DI SEBUAH KAFE yang ramai oleh suara notifikasi ponsel dan obrolan tentang start-up, seorang mahasiswa teknik duduk bersama temannya dari fakultas ekonomi. Mereka sedang membicarakan isu yang belakangan viral di media sosial: “Jurusan filsafat itu tidak penting. Apa gunanya berpikir terlalu dalam, kalau ujung-ujungnya dunia butuh pekerjaan nyata?”
“Lihat saja,” kata mahasiswa teknik itu sambil menatap layar ponselnya, “video ini sudah ditonton jutaan kali.” Orang-orang bilang filsafat cuma buang waktu. Katanya, “Nggak ada perusahaan yang butuh filsuf. Semua butuh programmer, insinyur, atau akuntan.”
Temannya dari jurusan ekonomi tertawa pendek. “Lucu, ya. Mereka lupa kalau hampir semua jurusan punya mata kuliah filsafat di semester awal. Jadi, sebenarnya filsafat itu wajib, cuma kita nggak pernah menganggapnya penting.”
Percakapan mereka hanyalah potret kecil dari kebingungan publik hari ini. Di era digital, ketika algoritma menggiring atensi kita pada jawaban instan, filsafat terdengar seperti bahasa asing yang tidak punya nilai praktis. Ironis, justru dari filsafat lahir pertanyaan-pertanyaan yang mendasari setiap cabang ilmu: apa itu kebenaran? Apa itu keadilan? Untuk apa kita bekerja, mencipta, dan hidup?
Di ruang kuliah yang dingin oleh pendingin udara, seorang dosen—guru besar filsafat—mengawali pertemuan dengan pertanyaan yang sederhana tapi menghentak:
“Kenapa kamu datang ke sini? Apa yang kamu cari di bangku kuliah ini? Ijazah? Pekerjaan? Atau… dirimu sendiri?”
Murid-muridnya terdiam. Pertanyaan itu bukan sekadar formalitas. Ia seperti pintu kecil yang memaksa setiap orang menengok ke dalam, mencari alasan di balik semua aktivitas yang dijalani. Mungkin di situlah filsafat mengambil peran, bukan untuk memberi jawaban yang pasti, tetapi untuk mengguncang keyakinan bahwa kita sudah tahu segalanya.
Dosen itu bercerita tentang sebuah buku: Seni Memahami. Dalam buku itu, dijelaskan bahwa memahami berbeda dengan mengetahui. Mengetahui adalah menghafal data, sedangkan memahami adalah menjadikan data itu hidup dalam diri kita. Filsafat—katanya—bukan sekadar disiplin akademik, melainkan seni untuk memahami makna hidup.
Di tengah arus informasi seperti saat ini, kemampuan memahami adalah kemewahan. Kita tahu banyak hal—siapa presiden negara ini, apa merek ponsel terbaru—tapi kita jarang mengerti kenapa hal-hal itu penting bagi hidup kita.
Cerita tentang filsafat selalu bertabrakan dengan ironi. Hampir semua ilmu, entah teknik, hukum, atau ekonomi, berdiri di atas fondasi filsafat. Dalam hukum—misalnya—filsafat menuntun pada pertanyaan tentang keadilan yang tak bisa dijawab hanya dengan pasal-pasal. Dalam teknik, filsafat mendorong kita mempertanyakan tujuan di balik setiap penciptaan teknologi: apakah ia memanusiakan, atau justru merenggut kemanusiaan?
Namun di luar kelas, dunia seakan memuja kepraktisan. Sebuah video di TikTok menertawakan mahasiswa filsafat yang ditanya “kerja apa nanti?”—seakan ukuran satu-satunya dari sebuah ilmu adalah gaji. Video itu viral, disebarkan, dibahas di podcast, bahkan diangkat menjadi meme.
Mahasiswa ekonomi yang duduk di kafe itu akhirnya berkata, “Lucu ya, orang bilang filsafat tidak penting, tapi semua orang sibuk cari arti hidupnya di tengah stres kerja, patah hati, atau kehilangan.”
Mahasiswa teknik itu terdiam, memikirkan ujian matematika yang hanya menuntut jawaban satu angka benar. Bukankah hidup lebih sering memberi kita pertanyaan tanpa jawaban?
Di balik narasi viral itu, filsafat seolah menunggu di lorong sepi. Ia tidak memaksa, tidak marah, hanya terus bertanya. Pada akhirnya, orang yang menganggap filsafat tidak penting sesungguhnya sedang menghindar dari pertanyaan paling mendasar: Untuk apa kita melakukan semua ini?
Filsafat bukan sekadar mata kuliah wajib yang kita lewati dengan catatan seadanya. Ia seperti fondasi yang tak terlihat: mungkin tak tampak di permukaan, tetapi runtuhnya fondasi itu berarti runtuh pula bangunan yang kita banggakan.
Ketika saya mengingat percakapan dua mahasiswa itu di kafe, saya justru merasa viralnya isu “ketidakpentingan” filsafat adalah penanda zaman yang tepat. Kita sibuk pada permukaan, tapi takut menyelam ke dalam. Kita haus akan kesimpulan, tetapi enggan menempuh proses memahami.
Filsafat tidak menjanjikan jawaban pasti, tapi ia mengajarkan cara bertanya yang lebih jujur. Mungkin itu yang membuatnya terasa tidak praktis karena ia menantang kenyamanan kita.
Tetapi, bukankah kemajuan lahir dari orang-orang yang berani bertanya, bukan dari mereka yang hanya puas dengan jawaban yang sudah ada?
Di era yang dipenuhi kecepatan dan sensasi, filsafat justru mengajak kita berjalan pelan, melihat ke kiri-kanan, menimbang makna, dan pada akhirnya menemukan diri kita sendiri.