ADA SATU ironi yang terus hidup, bahkan setelah meriam diam dan bom berhenti meledak: perang ternyata adalah ibu dari kemakmuran modern. Dari reruntuhan kota, lahir pabrik-pabrik baja. Dari darah para serdadu, tumbuh bank-bank raksasa. Keynes mungkin tak pernah membayangkan bahwa teorinya tentang belanja publik untuk menstimulasi ekonomi akan menjelma menjadi doktrin ekonomi perang—Military Keynesianism—di mana peluru dan senjata menjadi alat paling efisien untuk menggerakkan mesin kapitalisme.
Eropa sudah membuktikannya. Di bawah Hitler, Jerman bangkit dari depresi, menghapus pengangguran, dan memutar ekonomi lewat industri militer yang didanai—ironisnya—oleh bank-bank Wall Street. Sejarah tidak pernah sepolos yang kita baca di buku teks. Di balik “keajaiban” ekonomi Reich Ketiga ada tangan-tangan lembut para bankir New York yang membiayai mesin perang atas nama efisiensi dan pertumbuhan. Dan sejak saat itu, perang tak lagi hanya tentang ideologi. Ia menjadi model bisnis.
“All wars are bankers’ wars,” kata para konspirator sejarah. Tapi mungkin itu bukan konspirasi, melainkan kenyataan yang terlalu banal untuk disebut rahasia.
Amerika, sang pemenang Perang Dunia II, belajar dengan cepat. Ia menemukan bahwa ekonomi perang adalah sumber kemakmuran yang tak ada tandingannya. Maka ia ciptakan military industrial complex. Sebuah sistem yang mengubah perang menjadi permanen, meskipun musuh berganti bentuk. Dari Vietnam hingga Irak, dari Afganistan hingga Ukraina, perang tetap menjadi motor pertumbuhan, pendorong inovasi, alasan untuk mencetak uang, dan dalih untuk mengontrol dunia.
Perang adalah proyek kesejahteraan dalam bentuk yang paling ironis: menyejahterakan segelintir dengan menghancurkan banyak. Lalu kita—negeri tropis yang katanya damai dan beradab—apa hubungannya dengan itu? Lebih banyak dari yang kita sangka.
Ketika Soekarno digulingkan atas nama “pembangunan”, dunia sebenarnya sedang menyaksikan versi tropis dari Military Keynesianism. Hanya saja tanpa senjata, tapi dengan proyek-proyek mercusuar yang dibiayai utang. Kudeta ekonomi yang lembut. Dari situ, lahirlah Orde Baru—rezim pembangunan yang sepenuhnya tunduk pada mekanisme perbankan global. Jalan raya, waduk, pabrik semen, PLTA—semua menjadi simbol kemajuan yang pada dasarnya adalah reruntuhan ideologi nasionalisme yang dibeli dengan dolar pinjaman.
Mereka menyebutnya “stabilitas”. Tapi stabilitas itu berdiri di atas reruntuhan kemandirian ekonomi rakyat.
Kita sering lupa bahwa “pembangunan” bukanlah istilah netral. Ia punya darah dan sejarah. Dalam teori ekonomi, pembangunan pasca perang selalu mengikuti pola Keynesian: negara kuat, anggaran besar, investasi top-down, kontrol fiskal dan moneter yang ketat. Tapi ketika formula ini diadopsi oleh dunia ketiga, ia berubah menjadi monster yang melahap dirinya sendiri.
Indonesia menjadi laboratorium: utang luar negeri, subsidi industri besar, pengorbanan ekonomi rakyat kecil. Negara menjadi serdadu bank. Seperti semua ekonomi perang, akhirnya ia selalu menunggu saat kehancurannya sendiri.
Kini, setengah abad setelah “pembangunan” dijadikan mantra, kita kembali menyaksikan versi baru dari Military Keynesianism—kali ini tanpa meriam, tapi dengan “stimulus fiskal”, “sovereign wealth fund”, dan “dana 200 triliun” yang katanya akan menghidupkan ekonomi lesu. Nilainya memang besar di mata rakyat, tapi di mata sistem keuangan global, itu hanya setetes air dalam kolam.
Lucunya, kita seolah percaya bahwa uang negara bisa menghidupkan ekonomi rakyat, padahal selama puluhan tahun kebijakan negara justru perlahan-lahan mencekik ekonomi rakyat itu sendiri.
Pajak dinaikkan, subsidi dicabut, kebijakan fiskal diarahkan bukan untuk menumbuhkan akar ekonomi, tapi untuk memperpanjang napas konglomerat dan proyek-proyek yang tak menyentuh tanah. Negara seperti sedang memainkan perang melawan rakyatnya sendiri—perang yang senyap, tapi tak kalah mematikan.
Mungkin inilah wajah baru Military Keynesianism di abad ke-21: tanpa tank, tanpa bom, tapi dengan dokumen APBN dan surat utang negara.
Mungkin benar, seperti dulu juga, bahwa bangsa kulit putih bukan hanya warmonger karena suka perang, tapi karena mereka menemukan rahasia paling tua dari peradaban: bahwa perang adalah cara paling cepat untuk menciptakan kemakmuran—bagi mereka yang punya senjata, modal, dan kekuasaan untuk menentukan siapa yang harus kalah.
Kita, yang berada di pinggiran sejarah, hanya kebagian peran sebagai korban yang bertepuk tangan atas nama “pembangunan.”
Ekonomi kita kini berjalan seperti pasukan yang kelelahan: disiplin tapi tanpa arah. Di tangan menteri keuangan, angka-angka menjadi senjata, dan rakyat menjadi target yang harus ditertibkan. Kita terus diminta percaya bahwa pertumbuhan adalah kemerdekaan, bahwa investasi adalah patriotisme baru. Padahal, yang tumbuh adalah jarak antara pusat dan pinggiran, antara yang mengatur dan yang diatur, antara yang mencetak uang dan yang kehilangan makna dari uang itu sendiri.
Di situ mungkin letak tragedinya: negara yang tak sadar sedang berperang melawan dirinya sendiri dan merasa sedang membangun.
Seperti semua perang, Military Keynesianism juga akan berakhir dengan collapse. Tapi bukan karena peluru habis, melainkan karena makna kata “kemakmuran” telah lama kehilangan isinya.
Di tengah reruntuhan itu, mungkin kita baru sadar: bahwa yang sedang kita perjuangkan selama ini bukanlah kemerdekaan ekonomi, melainkan sekadar ilusi tentang hidup yang bisa dibeli dengan utang.