Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Esensia

Dekadensi Epistemik dan Krisis Nalar

Putra Ansa Gaora by Putra Ansa Gaora
October 18, 2025
in Esensia
Reading Time: 4 mins read
Dekadensi Epistemik dan Krisis Nalar

DI TENGAH hiruk-pikuk pembangunan, bangsa ini tampak bergegas menuju masa depan yang belum ia pahami. Indonesia Emas 2045 menjadi mantra yang diulang dalam pidato, peraturan, dan iklan kementerian. Namun di balik retorika kemajuan itu, tersimpan kekosongan konseptual. Bangsa ini ingin maju, tetapi belum tahu bagaimana cara berpikir tentang kemajuan itu sendiri.

Kita memuja infrastruktur, tapi abai pada epistemologi. Kita berbicara tentang transformasi digital, tetapi belum menyentuh transformasi mental. Di ruang publik, diskursus digantikan oleh deklarasi; dalam pendidikan, pengetahuan digantikan oleh hafalan; dalam politik, ide digantikan oleh aklamasi. Inilah yang disebut oleh filsuf Jürgen Habermas sebagai pathology of modernity, ketika rasionalitas instrumental menyingkirkan rasionalitas komunikatif. Bangsa ini bergerak, tapi tanpa refleksi. Bekerja, tapi tanpa perenungan.

Menurut Programme for International Student Assessment (PISA) 2022, kemampuan literasi membaca siswa Indonesia berada di 359 poin—turun dari 371 pada 2018, dan jauh di bawah rerata OECD yang mencapai 493. (ISSED, 2023) Pemerintah memang mengklaim bahwa peringkat kita naik lima hingga enam posisi dibanding empat tahun sebelumnya (Polibatam, 2024), tetapi peringkat bukanlah ukuran kualitas berpikir, ia sekadar kompetisi di ruang statistik.

Literasi yang rendah adalah simptom dari apa yang bisa disebut sebagai dekadensi epistemik, kemunduran dalam cara bangsa memahami pengetahuan. UNESCO dan IFLA (2023) mencatat bahwa lebih dari 8,5 juta warga Indonesia belum memiliki kemampuan literasi dasar. (IFLA, 2023) Ini bukan sekadar kegagalan pedagogis, melainkan kegagalan budaya, bahwa masyarakat kehilangan etos membaca sebagai praktik peradaban.

Membaca bukan hanya aktivitas kognitif, ia adalah tindakan eksistensial. Melalui membaca, manusia belajar menunda penghakiman, menata nalar, dan mengenali ambiguitas. Tapi kita hidup dalam zaman percepatan. Zaman di mana kecepatan dianggap kebenaran baru. Informasi datang tanpa konteks, dan pengetahuan kehilangan struktur. Ketika masyarakat lebih sibuk mengonsumsi daripada memahami, demokrasi berubah menjadi tontonan.

Akar dari semua ini bukan semata kekurangan fasilitas, melainkan feodalisme intelektual yang membatu. Feodalisme tidak lagi hadir dalam bentuk sosial klasik. Ia bersemayam dalam struktur batin. Ia membentuk relasi kognitif yang vertikal, di mana murid takut bertanya, bawahan takut lebih cerdas dari atasan, dosen merasa suci dari koreksi. Ini adalah habitus dominan: sistem simbolik yang mereproduksi ketimpangan pengetahuan.

Pendidikan, yang semestinya menjadi arena pembebasan, justru menjadi alat domestikasi. Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed (1970), menyebut pendidikan semacam ini sebagai “banking education”. Proses di mana siswa diperlakukan seperti wadah kosong yang harus diisi, bukan kesadaran yang perlu ditumbuhkan.

Sebuah studi kebijakan di arXiv (2023) memperlihatkan bagaimana kualitas guru di berbagai daerah di Indonesia masih di bawah standard profesional karena proses rekrutmen yang tidak meritokratis dan kebijakan pusat-daerah yang tidak sinkron. Dalam konteks global, perbandingan menjadi ironi: Korea Selatan hanya menerima 5% lulusan terbaik untuk menjadi guru, Singapura 30%. Indonesia? Tidak ada mekanisme seleksi yang mengutamakan kecerdasan konseptual atau integritas akademik.

Akibatnya, profesi guru kehilangan aura intelektualnya. Ia berubah menjadi posisi administratif, bukan epistemik. Ketika guru tidak membaca, murid tidak akan berpikir. Ketika pendidikan berhenti sebagai dialog, maka bangsa berhenti sebagai wacana.

Teknologi mempercepat paradoks ini. Kita hidup di masa di mana akal imitasi (AI) berkembang lebih cepat daripada kecerdasan manusia. Namun kemajuan teknologi, tanpa refleksi filosofis, hanya mempercepat kebodohan kolektif. UNESCO Global Education Monitoring Report (2023) memperingatkan bahwa digitalisasi pendidikan tanpa kesadaran epistemik hanya akan memperdalam kesenjangan berpikir dan memperlebar jurang sosial. (UNESCO, 2023)

Laporan Funding Indonesia’s Vision 2045 dari The World Bank (2024) menyatakan bahwa human capital atau modal manusia berbasis kapasitas berpikir dan inovasi merupakan faktor paling strategis bagi pertumbuhan jangka panjang (World Bank, 2024). Namun, investasi pada manusia tidak bisa dilakukan hanya dengan menambah gaji atau laptop, melainkan dengan menumbuhkan etika berpikir: kesediaan untuk mempertanyakan, menguji, dan menafsir ulang.

bahkan mesin kini sedang belajar berpikir, tetapi manusia yang melatihnya justru berhenti berpikir. Penelitian IndoMMLU (2023) menunjukkan bahwa model kecerdasan buatan di Indonesia hanya mampu menjawab soal setara ujian sekolah dasar. AI gagal memahami konteks budaya kita karena kita sendiri gagal memproduksi konteks. Kita memprogram algoritma, tetapi tak pernah memprogram diri untuk mengerti.

Mungkin benar, bangsa ini tidak sedang kekurangan sumber daya, melainkan kekurangan kesadaran epistemik. Kita terlalu sibuk menghafal hasil, tapi jarang menguji sebab. Kita terampil memanipulasi data, tapi gagap dalam menimbang makna. Rasionalitas publik kita telah berubah menjadi prosedural. Terlalu mengandalkan instruksi, bukan intuisi.

Albert Camus pernah menulis, “An intellectual is someone whose mind watches itself.” Mungkin di sanalah inti masalah kita: pikiran bangsa ini berhenti mengawasi dirinya sendiri. Kita berpikir tanpa kesadaran bahwa kita sedang berpikir; kita mengulang, bukan menguji.

Sebelum menatap 2045 dengan gegap-gempita, barangkali kita perlu menunduk sejenak dan mengajukan pertanyaan paling sederhana: masihkah kita memiliki keberanian untuk berpikir pelan di tengah kecepatan, membaca dalam di tengah kebisingan, dan bertanya jujur di tengah kepatuhan? Sebab masa depan bukan milik mereka yang sibuk meniru, melainkan milik mereka yang berani menyelami pikirannya sendiri.

SendTweetShare
Previous Post

Kereta yang Tak Pernah Pulang

Next Post

Residu-Residu Kebenaran

Putra Ansa Gaora

Putra Ansa Gaora

Related Posts

Air Gratis dan Bayangan Kekuasaan
Esensia

Air Gratis dan Bayangan Kekuasaan

October 27, 2025
Jangan Salahkan Tuhan Kalau Itu Kesalahanmu
Esensia

Jangan Salahkan Tuhan Kalau Itu Kesalahanmu

October 23, 2025
Bekerja untuk Tuhan Wajib Arif Profesional
Esensia

Bekerja untuk Tuhan Wajib Arif Profesional

October 22, 2025
Residu-Residu Kebenaran
Esensia

Residu-Residu Kebenaran

October 20, 2025
Kereta yang Tak Pernah Pulang
Esensia

Kereta yang Tak Pernah Pulang

October 17, 2025
Negarawan Jumud vs Rakyat Ajaib
Esensia

Negarawan Jumud vs Rakyat Ajaib

October 16, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta