DASAR dari setiap pengetahuan adalah pengalaman. Melalui pengalaman, manusia membangun fondasi rasional untuk memahami dunia. Tanpa pengalaman, pengetahuan hanya akan menjadi spekulasi yang rapuh. Imajinasi memang penting, tetapi ia tidak bisa berdiri sendiri sebagai landasan pengetahuan. Imajinasi berfungsi sebagai jembatan menuju kemungkinan baru, namun jembatan itu harus ditopang oleh pijakan empiris agar tidak runtuh.
Albert Einstein pernah berkata:
“Imagination is more important than knowledge. For knowledge is limited, whereas imagination embraces the entire world.”
Kutipan ini sering disalahpahami seolah-olah imajinasi lebih berharga daripada pengetahuan empiris. Padahal, maksud Einstein bukanlah menyingkirkan pengetahuan, melainkan menekankan bahwa imajinasi membuka cakrawala yang lebih luas daripada batas-batas pengetahuan yang kita miliki saat ini. Pengetahuan terbatas pada sesuatu yang sudah ditemukan dan dibuktikan, sementara imajinasi mampu merangkul kemungkinan yang belum terjamah, bahkan membayangkan dunia yang belum ada.
Imajinasi tidak bisa berdiri sendiri. Ia membutuhkan pengetahuan sebagai fondasi agar tidak jatuh menjadi fantasi kosong. Dalam sains, imajinasi melahirkan hipotesis, tetapi pengalaman dan eksperimen-lah yang menguji validitasnya. Begitu pula dalam seni, imajinasi melahirkan karya, tetapi pengetahuan teknis memberi struktur agar karya itu dapat diwujudkan. Korelasi antara keduanya menjadikan imajinasi bukan sekadar mimpi, melainkan jalan menuju penemuan dan penciptaan yang nyata.
Dengan demikian, kutipan Einstein mengingatkan kita bahwa imajinasi adalah kekuatan yang melampaui batas pengetahuan, tetapi tetap harus berpijak pada pengalaman dan rasionalitas. Ia adalah sayap yang memungkinkan manusia terbang lebih tinggi, sementara pengetahuan adalah tanah tempat kita berpijak agar tidak kehilangan arah.
Sejarah dan Musik: Sinergi Imajinasi dan Pengetahuan
Sejarah ilmu pengetahuan penuh dengan contoh bagaimana imajinasi dan pengalaman saling melengkapi. Teori relativitas Einstein lahir dari imajinasi tentang bagaimana cahaya dan waktu bekerja, tetapi kemudian dibuktikan melalui eksperimen dan pengamatan astronomi. Begitu pula dengan penemuan DNA oleh Watson dan Crick, berawal dari imajinasi tentang struktur molekul, lalu dikonfirmasi oleh data eksperimen Rosalind Franklin.
Imajinasi adalah pintu masuk, sementara pengalaman adalah kunci yang mengesahkan pengetahuan.
Musik juga menjadi ruang pertemuan keduanya. Pengetahuan memberi struktur: teori nada, harmoni, ritme, dan teknik memainkan instrumen. Tanpa pengetahuan, musik akan kehilangan kerangka yang membuatnya dapat dipahami dan dimainkan secara konsisten. Namun, pengetahuan saja tidak cukup. Imajinasi diperlukan untuk menembus batas-batas teori, menciptakan variasi baru, dan menghadirkan ekspresi yang unik.
Jazz adalah contoh paling jelas. Improvisasi jazz lahir dari imajinasi musisi yang berani keluar dari pola baku, tetapi tetap berpijak pada pengetahuan tentang tangga nada, akor, dan progresi harmoni. Louis Armstrong dan Miles Davis menunjukkan bagaimana teori musik berpadu dengan kreativitas untuk melahirkan gaya yang revolusioner.
Gamelan KiaiKanjeng: Imajinasi yang Berakar pada Tradisi
Cak Nun dan KiaiKanjeng berhasil menghadirkan sajian musik yang sangat berbeda dari musik yang sudah pernah ada. Cak Nun mengawali karier bermusiknya melalui musik-puisi yang digagas bersama Karawitan Dinasti pada tahun 70-an di Jogja. Pendekatan kultural Cak Nun dengan melahirkan puisi-puisi kritis terhadap penguasa, direspons dengan aransemen musik Karawitan Dinasti yang digawangi oleh Nevi Budiyanto, Godor Widodo, Narto Piyul, Joko Kamto, dan lainnya, memberi warna tersendiri di jagat dunia sastra Jogja saat itu.
Singkat cerita, Cak Nun aktif melahirkan beberapa naskah repertoar untuk dipentaskan dalam panggung teater. Salah satu yang ikonik adalah “Pak Kanjeng”, sebuah repertoar yang mengungkapkan perlawanan rakyat kecil terhadap otoritarianisme Orde Baru yang memaksakan pembangunan Waduk Kedung Ombo. Dari lakon teater ini, lahirlah komunitas Pak Kanjeng yang kemudian bertransformasi menjadi Gamelan KiaiKanjeng, yang digagas Toto Rahardjo.
Jika ditilik dari susunan tangga nadanya, Gamelan KiaiKanjeng justru membelot dari tangga nada gamelan Jawa; ia tidak pelog juga tidak slendro. Solmisasi yang disusun oleh Nevi Budiyanto justru berbeda: sel-la-si-do-re-mi-fa-sol. Pada satu momen, Nevi Budiyanto mengakui bahwa penyusunan tangga nada ini secara khusus ia susun untuk mengakomodir improvisasi Cak Nun saat di panggung.
Sense of Ngeng adalah metode yang dikembangkan oleh Nevi Budiyanto untuk selalu beradaptasi saat Cak Nun meminta personel Gamelan KiaiKanjeng mengulik beberapa lagu. Saat tur ke Mesir di tahun 2003, Cak Nun meminta Gamelan KiaiKanjeng mengaransemen ulang lagu-lagu karya Ummi Kultsum. Saat dipentaskan di Mesir, orang-orang Mesir merasa takjub bahwa karya legendaris Ummi Kultsum dengan aransemen dan alat musik yang belum pernah mereka temui, dapat dimainkan dengan sangat apik.
Selain Nevi Budiyanto dan Joko Kamto, Gamelan KiaiKanjeng diisi oleh musisi-musisi yang piawai; Ari Sumarsono, Joko SP, Jijid, Bayu, Yoyok hingga Ismarwanto (alm). Dilengkapi dengan suara-suara vokal Yuli, Nia, Imam Fatawi, Islamiyanto, Donny, Zainul (alm) hingga Novia Kolopaking mewarnai musikalitas Gamelan KiaiKanjeng yang mampu mengakomodir berbagai jenis genre musik.
Album seperti Kado Muhammad (dengan lagu ikonik Tombo Ati), Menyorong Rembulan, Wirid Padhangmbulan, dan Raja Diraja menunjukkan imajinasi spiritual berpadu dengan teknik musikal. KiaiKanjeng bukan sekadar grup musik; mereka menjadi ruang dialog budaya dan spiritual, tampil di panggung nasional hingga internasional. Musik mereka adalah bukti bahwa imajinasi yang berpijak pada pengetahuan mampu melahirkan karya yang melampaui batas tradisi.
Hal yang dilakukan oleh Cak Nun bersama KiaiKanjeng dan pergerakan Maiyah bukan hanya berpusat pada forum diskusi semata, tetapi membuka ruang yang jauh lebih luas, di mana musik menjadi elemen penting dalam dialog dengan masyarakat. Dalam konteks Indonesia yang multikultural, dengan keberagaman etnis, bahasa, agama, dan tradisi, pendekatan ini menjadi sangat relevan. Musik berperan sebagai bahasa universal yang mampu menembus sekat-sekat sosial dan kultural, sehingga pesan yang disampaikan tidak hanya dipahami secara intelektual, tetapi juga dirasakan secara emosional.
Maiyah hadir sebagai gerakan yang mengedepankan kebersamaan, keterbukaan, dan pembelajaran kolektif, bukan sekadar forum wacana. Salah satu basis terkuatnya adalah Kenduri Cinta di Jakarta, yang menjadi ruang pertemuan lintas-generasi dan latar belakang sosial. Kenduri Cinta sendiri merupakan salah satu simpul Maiyah yang berakar dari PadhangmBulan di Jombang—forum embrional yang digagas Cak Nun sejak akhir 1990-an. Dari PadhangmBulan, gagasan Maiyah berkembang menjadi jaringan forum yang tersebar di berbagai kota, mengusung nilai persaudaraan, spiritualitas, dan kebebasan berpikir.
Dalam setiap forum, musik KiaiKanjeng bukan sekadar hiburan, melainkan medium komunikasi yang mengikat dialog. Saat kata-kata terkadang terkungkung oleh logika, musik hadir untuk menjembatani rasa. Aransemen KiaiKanjeng yang memadukan gamelan dengan berbagai genre dunia mencerminkan filosofi Maiyah: merangkul perbedaan, mengolah tradisi, dan membuka ruang bagi imajinasi. Di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk, pendekatan ini menjadi oase yang menyejukkan, mengajak setiap orang untuk berpikir, merasakan, dan saling memahami.






