ADA YANG BILANG, kekuasaan itu seperti panggung besar: gemerlap, penuh tepuk tangan, tapi rawan membuat orang lupa pada penonton yang duduk di bangku belakang. Di negeri ini, banyak pemimpin berpidato lantang tentang kesejahteraan rakyat, namun semakin jarang terlihat duduk bersama rakyat itu sendiri. Kondisi yang terjadi belakangan ini di kabupaten Pati menjadi refleksi bagi para pemimpin bangsa bahwasanya rakyat adalah pengendali utama (arus utama) dalam pengambilan keputusan, Namun para umara seakan tutup mata dalam pengambilan keputusan. Keputusan diambil bukan atas dasar keinginan rakyat namun atas dasar keinginan para penguasa.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di satu daerah. Dalam skala nasional, survei Indeks Demokrasi Indonesia menunjukkan adanya penurunan partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan. Artinya, semakin banyak keputusan yang dibuat tanpa keterlibatan rakyat. Padahal, dari masa awal kemerdekaan, Indonesia dibangun dengan semangat musyawarah dan gotong royong, dua nilai yang kini mulai kehilangan tempat.
Padahal, Allah berfirman dalam QS. Asy-Syura ayat 38, “Orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan salat, sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka. Mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” Ayat ini sederhana namun tegas: musyawarah merupakan napas kepemimpinan.
Ayat diatas seakan menjadi pengingat bahwa semua keputusan harus diambil secara musyawarah, dalam hal ini prakteknya adalah hasil kesepakatan antara para pemimpin dan masyarakat. Pertanyaannya, “Apakah Pemimpin kita hari ini sudah menjalankan praktek musyawarah?”
Kita melihat bahwa akibat dari kondisi yang tidak optimal ini terbentuk panggung kekuasaan makin tinggi, sedangkan suara rakyat makin jauh tidak terdengar. Ketika jarak ini dibiarkan, nilai paling mendasar dalam kepemimpinan yaitu “humanisme” dan “harmoni” terancam terkikis atau bahkan hilang.
Seperti yang kita tahu, pemimpin humanis memandang rakyat bukan sebagai angka statistik atau hitungan nilai angka, melainkan manusia dengan harapan, rasa, dan martabat. Pemimpin harus selalu harmonis serta menjaga keseimbangan dan sinergisitas antara aspirasi rakyat dengan kebijakan pembangunan.
Dalam suatu waktu Bung Hatta pernah mengingatkan, “Pemerintah tidak boleh menjadi penguasa yang berdiri di atas rakyat, tetapi harus menjadi pengurus yang melayani rakyat.” Prinsip ini menegaskan bahwa kekuasaan adalah amanah, dan pemimpin adalah pelayan rakyat paling utama. Tapi kondsi di lapangan, terlalu banyak kebijakan lahir dari ruang rapat tertutup, tanpa mendengar suara rakyat di luar tembok kekuasaan. Pemimpin kerap tampil seperti “pemberi perintah” alih-alih sebagai “pelayan rakyat”.
Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) menambahkan, “Pemimpin adalah nakhoda kapal, sementara rakyat adalah perahu. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa membawa perahu (rakyat) mengarungi samudra kehidupan dengan selamat. Namun, jika pemimpin tidak bijaksana, ia bisa tenggelam bersama perahunya (rakyatnya) karena diterjang ombak yang diciptakan oleh kesalahan kepemimpinannya sendiri.”
Menurut kami solusi utama dan yang paling masuk akal untuk saat ini adalah bukan sekadar membangun infrastruktur atau membuat regulasi baru, tetapi menghidupkan kembali dialog antara pemimpin dengan rakyat yang terkesan mulai ditinggalkan, praktek musyawarah harus terus hadir di tengah tengah masyarakat untuk menjawab kondisi sosial. Ruang-ruang diskusi antara pemimpin dengan rakyat perlu dibuat inklusif. Tidak hanya di meja sidang, tetapi juga di pasar, di sawah, di jalan serta di manapun tempat rakyat hidup dan berjuang. Teladan seperti inilah yang membangun kepercayaan rakyat. Pemimpin yang mau berpanas-panas di lapangan, membaur di tengah rakyat, dan mengalah dalam musyawarah demi suara mayoritas akan lebih dihormati.
Satu hal yang perlu dan harus digarisbawahi adalah pemimpin perlu berani mengakui kesalahan yang dibuatnya, memperbaikinya dengan baik, dan menempatkan rakyat sebagai pusat pengambilan keputusan. Para pemimpin harus ingat bahwa kekuasaan hanyalah titipan singkat dan amanah yang harus diperjuangkan. Hakikatnya, yang akan abadi adalah rasa percaya rakyat pada pemimpin. Itu hanya lahir dari hati yang mau mendengar. Kutipan yang tertulis di Al-Quran mengingatkan bahwa penting bagi para pemimpin untuk bermusyawarah dan berdialog. Bung Hatta memberi pesan bahwa rakyat adalah pelayan, Cak Nun mengingatkan hubungan batin antara pemimpin dengan rakyat.
Sejarah akan mencatat, bukan siapa yang duduk di kursi kekuasaan, tetapi siapa yang mampu menjadikan kursi itu sebagai tempat untuk mendengar serta berapa banyak hati rakyat yang pernah disentuh dan di pahami.