DI ANTARA kabut pagi yang menggantung di atas Cawang dan denting baja yang memantul dari dinding kaca, sebuah kereta meluncur. Namanya Whoosh—sebuah kata yang tak berakar pada bahasa ibu, tapi dipilih karena bunyinya yang futuristik, karena ia terdengar seperti dunia yang ingin kita tiru. Di layar televisi, di baliho yang menggantung di simpang kota, Whoosh disebut sebagai “lompatan peradaban.” Tapi dari balik jendela kereta yang mengilap, sawah-sawah mundur seperti bayangan masa lalu yang tak diinginkan lagi.
Mereka yang naik tampak sibuk memotret, merekam, menandai kecepatan di ponsel mereka: 350 km per jam. Sementara itu, di luar sana, seorang petani di Padalarang menghitung berapa luas sawahnya yang kini tak lagi ada. Di antara tanah merah yang terbelah rel, ia menunduk, memungut sisa batang padi seperti mengubur kenangan.
Barangkali inilah wajah modernitas di negeri ini: indah dari udara, megah dari siaran televisi, tapi getir ketika disentuh dengan tangan telanjang. Faisal Basri, ekonom yang telah berpulang, pernah menulis dengan nada getir namun penuh kasih: “Kereta cepat ini takkan balik modal hingga kiamat.” Banyak orang menertawakannya, menuduhnya sinis, tak punya visi. Tapi kini kalimat itu berdiri seperti batu nisan di tengah euforia pembangunan—tenang, tapi menyimpan luka.
Ia bukan sedang menghitung laba, melainkan sedang menakar nurani. Di negeri yang terlalu gemar membangun monumen, suara yang pelan—seperti logika, seperti kebenaran—selalu kalah oleh gemuruh tepuk tangan.
Kita hidup di zaman yang percaya bahwa kecepatan adalah bentuk baru dari keadilan. Bahwa kemajuan bisa dikejar dengan rel baja, bukan dengan reformasi nalar. Bahwa bangsa yang sibuk berlari dianggap lebih bermartabat daripada bangsa yang berhenti sejenak untuk bertanya ke mana arah langkahnya. Tapi bukankah sejarah selalu menertawakan mereka yang lupa bertanya?
Sekitar tahun 2015, di ruang rapat yang dingin oleh pendingin udara dan hangat oleh janji investasi, lahirlah proyek raksasa itu: kerja sama Indonesia dan Tiongkok, PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Di atas kertas, ia tampak sebagai pelajaran ideal tentang sinergi dan kemajuan. Tapi di lapangan, rel kemajuan tak pernah lurus.
Lahan demi lahan dibuka, kampung demi kampung digusur. Pemerintah berjanji tak sepeser pun dari APBN akan dipakai, tapi seperti biasa, janji sering berumur lebih pendek dari masa jabatan. Biaya membengkak dari Rp86 triliun menjadi Rp114 triliun, dan pintu APBN pun diketuk dengan alasan “demi kelancaran proyek strategis nasional”.
Ignasius Jonan, yang dikenal keras kepala tapi jujur, sempat menolak rencana itu. “Kalau Jawa saja yang maju,” katanya getir, “biarkan saja Papua merdeka.” Kalimat itu menggema seperti petir yang jatuh di ruang sidang: jujur, kasar, tapi benar. Karena kemajuan yang hanya tumbuh di sebagian negeri adalah bentuk lain dari penjajahan—penjajahan yang kini berganti nama menjadi pembangunan. Namun, seperti biasa, suara waras sering dikalahkan oleh tepuk tangan.
Kini Whoosh benar-benar beroperasi. Dari Halim ke Tegalluar hanya 45 menit. Sebuah perjalanan sebatang rokok, kata orang. Sebatang rokok yang mahal—sekitar Rp250 ribu sekali jalan. Terlalu mahal untuk buruh pabrik di Rancaekek, terlalu cepat untuk pedagang kecil di Purwakarta yang masih menunggu angkot setengah jam lamanya.
Di televisi, pejabat tersenyum di antara pita merah dan kembang api, menyebut proyek ini sebagai “simbol kebanggaan bangsa”. Tapi di warung kopi dekat stasiun Walini, seorang lelaki tua hanya tertawa pelan. “Untuk siapa kereta ini?” tanyanya pada udara yang tak menjawab. Mungkin ia sudah tahu jawabannya: kereta ini bukan untuk mereka yang menanam padi, melainkan untuk mereka yang memetik bunga kredit.
Kita sering lupa bahwa kemajuan bukan tentang seberapa cepat kita melaju, tapi tentang seberapa banyak yang bisa kita bawa bersama. Sebuah bangsa yang menilai dirinya dari infrastruktur semata, tapi abai pada pendidikan dan pemerataan, ibarat kereta tanpa rem: cepat, tapi berbahaya.
Kita sering lupa bahwa kemajuan bukan tentang seberapa cepat kita melaju, tapi tentang seberapa banyak yang bisa kita bawa bersama. Sebuah bangsa yang menilai dirinya dari infrastruktur semata, tapi abai pada pendidikan dan pemerataan, ibarat kereta tanpa rem: cepat, tapi berbahaya.
Di Jepang, Shinkansen lahir dari kultur disiplin dan ekosistem teknologi yang matang. Di Indonesia, Whoosh lahir dari ambisi dan utang yang berlipat. Di Eropa, kecepatan kereta menandai efisiensi waktu. Di Indonesia, ia menjadi penanda prestise. Kita membeli modernitas seperti membeli jas mahal tanpa tahu bagaimana menjahitnya.
Seperti yang sering terjadi hari ini, yang paling cepat bukanlah keretanya—melainkan cara kita melupakan pelajaran lama.
Kini Faisal Basri telah tiada, tapi kalimatnya hidup seperti gema yang tak mau padam: “Takkan balik modal hingga kiamat.” Ia tak sedang bicara tentang hitungan bisnis, melainkan tentang moralitas publik yang lambat belajar. Tentang bangsa yang terus membangun gedung, tapi lupa menegakkan sistem. Tentang negara yang mencintai beton lebih dari keadilan sosial.
Kereta itu melaju setiap pagi, membelah kabut, membawa penumpang yang sebagian besar bukan dari kalangan yang dulu tanahnya dirampas. Sementara di pinggiran, orang-orang menatap, menahan tanya, menunggu janji lain yang mungkin takkan datang.
Dan barangkali, suatu hari nanti, di sore yang muram di stasiun Tegalluar, seseorang akan berdiri menatap Whoosh yang berlalu. Ia akan berbisik, “Bangsa ini bukan kekurangan proyek—tapi kekurangan nurani.” Kereta itu akan terus berlari, menembus waktu, menembus sejarah. Tapi apakah ia tahu ke mana hendak pulang?
Akhirnya kita mendengar pernyataan itu—tenang, datar, tapi penuh gema: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa pemerintah menolak menggunakan APBN untuk menutup atau membayar utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh).
Kalimat yang mungkin tampak sederhana, namun di baliknya terhampar lanskap panjang tentang ambisi, kebanggaan, dan beban.
Proyek yang dulu dijanjikan sebagai simbol kemajuan, kini bergema sebagai cermin: antara mimpi dan hutang, antara kecepatan dan keterlambatan, antara slogan pembangunan dan kenyataan yang tak sempat disembunyikan. Siapa yang sebenarnya menanggung beban dari semua itu—negara, rakyat, atau mereka yang menandatangani kontrak di ruang-ruang berpendingin yang jauh dari debu rel dan suara burung di Cikarang?
Purbaya mungkin berbicara dengan nada seorang akuntan negara, tapi di balik angka dan termin pinjaman, ada denyut moral yang jauh lebih rumit. APBN—uang rakyat—adalah nadi terakhir dari kepercayaan publik terhadap negara. Menolak menggunakannya bukan sekadar keputusan fiskal, tapi juga pernyataan etis: bahwa kesalahan manajerial tidak boleh ditebus dengan keringat mereka yang tak pernah naik Whoosh.
Namun, sejarah pembangunan di negeri ini sering kali tidak sesederhana itu. Di antara halaman-halaman proyek yang ambisius, selalu ada kisah tentang janji yang tidak sampai, tentang kota yang disinggahi tetapi tidak disentuh, tentang rakyat yang disuruh bangga tanpa pernah diajak bicara. Di sanalah, di celah sunyi antara klaim efisiensi dan kenyataan sosial, kritik menemukan suaranya.
Barangkali inilah pelajaran paling lirih dari Whoosh: bahwa kecepatan bukanlah ukuran kemajuan, jika yang tertinggal adalah nurani. Pemerintah boleh menolak membayar dengan APBN, tapi siapa yang akan membayar kepercayaan yang hilang? Karena setiap proyek yang gagal menyejahterakan rakyat sejatinya telah menambah utang yang tak tercatat di buku kas negara—utang moral kepada sejarah.
Nitiprayan, 15 Oktober 2025






