang menghibur. Bukan hanya gol yang tercipta, namun bagaimana strategi dimainkan, umpan bola dari kaki ke kaki antar pemain, bagaimana sebuah kesebelasan bertahan kemudian mampu melakukan transisi menyerang atau sebaliknya, menjadi hiburan yang menarik. Meskipun tidak jarang kita disajikan sebuah pertandingan yang membosankan, ketika kedua kesebelasan sama-sama memainkan strategi bertahan dan saling menunggu sebelum melakukan serangan.
Setiap pemain sudah ditugaskan perannya, bermain di area mana, dan apa yang harus dilakukan. Rule of the game yang ditentukan harus dipatuhi. Namun kembali lagi, sepakbola pun permainan dan juga senda gurau. Ada banyak taktik yang bisa digunakan, salah satunya adalah Furbizia.
Furbizia adalah sebuah taktik yang dilakukan tidak secara langsung sebagai sebuah strategi permainan. Italia sangat fasih melakukan taktik ini. Tekanan psikologis yang diperagakan, mencoba memecah fokus kesebelasan lawan, mengulur waktu dengan momen-momen tak penting, tujuannya untuk mempertahankan keunggulan dan membuat lawan kehilangan fokus.
Secara rule of the game milik FIFA, tidak ada yang dilanggar dengan Furbizia itu. Pertandingan dapat dimainkan secara normal. Namun, dalam keadaan unggul secara skor, Furbizia menjadi strategi yang lain untuk dimainkan demi mempertahankan keunggulan.
Banyak dari penikmat sepakbola begitu dongkol menyaksikan strategi bertahan ala parkir bus yang dimainkan oleh Jose Mourinho beberapa tahun lalu. Nyatanya, strategi itu merupakan antitesis dari tiki-taka yang dimainkan oleh Pep Guardiola. Banyak orang terhibur dengan gaya total football yang diperagakan oleh kesebelasan Belanda. Betapapun menghiburnya permainan mereka, nyatanya belum sekalipun Belanda manjadi Juara Dunia.
Jadi, meskipun sepakbola adalah sebuah pertandingan yang dimainkan dalam sebuah lapangan, setiap pemain memiliki fondasi untuk tetap eling lan waspada. Terdengar sangat simpel, tetapi memang itu yang dibutuhkan. Begitu juga dengan kehidupan ini yang jelas-jelas ditegaskan sebagai permainan dan senda gurau, nyatanya kita juga tidak main-main dalam menjalani hidup.
Di Maiyah, juga di Kenduri Cinta salah satu hal yang mendasar yang dilakukan oleh Cak Nun adalah melestarikan kembali falsafah hidup yang mulai dilupakan oleh banyak orang. Salah satunya adalah eling lan waspada. Sepemahaman saya, eling itu tidak hanya sekadar ingat, tetapi juga memahami. Atas sesuatu yang sudah kita ingat, sudah kita pelajari, dan sudah kita yakini, kita juga harus memahami kenapa hal itu berlaku. Kenapa api itu panas, kenapa cabai itu pedas, kenapa gula itu manis dan seterusnya. Kenapa mencuri itu tidak baik, kenapa gotong royong itu diperlukan, kenapa tepo sliro itu dianjurkan, dan seterusnya. Kita tidak hanya mengingat, namun juga memahami kenapa semua itu berlaku di kehidupan ini. Sementara, bagaimana kita bisa paham jika mengingat saja kita tidak mampu.
Waspada. Sesederhana saat kita melakukan perjalanan dari Jakarta ke Bandung mengendarai mobil. Kita harus waspada, apakah bahan bakarnya cukup, tekanan ban sudah aman, kemudian di jalan tol yang akan dilalui harus memperhatikan ada lubang atau tidak, sesekali memperhatikan kaca spion, mengatur kecepatan yang digunakan, dan seterusnya. Semua itu dilakukan dalam rangka waspada. Apalagi dalam hidup yang kita lalui, lebih banyak hal yang harus kita ingat dan harus kita waspadai.
Pada satu momen, dr Ryu Hasan menyampaikan dengan nada yang meyakinkan, bahwa menjadi kaya itu salah satu jalan untuk mencapai kebahagiaan. Setidaknya, menjadi orang yang kaya dengan memiliki harta yang banyak, meningkatkan kemungkinan seseorang menjalani hidup lebih bahagia. Karena memang tidak semua orang kaya bisa merasa bahagia. Tentu saja, menjadi orang kaya bukan satu-satunya cara agar kita menjadi bahagia. Seperti halnya saat kita sekolah kemudian kuliah, dengan dinyatakan lulus Sarjana tidak menjamin kita bisa hidup lebih sejahtera, hanya saja dengan Ijazah S1 meningkatkan probabilitas kita untuk bisa mengusahakan kesejahteraan hidup yang lebih layak. Yang saya pahami; kita boleh menjadi orang kaya, tetapi kita harus eling lan waspada, tentang bagaimana kita mencapai kekayaan itu dan pada titik yang mana kita sudah harus berhenti untuk merasa cukup kaya.
Seperti dalam sepakbola, semakin banyak satu kesebelasan menguasai bola, maka probabilitas untuk mencetak gol semakin besar. Namun, apakah kesebelasan yang tidak menguasai bola tidak memiliki kemungkinan untuk memenangkan pertandingan? Ternyata tidak juga. Memang hidup ini penuh dengan paradoks bukan? Kita semua percaya Dajjal akan muncul di akhir zaman nanti, dan kita semua mengetahui rumusnya yang mempercepat Dajjal muncul. Yang kita lakukan justru memperlambat kemunculan Dajjal. Begitulah hidup ini berjalan, ada saja hal-hal yang mengejutkan kita. Tidak heran jika leluhur kita dulu memberi bekal kita dengan falsafah: Eling lan Waspada.






