TAK ADA pelajaran tentang cinta yang lebih jujur daripada luka. Di tahun 2017, aku terjatuh. Bukan semata karena kasih yang tak sampai, tapi karena ada kekosongan yang tak bisa kuterangkan. Sebuah ruang di dalam batin yang begitu sunyi, begitu dingin.
Kucoba menyibukkan diri, mencari pelarian, bahkan menertawakan kepedihan itu namun tetap saja, ada bagian yang terasa hilang. Mereka bilang waktu akan menyembuhkan segalanya. Tapi waktu berjalan seperti tanpa kompas, ia tidak tahu harus membawaku ke mana. Hari-hari seperti lorong panjang yang tak kunjung berakhir. Hingga suatu malam, aku berjumpa dengan nama yang belum kukenal, namun anehnya terasa hangat: Emha Ainun Nadjib.
Pertemuan itu tidak pernah aku rancang. Saat itu aku sedang berada di Jogja, menumpang di kos sepupuku yang sedang kuliah. Kami sedang mencari makan malam, sembari menanti pesanan di sebuah warung kecil. Mata sepupuku tertuju pada rak buku di sudut ruangan. Sepupuku menunjuk salah satu buku dan berkata, “Ini lho, orang yang dulu gue ceritain, cuma gue lupa namanya.” Di sampulnya tertulis nama: Emha Ainun Nadjib. Aku belum pernah mendengar nama itu sebelumnya. Tapi entah mengapa, namanya tertanam di ingatan. Seolah ada sesuatu yang belum selesai. Malam itu juga, aku mencarinya di internet. Membaca sedikit tentang siapa dia. Sejak malam itu, perlahan, arah hidupku mulai berubah.
Tulisan dan terutama videonya menjadi kawan yang tak pernah memaksaku untuk kuat. Ia tidak menyuruhku ‘move on’, tidak memberikan daftar langkah penyembuhan seperti banyak konten motivasi lainnya. Tapi ia menyodorkan sesuatu yang lebih esensial: luka bisa menjadi cara Tuhan mengajak berbicara. Dalam salah satu videonya, ia berkata, “Gusti Allah itu bukan hakim di pengadilan. Dia itu sahabatmu yang diam-diam menjaga, bahkan ketika kamu sedang lupa.” Kalimat itu menembus ke dalam, tanpa perlu nada tinggi. Dalam kerapuhanku, aku merasa tidak sendiri. Ia tidak menawarkan jalan keluar, melainkan membukakan jendela. Dari jendela itulah, aku mulai melihat dunia dengan kacamata yang baru.
Hari-hari setelahnya kuisi dengan pencarian. Aku semakin rajin menonton videonya, menyimak Sinau Bareng, dan menelusuri forum-forum Maiyah yang dipenuhi kegelisahan anak-anak muda yang mungkin sama sepertiku. Di sana, aku merasa diterima dan tidak dianggap aneh atau tersesat.
Aku mulai memahami makna dari hal-hal kecil yang dulu kuabaikan. Tentang keikhlasan, tentang kegagalan, tentang bagaimana Tuhan tidak pernah menuntut kita menjadi sempurna untuk dicintai. Dulu aku melihat itu sebagai bentuk kesalahan dan kehancuran, lambat laun menjadi jembatan. Kasih yang tak sampai bukan akhir dari segalanya, melainkan pintu menuju ruang yang lebih luas, tempat dimana aku bisa berdamai dengan diriku sendiri.
Awalnya, kukira Mbah Nun adalah sumur, tempat aku berpaling saat kehausan. Tapi, makin lama aku menyelaminya, aku sadar: ia bukan sumur, melainkan sungai. Sungai itu mengalir dari satu hati ke hati lainnya, menyejukkan mereka yang merasa kehilangan arah. Lebih dari itu, sungai itu ternyata bermuara pada samudra yang luas dan dalam. Di situlah aku tenggelam. Bukan karena tersesat, tapi karena terlalu banyak cinta dan makna yang belum kumengerti. Anehnya, di tengah tenggelam itu, aku justru merasa tenang. Untuk pertama kalinya, aku tak sedang melarikan diri. Aku merasa sedang pulang.
Yang membuatku kagum bukan semata isi dari apa yang ia sampaikan, tetapi caranya memanusiakan manusia. Ia bisa menyentuh masalah yang sangat personal hingga yang sangat politis, tapi tetap terasa hangat dan membumi. Ia berbicara tentang Indonesia bukan dengan kemarahan, melainkan dengan kerinduan. Ia mengkritik bukan untuk membenci, tapi untuk menyembuhkan. Ia merintis ruang bernama Maiyah bukan untuk mencari pengikut, melainkan agar setiap orang merasa bebas berpikir, bertanya, dan menjadi dirinya sendiri. Dalam ruang semacam itu, aku belajar bahwa mencintai bangsa ini juga butuh keberanian-keberanian untuk tidak menyerah, meski alasan untuk kecewa begitu melimpah.
Aku jarang sekali bertemu dengannya. Tapi anehnya, kehadirannya terasa nyata dalam hidupku. Ia menjadi bagian dari proses pendewasaan yang tak pernah kusangka, namun justru paling kubutuhkan. Lewat beliau, aku belajar bahwa Tuhan tak pernah jauh. Cinta tidak harus dimiliki untuk bisa memeluk. Luka tidak selamanya buruk. Manusia tetap bisa tumbuh, bahkan dari reruntuhan. Warisannya bukan sekadar tulisan atau gagasan, tapi cara menjalani hidup. Cara mencintai tanpa syarat. Cara berdiri tanpa harus menang. Hal yang paling penting: cara untuk pulang kepada diri sendiri, dalam bentuk yang lebih utuh.
Kini, ketika namanya disebut, yang muncul bukan hanya ingatan tentang ceramah atau tulisannya. Tapi, bayangan tentang diriku sebelum mengenalnya. Seorang anak muda yang remuk, lalu perlahan dirakit kembali oleh keteduhan dan kejujuran kata-katanya. Aku teringat masa-masa hening, saat hanya bisa menangis dalam diam, dan merasa seperti dipeluk oleh seseorang yang bahkan tak tahu aku ada. Tapi bukankah itu cinta? Ia bekerja diam-diam, menyembuhkan tanpa banyak suara. Justru pada titik paling rapuh dalam hidup kita, Tuhan sedang mengetuk pintu: lewat seseorang, lewat kata-kata, dan lewat luka.
Mungkin, seperti yang kualami, patah hatimu juga bukan akhir dari segalanya. Ia hanya pintu kecil. Jika kau cukup sabar membukanya, bisa jadi di baliknya terbentang samudra cinta yang selama ini kau cari.