Padahal feodalisme itu, kalau mau jujur, semacam penyakit sosial. Tapi alih-alih dianggap wabah yang harus segera ditumpas, ia justru diwarisi dan disimpan dalam ruang bawah sadar manusia Indonesia seperti pusaka leluhur. Dengan bangga orang membawa penyakit itu ke pesta, ke gedung parlemen, bahkan ke layar kaca. Feodalisme tak lagi sekadar hubungan tuan–jongos di perkebunan kolonial, ia sudah berubah menjadi semacam “prestise” sosial: gelar di depan nama, kursi empuk yang hanya bisa diduduki oleh darah tertentu, atau bahasa tubuh yang menuntut orang lain menunduk lebih dulu.
Sejarah kita tahu bahwa feodalisme pernah dipakai kolonial untuk menaklukkan pribumi. Tapi siapa sangka, setelah kemerdekaan, ia tetap dipelihara dengan cara lain—dalam ritual hormat-bapak, dalam nepotisme yang manis dibungkus kekeluargaan, atau dalam gengsi jabatan yang lebih bernilai daripada kinerja. Di sinilah ironi itu bekerja, posisi penyakit berubah menjadi kebanggaan. Seolah tanpa feodalisme, manusia Indonesia merasa telanjang, kehilangan identitas.
Karena ia tersimpan di bawah sadar, feodalisme selalu menemukan cara baru untuk hidup. Dari keraton yang dijaga dengan protokol sakral, ke kantor birokrasi yang penuh tanda tangan berjenjang, sampai lini media sosial tempat orang berlomba pamer status. Tak ada yang benar-benar baru—hanya kemasan yang berganti. Yang abadi adalah rasa nikmat menjadi “yang di atas” dan rasa aman menjadi “yang di bawah.”
Maka jangan heran, feodalisme tak pernah mati hingga kini. Ia adalah semacam hantu yang selalu lapar: tak kasat mata, tapi selalu menuntut kita menunduk atau menegakkan dagu. Dan mungkin, justru dalam kebanggaan itulah ia menjelma kekuatan paling berbahaya—karena sulit dibedakan dari kebiasaan, dari sopan santun, dari cinta pada tradisi.
Feodalisme masa kini tidak lagi berwujud keraton, keris, atau tanah lungguh. Ia menjelma dalam tubuh baru yang lebih modern—birokrasi, politik dinasti, bahkan algoritma.
Jika dulu pusat feodalisme adalah tanah dan darah biru, kini ia bergeser ke sumber daya yang lebih abstrak, yakni akses informasi, jaringan teknologi, dan kursi kekuasaan yang hanya bisa diwariskan lewat loyalitas personal.
Neo-feodalisme birokrasi, misalnya, menjadikan tanda tangan pejabat lebih berharga daripada seribu proposal yang berbasis riset. Tekno-feodalisme lebih halus lagi: kita menyembah platform digital seperti dulu rakyat menunduk di alun-alun keraton. Kita menyetor data, waktu, dan atensi, lalu menerima imbalan berupa ilusi kebebasan. Padahal yang sesungguhnya kita terima adalah ketergantungan yang kian dalam.
Ironi sejarah muncul di sini. Kita pernah percaya bahwa demokrasi dan republik adalah obat untuk penyakit feodalisme. Tapi obat itu sendiri pelan-pelan berubah jadi racun. Demokrasi kita berbelok ke oligarki, republik kita dirasuki politik kekerabatan. Nama keluarga tertentu kini bisa lebih ampuh daripada konstitusi.
Feodalisme baru ini tidak menuntut rakyat membungkuk di hadapan raja. Cukup klik “setuju” pada syarat aplikasi, cukup angguk pada bos birokrasi, cukup diam ketika dinasti politik kembali menanamkan akar. Begitu halus, begitu tak terasa.
Maka benar, feodalisme tak pernah mati. Ia hanya ganti kostum. Dari mahkota ke logo aplikasi, dari gelar kebangsawanan ke jabatan komisaris, dari tanah bengkok ke saham digital. Yang abadi adalah pola: hierarki yang membuat segelintir orang selalu di atas, dan mayoritas rela hidup di bawah. Pertanyaannya: apakah kita sedang melawan feodalisme, atau sekadar berganti tuan—dari raja-raja lama ke raja-raja algoritma?
Lebih kuat lagi posisi feodalisme, justru ketika ia kawin-mawin dengan dunia agama dan pendidikan. Dua ranah yang mestinya menjadi cahaya, perlahan malah menjadi cermin yang memantulkan bayangan lama.
Agama, yang sejatinya mengajarkan kesetaraan di hadapan Tuhan, sering menjelma jadi panggung hierarki: gelar kehormatan, kursi paling depan, bahkan ritual hormat yang tak jauh berbeda dari upacara di keraton.
Ulama yang dimuliakan tak lagi sekadar pembawa risalah, melainkan jadi “raja kecil” yang menuntut ketaatan absolut. Feodalisme lama menemukan napas barunya dalam jubah putih, mimbar, dan salam takzim.
Pendidikan pun tak jauh beda. Bukannya menjadi alat pembebasan, ia sering jadi pabrik reproduksi feodalisme. Guru, dosen diposisikan bukan sebagai penggerak dialog, tapi sebagai “penguasa kecil” di ruang kelas. Murid terbiasa tunduk, bukan bertanya. Universitas menjadi istana gelar, tempat status lebih sakral daripada pengetahuan. Birokrasi akademik kerap lebih sibuk menjaga garis komando daripada merayakan kebebasan berpikir.
Dan di persilangan keduanya—agama dan pendidikan—feodalisme tumbuh subur. Ada pesantren yang lebih sibuk menjaga hierarki kiai daripada mendidik kemandirian santri. Ada kampus yang melahirkan lebih banyak pejabat dan penjahat daripada pemikir. Di titik ini, feodalisme tidak sekadar bertahan; ia justru dipelihara dengan penuh hormat.
Maka jangan heran, jika penyakit sosial ini tak pernah mati. Ia selalu menemukan “rumah baru” yang justru sulit disentuh kritik. Sebab siapa yang berani menentang nama Tuhan ? Siapa pula yang berani menantang institusi pendidikan?
Begitulah, feodalisme beranak-pinak: dari istana ke masjid dan gereja, dari keraton ke kampus, dari masa lalu ke masa kini.
Sungguh sangat berbahaya, ketika feodalisme menyusup ke lembaga peradilan. Sebab di sanalah, seharusnya, garis paling lurus dijaga: independensi, imparsialitas, kesetaraan di depan hukum. Tapi begitu nilai-nilai feodal masuk, garis itu bengkok. Hukum tak lagi tegak, melainkan tunduk.
Feodalisme mengajarkan loyalitas personal lebih tinggi daripada prinsip. Maka hakim bisa lebih takut pada “atasan” daripada pada teks undang-undang. Ia bisa lebih tunduk pada panggilan telepon ketimbang pada suara hati nurani. Integritas yang mestinya suci berubah menjadi komoditas, diperjualbelikan dalam ruang sidang maupun di luar temboknya.
Budaya feodalisme dalam masyarakat memperkuat logika ini. Kita terbiasa melihat hukum sebagai arena tawar-menawar status, bukan arena kesetaraan. Yang bergelar lebih didengar, yang berduit lebih diperhitungkan. Maka lahirlah praktik koruptif: amplop yang membungkam, jabatan yang melindungi, kekerabatan yang menyelamatkan.
Ketika peradilan—benteng terakhir keadilan—ikut larut dalam arus itu, yang hancur bukan hanya aturan, melainkan kepercayaan. Hukum kehilangan wibawa karena berubah menjadi perpanjangan tangan hierarki sosial.
Sejarah pernah mengajarkan: kolonial Belanda menjaga kekuasaannya di Jawa bukan hanya dengan senjata, tapi dengan memanfaatkan budaya feodal. Kini, ironinya, bangsa merdeka justru mewarisi pola yang sama di lembaga yang seharusnya paling merdeka: peradilan.
Apakah kita sadar? Atau jangan-jangan kita masih menikmati ilusi bahwa keadilan bisa “dinegosiasikan,” sama seperti dulu rakyat menikmati ilusi mendapat restu raja?
Sistem feodal selalu bertumpu pada hubungan pribadi. Seorang penguasa dikelilingi “anak buah” yang dipilih bukan karena cakap, melainkan karena dekat—darahnya sama, kekerabatannya erat, atau setidaknya pandai menyembah. Loyalitas dipuja, merit diabaikan.
Maka posisi-posisi penting kerap jatuh ke tangan mereka yang sekadar bisa berkata “siap,” bukan yang benar-benar mampu berpikir.
Tak heran, skema ini bersenyawa akrab dengan rumus klasik Klitgaard: Corruption = Monopoly + Discretion − Accountability. Feodalisme menutup ruang kompetisi (monopoli), memberikan keleluasaan penguasa untuk mengatur sesuka hati (discretion), sekaligus menyingkirkan mekanisme pengawasan (accountability). Dari kombinasi itu, lahirlah praktik koruptif yang nyaris otomatis.
Sejarah pun membisikkan ironi. Feodalisme di Jawa pernah menjadi alat kolonial Belanda: raja atau bupati dipelihara bukan karena kebijakan, melainkan karena kesetiaan pada Batavia. Kini, wajahnya lebih modern. Dinasti politik bertumbuh bukan lewat tanah lungguh, melainkan kursi parlemen, komisi tender, hingga jabatan komisaris.
Feodalisme, dengan demikian, adalah pelumas paling halus bagi manipulasi. Ia membuat ketidakadilan tampak wajar, membuat kesetaraan terlihat seperti ancaman. “Yang dekat lebih berhak” menjadi hukum tak tertulis. Semakin lama, kita lupa bahwa hukum tertulis seharusnya melindungi yang jauh, yang lemah, yang tak punya akses.
Maka, penyakit sosial ini tidak sekadar menggerogoti keadilan. Ia mengajarkan generasi baru untuk percaya bahwa kekuasaan itu bukan soal integritas, melainkan soal siapa yang kau kenal.
Dalam sistem feodal, kekuasaan adalah pusat gravitasi. Semua tarikan mengarah ke segelintir elite yang memegang kendali, sementara yang lain hanya mengorbit, berputar mengikuti garis edar yang sudah ditentukan. Dalam pusaran ini, check and balance hanya menjadi slogan, bukan mekanisme nyata. Akuntabilitas melemah, pengawasan menguap.
Keputusan lahir bukan dari musyawarah, melainkan dari mulut figur tunggal. Ia diumumkan, lalu dipaksakan kepada stakeholder seperti titah raja yang tak boleh ditawar.
Yang tidak setuju dianggap pembangkang, yang bertanya dicap durhaka. Inilah pola lama yang berulang dalam wajah baru: seolah modern, padahal masih menyalin hierarki kuno.
Ketika mekanisme koreksi absen, ruang kosong itu segera diisi oleh penyalahgunaan wewenang. Kepentingan pribadi menyaru sebagai kepentingan bersama, keuntungan segelintir dipoles menjadi kemenangan bangsa. Semua berjalan mulus karena kultur tunduk sudah tertanam: bawahannya diam, publiknya pasrah, dan hukum hanya menjadi gema yang sayup-sayup terdengar.
Sejarah mengajarkan kita: dari keraton Jawa, ke istana kolonial, hingga republik pasca-merdeka, feodalisme selalu punya cara untuk menunda lahirnya akuntabilitas. Di satu masa, ia berwujud tanah lungguh; di masa lain, ia tampil sebagai proyek raksasa yang digadang-gadang demi “kemajuan.”. Namun pola dasarnya sama: kekuasaan yang terkonsentrasi, keputusan yang sepihak, dan masyarakat yang diposisikan hanya sebagai penonton, sebagai pelengkap penderita.
Maka, di tengah klaim demokrasi, sering kali yang berjalan bukan partisipasi, melainkan “pengesahan simbolis” atas apa yang sudah diputuskan dari atas. Seakan-akan rakyat hanya punya satu hak: mengangguk.
Budaya feodal menanamkan sesuatu yang jauh lebih dalam daripada sekadar tata cara hormat atau bahasa tubuh: ia menanamkan mentalitas hierarkis. Sebuah keyakinan bawah sadar bahwa status adalah takdir, dan kedudukan adalah anugerah yang membuat seseorang lebih tinggi dari orang lain. Dalam tatanan seperti itu, kesenjangan bukanlah kecelakaan sejarah, melainkan justru dianggap kelaziman.
Penguasa merasa berhak atas keistimewaan—seolah kursi yang ia duduki memberi mandat untuk bertindak semaunya. Dalam urusan keuangan, sumber daya, bahkan kebijakan publik, pola ini segera terlihat. Stakeholder hanya diposisikan sebagai penonton, dipaksa memilih dari opsi-opsi yang sudah diatur oleh si pemberi kuasa. Tidak ada ruang untuk merit, tidak ada ruang untuk kompetensi. Yang ada hanya kesukaan dan ketidaksukaan, kedekatan atau kejauhan, loyalitas atau durhaka.
Maka distribusi jabatan pun menyerupai arisan feodal: undangan tidak pernah terbuka, pemenang sudah ditentukan. Di ruang itu, keadilan dan transparansi kehilangan makna. Yang tersisa adalah teater kekuasaan, di mana keputusan lahir bukan dari mekanisme rasional, melainkan dari selera pribadi sang penguasa.
Sejarah kita penuh contoh. Dari raja-raja Jawa yang membagi tanah lungguh, hingga pejabat kontemporer yang membagi kursi komisaris; dari kolonial yang menyuapi bupati dengan gaji, hingga oligarki modern yang menyuapi loyalis dengan proyek. Polanya sama: status lebih berharga daripada kompetensi, kedekatan lebih penting daripada kapabilitas.
Justru karena ia dilembagakan dalam budaya, feodalisme tampak wajar. Kita terbiasa melihat pejabat hidup mewah, terbiasa melihat keputusan dibuat sepihak, terbiasa menunduk pada hierarki. Hingga lama-lama, ketidakadilan itu tidak lagi dianggap penyakit, melainkan adat.
Pertanyaannya: sampai kapan bangsa ini rela hidup dalam teater bayangan, di mana yang disebut pilihan sesungguhnya hanyalah keputusan yang sudah ditentukan dari atas?
Penguasa dalam budaya feodal sering hidup dengan keyakinan yang halus tapi berbahaya: bahwa sumber daya adalah hak pribadinya. Padahal, dalam aturan tertulis, ia hanyalah pengelola; seorang pelayan bagi kepentingan publik. Namun di bawah bayang-bayang feodalisme, posisi itu berubah menjadi semacam “kepemilikan.”. Kekuasaan dianggap lisensi untuk menentukan, bukan mandat untuk menjaga.
Stakeholder—yang mestinya menjadi mitra setara—akhirnya diposisikan sekadar sebagai penerima keputusan. Semua diarahkan dari atas, meski peraturan tak memberi wewenang seluas itu. Dispensasi, proyek, bahkan hak atas akses bisa mengalir atau berhenti hanya karena selera penguasa: siapa yang dekat, siapa yang dianggap patuh, siapa yang cukup lihai menunduk.
Inilah wajah lain feodalisme: ia menyelundup ke dalam sistem modern dan menyamarkannya sebagai “kebijakan.” Padahal, substansinya sama dengan titah raja. Ketika aturan tertulis berbicara tentang akuntabilitas, penguasa feodal membisikkan bahwa ia berhak mengabaikannya.
Sejarah mencatat pola ini berulang. Dari penguasa kolonial yang memanfaatkan bupati sebagai perpanjangan tangan, hingga birokrat kontemporer yang merasa lebih tinggi daripada hukum yang seharusnya ia tegakkan. Yang berubah hanyalah kostum: dulu jubah kebesaran, kini jas safari atau kemeja putih. Namun gestur kekuasaannya sama—merasa berhak, meski tidak berwenang.
Maka, feodalisme adalah ironi paling getir: ia memungkinkan pelanggaran hukum tanpa harus melanggar secara terang-terangan. Sebab aturan tertulis bisa selalu dipelintir, dan stakeholder hanya bisa menerima.
Budaya feodal adalah lahan subur bagi monopoli. Di dalamnya, kebijakan bukan lahir dari musyawarah atau aturan main yang transparan, melainkan semata-mata dari kehendak penguasa. Stakeholder hanya jadi ornamen: hadir, tapi tidak punya suara. Aturan—jika pun disebut—lebih menyerupai topeng. Ia dikenakan bila menguntungkan, dilepaskan bila merugikan.
Di sinilah standar ganda menjadi norma tak tertulis. Jika tindakan merugikan datang dari penguasa, publik diminta maklum. Namun jika hal serupa dilakukan oleh rakyat kebanyakan, maka segera dibesar-besarkan, dipermalukan, bahkan dihukum tanpa ampun. Perbuatan yang sama ditimbang dengan neraca berbeda: satu ringan, satu memberatkan. Satu bisa ditutup rapat, satu lagi diumumkan di khalayak ramai.
Lebih jauh, budaya feodal membalik logika tanggung jawab. Ketika penguasa salah, orang-orang biasa yang dipaksa menanggung kesalahan. Dicari-cari celah, dipaksa mengaku, atau ditekan agar diam. Kebenaran menjadi relatif, hukum kehilangan kepastian, dan kehidupan publik terjerumus dalam absurditas. Norma tidak lagi jadi pedoman, melainkan senjata.
Sejarah memberi kita banyak cermin. Di zaman kerajaan, penguasa bisa bebas menafsirkan hukum adat, sementara rakyat kecil dicecar oleh aturan paling sepele. Kini, dalam wajah republik modern, pola itu masih berulang—hanya dengan istilah berbeda: “kebijakan diskresi”, “penegakan selektif”, atau “kepentingan strategis”. Semuanya menutupi fakta yang sama: hukum yang lentur di tangan penguasa, tapi kaku di tangan rakyat.
Feodalisme, dengan demikian, adalah sistem yang selalu menemukan cara untuk mengaburkan garis lurus. Ia mengajarkan bahwa kesalahan bukan milik mereka yang berkuasa, melainkan beban mereka yang dikuasai.
Di titik inilah, masyarakat kehilangan arah: antara hukum yang tertulis dan hukum yang dipraktikkan terbuka jurang yang lebar. Jurang yang, jika tak segera ditutup, hanya akan menelan kepercayaan—dan mungkin, pada akhirnya, menelan legitimasi kekuasaan itu sendiri.
Dalam sistem feodal, hadiah dan upeti bukan sekadar benda; ia adalah bahasa. Bahasa untuk menunjukkan tunduk, menjaga jarak, atau membeli kedekatan. Tradisi ini dulu diistilahkan “persembahan” atau “sesaji” bagi penguasa. Namun di balik simbol kesetiaan, tersembunyi sebuah logika: bahwa kekuasaan selalu haus pengakuan, dan bawahan selalu takut kehilangan perlindungan.
Di zaman kerajaan, upeti bisa berupa hasil bumi, kerbau, atau emas. Kini, bentuknya lebih modern: bingkisan dalam amplop, jam tangan mewah, tiket perjalanan, atau proyek basah. Namun maknanya sama—mengikat relasi asimetris antara mereka yang memberi perintah dan mereka yang tunduk pada perintah.
Bahaya muncul ketika tradisi ini dibiarkan tanpa batas. Hadiah pelan-pelan beralih rupa menjadi suap; penghormatan menjelma pemerasan. Orang-orang biasa merasa “wajib” memberi sesuatu agar mendapat promosi, proyek, atau sekadar perlakuan adil. Sebaliknya, penguasa merasa “berhak” diperlakukan istimewa, seolah jabatan adalah lisensi untuk selalu ditaburi persembahan.
Di titik ini, budaya feodal merusak sendi etika publik. Integritas terseret ke pasar gelap relasi personal. Merit dan kompetensi dikesampingkan, diganti siapa yang paling rajin mengirim bingkisan. Sistem yang mestinya berbasis aturan berubah menjadi arisan kekuasaan, tempat nilai dan norma dikalahkan oleh logika barter.
Sejarah memberi cermin getir: kolonial Belanda memelihara bupati lewat upeti agar tetap patuh. Ironinya, dalam negara merdeka, pola itu masih berlanjut—hanya istilahnya berganti menjadi “uang terima kasih” atau “tanda hormat”.
Maka, hadiah dalam kultur feodal bukan lagi sekadar benda simbolik. Ia adalah alat domestikasi: membuat bawahan rela berlutut, membuat penguasa semakin merasa tak tersentuh.
Budaya feodal, sejak mula, selalu punya satu watak yang konsisten, yakni mendahulukan kepentingan pribadi atau kelompok sempit di atas kepentingan bersama. Dalam lingkaran itu, penguasa dan elite merasa lebih berutang pada kroni-kroninya ketimbang pada rakyat yang mereka wakili. Hasilnya: kekuasaan bukan lagi arena pelayanan, melainkan ladang pemupukan diri.
Sejarah memberi bukti berulang kali. Dari raja-raja yang menguras kas kerajaan untuk pesta, hingga pejabat modern yang menguras anggaran demi proyek-proyek keluarga. Praktik patronase—loyalitas yang dibeli dengan pemberian, bukan prestasi—adalah benang merahnya. Begitu pula mentalitas hierarkis: siapa di atas boleh menikmati, siapa di bawah wajib menanggung. Inilah warisan feodal yang, meski zaman berganti, terus menjalar dalam tubuh masyarakat modern.
Korupsi tumbuh subur justru karena akar itu dibiarkan. Ia bukan sekadar penyimpangan hukum, melainkan perpanjangan dari budaya yang menormalisasi ketidakadilan. Di meja birokrasi, di partai politik, bahkan di ruang akademik, pola patronase masih lestari. Kita melihat promosi jabatan yang lebih ditentukan oleh kedekatan daripada kompetensi, proyek yang dibagi menurut gengsi kekerabatan, hukum yang lentur untuk mereka yang punya “nama besar.”.
Bahaya paling serius terjadi ketika feodalisme merasuki lembaga yang seharusnya paling steril: peradilan dan penegak hukum. Di sana, independensi bisa digadaikan, imparsialitas diganti kalkulasi politik, dan keadilan dijual dengan harga tertentu. Palu hakim bisa menjadi alat legitimasi ketidakadilan, bukan lagi simbol kebenaran.
Maka, feodalisme bukan sekadar catatan sejarah. Ia adalah virus laten yang terus mencari inang baru. Ia hidup di dalam praktik, di dalam kebiasaan, bahkan di dalam bahasa sehari-hari kita. Selama ia masih menjadi norma, upaya pemberantasan korupsi serta penegakan integritas akan selalu berhadapan dengan musuh yang tak kasat mata: sebuah mentalitas yang menolak kesetaraan sejak dari akarnya.
Dalam sistem feodal, penguasa atau elite memiliki pengaruh dominan hampir di semua aspek kehidupan, termasuk peradilan. Intervensi mereka bisa berlangsung secara langsung—melalui pengendalian hakim, jaksa, atau saksi—maupun secara tidak langsung lewat tekanan sosial, patronase, dan hierarki status. Akibatnya, independensi lembaga peradilan menjadi rapuh, bahkan nyaris ilusi.
Feodalisme menekankan status sosial di atas prinsip hukum. Hukum tidak lagi menjadi pedoman yang objektif, melainkan disesuaikan dengan kedudukan seseorang.
Elite atau mereka yang memiliki koneksi dengan penguasa sering kali kebal hukum, bahkan memperoleh perlakuan istimewa. Sebaliknya, rakyat biasa—termasuk mereka yang bekerja di dalam institusi hukum—sering menjadi sasaran perlakuan keras. Prinsip kesetaraan di depan hukum pun sirna, digantikan ilusi keadilan yang semu.
Kondisi ini tampak dalam berbagai praktik: penunjukan hakim, jaksa, dan panitera lebih sering berdasarkan patronase dan nepotisme ketimbang merit dan kompetensi. Loyalitas personal lebih dihargai daripada integritas profesional. Tidak mengherankan jika kualitas peradilan menurun, sementara peluang korupsi semakin subur.
Budaya feodal juga menyuburkan praktik suap dan upeti, yang dahulu dibungkus sebagai “hadiah” atau “tanda hormat” kepada penguasa. Dalam konteks modern, praktik ini dengan mudah bergeser menjadi pemerasan sistematis. Hak yang seharusnya diberikan sesuai aturan justru dikorbankan apabila dianggap tidak menguntungkan penguasa. Bahkan seseorang yang menuntut haknya yang sah bisa dipersalahkan, ditekan, atau dijadikan kambing hitam.
Akibat dari semua itu, lembaga peradilan kehilangan integritas dan legitimasi. Hukum bukan lagi dipandang sebagai instrumen keadilan, melainkan alat kekuasaan. Rakyat kehilangan kepercayaan, merasa hukum tidak melindungi, melainkan menindas. Dari sinilah ketidakstabilan sosial mudah muncul, sementara negara kehilangan wibawa.
Lebih jauh lagi, penegakan hukum terhadap elite hampir mustahil dilakukan. Kekuasaan mereka melindungi dari jangkauan hukum, menciptakan budaya impunitas yang mengakar. Ketidakadilan makin diperparah, dan keadilan semakin jauh dari jangkauan rakyat.
Sejarah memang mencatat, feodalisme berjaya di Abad Pertengahan. Modernisasi, Revolusi Prancis, hingga lahirnya republik seharusnya mengakhiri tradisi tersebut. Tetapi pertanyaannya: benarkah feodalisme sudah sepenuhnya hilang dari kehidupan modern? Ataukah ia justru bertransformasi, mengenakan wajah baru di balik demokrasi dan republik yang kita banggakan hari ini?