Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Esensia

Empati: Jembatan Kemanusiaan atau Senjata Manipulasi

Rony Oktavianto by Rony Oktavianto
October 9, 2025
in Esensia
Reading Time: 4 mins read
Empati: Jembatan Kemanusiaan atau Senjata Manipulasi

PADA rilisan podcast kanal Akbar Faisal, Ketua Tim Reformasi Polri menyatakan permohonan maaf atas tindakan dan perilaku anggota lembaganya selama ini. Meski judul podcast “Ketua Tim Akui Dosa-dosa Polri” terkesan clickbait, namun terang menunjukkan isi obrolannya. Pada kesempatan itu, Ketua Tim menyampaikan bahwa reformasi Polri seperti membangun peradaban. Sebuah pernyataan yang menunjukkan bahwa Polri mampu berempati.

Pada waktu lain, Kepala Badan Gizi Nasional juga menyatakan permohonan maaf saat merespons banyaknya kasus keracunan program makan bergizi gratis di Jawa Barat. Katanya, tim khusus telah dibentuk untuk melakukan investigasi. Ia pun berjanji untuk melakukan perbaikan, memastikan penanganan kesehatan terbaik untuk anak-anak yang terdampak. Peristiwa keracunan ini juga ditandai dengan viral-nya foto seorang petinggi BGN yang menangis, sebuah gambaran yang juga menunjukkan empati.

Namun, di sisi lain, banyak kawan yang mengacuhkan berbagai permintaan maaf dari petinggi pengelola lembaga itu. Tak cuma meragukan, mereka menuntut perombakan total. Mereka menolak pernyataan dan gestur empati yang ditunjukkan para pejabat, menyebut semua itu hanya sebagai omong kosong. Lagi-lagi mereka meneriakkan agar kita turun ke jalan, aksi hingga “revolusi”.

Melihat kontradiksi ini, rasanya kita perlu mawas diri, berjaga, dan waspada atas kedua fenomena tersebut.

Sering kali empati dianggap identik dengan kebaikan hati. Anggapan itu tidak sepenuhnya tepat. Kalau seseorang bisa berempati, berarti ia orang baik. Apa sesederhana itu? Tidak juga. Empati tidak sama dengan belas kasih. Empati adalah kemampuan untuk memahami perspektif orang lain — apa yang mereka rasakan, pikirkan, takutkan, dan inginkan. Pemahaman ini bisa digunakan untuk melayani kebaikan yang lebih besar, namun juga dapat disalahgunakan.

Empati bukan sebuah keterampilan singular, namun hadir dalam berbagai bentuk. Sebagaimana penelitian menunjukkan (The Neurodevelopment of Empathy in Humans), empati afektif (affective empathy) atau kemampuan merasakan apa yang dirasakan orang lain, berbeda dari empati kognitif (cognitive empathy) — kemampuan memahami apa yang dirasakan orang lain. Banyak orang memiliki keduanya. Namun, sebagian lainnya, seperti kaum narsisis dan sosiopat sering kali hanya memiliki empati jenis kognitif saja. Ia tahu apa yang anda rasa dan pikirkan, hanya untuk memelintirnya demi kepentingannya sendiri. Pada titik ini, empati bukan jadi penyembuh, justru bisa membunuh.

Di dunia kerja, banyak studi yang menyatakan bahwa atasan yang memiliki keterampilan kepemimpinan empatik (empathic leadership skills), cenderung memiliki bawahan yang lebih inovatif, engaged, dan tangguh. Sebaliknya, banyak juga studi yang mengatakan bahwa budaya kerja yang toksik (toxic workplace culture) adalah alasan utama karyawan meninggalkan perusahaan. Dengan demikian, empati yang dibarengi dengan integritas yang beretika akan menjadi faktor pendorong pertumbuhan (driver of performance).

Namun ada hal mendasar: empati membutuhkan kode etik (code of ethics). Empati membutuhkan pengendalian diri (restraint) dan kepercayaan (trust). Tidak sekadar memahami orang lain, tapi juga harus menghormati apa yang terungkap dari pemahaman itu. Ketika empati terlepas dari etika, ia akan menjadi sebuah pemaksaan yang diberikan dengan senyuman (coercion with a smile); manipulasi yang dibungkus kelembutan.

Sebuah ketidakwajaran saat ada petinggi lembaga kepolisian yang menampilkan empati di hadapan publik, namun di saat yang sama, melakukan banyak penangkapan tanpa prosedur kepada para aktivis di berbagai daerah.

Empati tanpa akuntabilitas adalah kosong dan menipu.

Fenomena empati tanpa etika tampak jelas saat kita melihat kerja akal imitasi (artificial intelligence), dimana sistem dilatih untuk mensimulasikan respons empatik. ChatGPT akan meminta maaf atas frustrasi yang anda rasakan saat menghadapi jawaban mereka yang seringkali salah dalam membaca data. ChatGPT akan menawarkan gula-gula artifisial (saccharine encouragement) dalam merespon kegelisahan kita. Aplikasi kesehatan mental yang ditanam akal imitasi juga bakal sabar mendengarkan curhatan Anda sepanjang malam tanpa sedikit pun menghakimi. Namun, sistem itu tidak benar-benar merasakan apa yang anda rasakan. Mereka hanya tahu kata-kata apa yang harus diucapkan untuk “memuaskan” penggunanya.

Bahkan pendiri OpenAI, Sam Altman, ikut mempertanyakan data behaviour ini dimana banyak anak muda lebih memposisikan ChatGPT sebagai teman curhat hingga penasihat kehidupan, dibandingkan dengan generasi sebelumnya yang lebih banyak memposisikannya sebagai sistem operasi. Faktanya, banyak orang kini lebih nyaman berkeluh kesah kepada AI dibandingkan dengan orangtuanya.

Kita tengah memasuki zaman di mana algoritma empatik (empathetic algorithms) lebih baik dalam merespons dan mengenali keputusasaan daripada manusia, meski kita harus ingat bahwa ia tidak memiliki kompas moral untuk memutuskan apa yang harus dilakukan.

Jika kita tidak waspada, kita akan salah memahami, menganggap kinerja akal imitasi berupa kalimat yang berempati itu sebagai sebuah kehadiran. Dengan melakukannya, kita seperti meng-outsource tugas dan tanggung jawab emosional kita satu sama lain sebagai sesama manusia kepada mesin kecerdasan.

Empati tanpa akuntabilitas adalah kosong dan menipu, meninabobokan orang dalam rasa aman yang palsu, dan merusak bangunan kepercayaan yang semestinya dibangun oleh empati itu sendiri.

Meski demikian, kita tidak bisa begitu saja menolak empati seperti yang ditunjukkan oleh Ketua Tim Reformasi Polri dan para petinggi BGN. Jika kita ingin keadaan yang lebih baik, kita perlu mengambil kembali empati sebagai sebuah tanggung jawab yang utuh, bukan hanya sebagai soft skill komunikasi tetapi sebagai sebuah praktik perilaku disiplin yang dipandu oleh etika dan berakar dalam kemanusiaan. **

SendTweetShare
Previous Post

Mukadimah:Menghadirkan Cahaya

Next Post

Indonesia dan Mimpi Peradaban Cahaya

Rony Oktavianto

Rony Oktavianto

Praktisi di bidang komunikasi. Aktif menjadi penggiat Kenduri Cinta sejak 2000-an. Tinggal di Jakarta timur tapi paling selatan. Suka makan Mi Ayam. Ga pake toge. Mi Ayam kok pake toge...

Related Posts

Ekonomi, Perang, dan Ilusi Kemakmuran
Esensia

Ekonomi, Perang, dan Ilusi Kemakmuran

October 10, 2025
Indonesia dan Mimpi Peradaban Cahaya
Esensia

Indonesia dan Mimpi Peradaban Cahaya

October 9, 2025
Partai Politik Semakin Lemah
Esensia

Partai Politik Semakin Lemah

October 3, 2025
Gelap Terang Topeng Digital
Esensia

Gelap Terang Topeng Digital

October 2, 2025
“Eling lan Waspada”: Sebuah Pijakan
Esensia

“Eling lan Waspada”: Sebuah Pijakan

October 2, 2025
Janji Gizi, Pengkhianatan di Piring Sekolah
Esensia

Janji Gizi, Pengkhianatan di Piring Sekolah

October 1, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta