RUANG BACA itu sepi. Hanya suara kipas angin tua yang berderit, seolah berusaha menjaga sisa-sisa keheningan. Harun duduk di kursi kayu yang sudah lama kehilangan pernisnya. Ia sedang menjalani semester akhir, di antara draft tumpukan referensi skripsi yang tak kunjung rampung. Lelah, ia memilih menyusuri rak perpustakaan, berharap menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar teori metodologi.
Tangannya berhenti pada sebuah buku tebal, sampulnya hampir terkelupas, baunya menyengat seperti debu yang berusia puluhan tahun. Ia membukanya pelan. Di sana, halaman-halaman yang menguning bercerita tentang seorang anak kelahiran Surabaya, 1930.
Anak itu tumbuh di sebuah kota pelabuhan yang sibuk, tapi hatinya selalu diikat pada sebuah negeri jauh—Tiongkok—yang dianggap tanah asal. Sang ayah, seorang kepala sekolah Tionghoa pertama di kota itu, menanamkan keyakinan bahwa hidup di Hindia Belanda hanyalah persinggahan. Namun kapal pulang yang selalu ditunggu tak pernah benar-benar datang. Perang Jepang, lalu perang saudara di negeri leluhur, menghapus kemungkinan itu.
Sang anak pun dibawa takdir ke Malaya. Tanpa ia rencanakan, ia menjadi warga negara yang baru saja dilahirkan: Federasi Malaya. Seorang yang ditakdirkan sebagai tamu, mendadak berubah menjadi warga.
Harun berhenti membaca. Ia menatap jendela perpustakaan yang buram oleh debu. Sejarah, pikirnya, sungguh bisa membelokkan arah hidup dengan begitu tiba-tiba. Ia, mahasiswa yang sering merasa hidupnya terikat pada “jalur yang sudah ada”—skripsi, wisuda, pekerjaan—merasa disentuh oleh kisah itu. Tidak ada jalur yang benar-benar lurus.
Harun kembali membaca. Buku itu membuka cakrawala lebih luas tentang kolonialisme, perang, dan perpindahan membentuk identitas yang cair. Indonesia, dengan revolusi yang cepat membakar semangat kebangsaan, berbeda dengan Malaya yang terjebak dalam negosiasi etnis. Kebangsaan—tulis buku itu—bukanlah anugerah langit, melainkan pergulatan panjang yang tak pernah selesai.
Namun tokoh itu tidak larut dalam pesimisme. Ia menulis bahwa manusia, sejak awal, selalu membangun lingkaran yang makin luas: dari keluarga, ke suku, ke bangsa, hingga ke peradaban. Peradaban lahir ketika sebuah ide berhasil menembus batas bahasa, suku, dan wilayah.
Harun teringat pada Samuel Huntington dengan The Clash of Civilizations. Tetapi isi buku tua itu mengajaknya melihat dari sisi lain bahwa peradaban bukan semata benturan, melainkan daya tahan. Ia bertahan jika mampu menyeimbangkan antara warisan dan pembaruan—seperti yang ditulis Anthony Giddens tentang keseimbangan struktur dan tindakan.
Halaman-halaman berikutnya membawa Harun pada politik. Dari suku ke negara, dari kerajaan ke kekaisaran, lalu ke negara-bangsa. Treaty of Westphalia 1648 muncul sebagai penanda bahwa Eropa memilih batas untuk mengakhiri perang agama. Dari situ lahir gagasan warga negara yang setara, sesuatu yang revolusioner kala itu. Tapi praktik, seperti selalu, jauh lebih berbelit dari teori.
Harun kemudian tertegun pada kisah Tiongkok di buku itu. Sebuah peradaban yang bukan hanya ditopang banjir Sungai Kuning, tetapi oleh tulisan ideografis yang menyatukan ratusan bahasa. Identitas Han lahir bukan dari darah, tapi dari teks yang dibaca bersama. Dari Dinasti Qing ke Republik Sun Yat-sen, ke Revolusi Mao, hingga Reformasi Deng Xiaoping yang pragmatis. Deng menyatakan bahwa sosialisme hanya mungkin setelah kapitalisme menciptakan kemakmuran.
Kini, kata buku itu, berdirilah seorang teknokrat bernama Xi. Ia naik bukan karena karisma besar, tetapi karena ketiadaan kesalahan. Ironi itu membuat Harun mengingat Max Weber yang banyak bicara soal legitimasi tak hanya lahir dari kharisma, tapi juga dari rasionalitas birokrasi yang berjalan tanpa cela.
Narasi meluas ke Asia Tenggara. Kawasan ini—bagi sebagian ahli—hanyalah ciptaan Anglo-Amerika. Namun di baliknya, ada sejarah panjang perdagangan, persinggungan budaya, keterbukaan. Indonesia muncul sebagai negara terbesar, tetapi tanggung jawabnya masih menggantung. Singapura pun muncul: negara yang konon “tak pernah dimaksudkan untuk ada”, tapi justru berhasil karena memulai dari kertas kosong.
Buku itu menutup dengan sederhana bahwa setiap generasi harus terus belajar, ingin tahu, dan berbagi pengetahuan.
Harun menutup buku itu perlahan. Ruang baca kembali hening. Tetapi kali ini, keheningan itu terasa lain, seperti gema yang menyisakan suara. Ia melihat dirinya sendiri di cermin kisah itu: anak yang lahir di satu tempat, tapi selalu merasa sedang mencari rumah dalam sejarah yang lebih besar.
Ia teringat kalimat Benedict Anderson, bahwa bangsa adalah imajinasi bersama. Pada titik itu Harun sadar, ia pun sedang menulis imajinasinya sendiri. Bukan lewat skripsi semata, tetapi melalui keberadaannya sebagai bagian dari kisah panjang sebuah bangsa yang terus berjuang menyeimbangkan masa lalu dan masa depan.