Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Esensia

Buruh Harian, Jadi Buruh Bulan-Bulanan

Andre Hendra Saksana by Andre Hendra Saksana
August 25, 2025
in Esensia
Reading Time: 4 mins read
Buruh Harian, Jadi Buruh Bulan-Bulanan

DI SEBUAH negeriyang terus menggeliat namun tak pernah benar-benar bangun dari tidur panjang ketimpangan, buruh-buruh harian lepas beredar di mana-mana untuk sekadar menjajakan waktu dan tenaganya. Satu hari kerja adalah satu hari hidup. Tak ada tambahan upah untuk mengeluh, pastinya. Tak ada tunjangan untuk keresahan yang menempel erat pada sumsum tulang badan mereka. Buruh harian lepas jelas bukan pengangguran. Mereka bekerja benar-benar mengacu pada kemungkinan, siapa tahu, dan mbok menowo dipakai lagi. Mereka saban hari menggantungkan hidup dari keberuntungan: beruntung masih dipakai, beruntung masih diajak, dan beruntung badan masih sehat.

Para buruh harian lepas tak punya pekerjaan dan gaji tetap, yang ada hanya kegelisahan yang menetap. Mereka tak diikat kontrak, kalaupun iya, kadang hanya sebagai formalitas administrasi. Tapi, mereka sering kali terikat oleh utang, waktu, dan harga sembako yang sering punya rencana sendiri. Kondisi ekonomi kadang seperti mesin pendingin raksasa. Ia dingin, membekukan, dan menggigilkan badan buruh harian lepas. Hingga membuat mereka jatuh meriang menghadapi desakan dan harga kebutuhan yang makin dingin. Namun, mereka selalu menemukan obat untuk itu, bukan untuk langsung sembuh, tapi semacam pereda: ke warung terdekat kemudian membeli semua yang dibutuhkan, lalu bilang kepada pemilik warung, “Ultrang flu, utang dulu ya, Buk. Besok Sabtu, gajian proyek, saya ke sini lagi.” Flu dan meriang itu sedikit terobati, meski seminggu lagi pasti kambuh dan harus ultrang flu lagi ke warung.

“Buruh kuli panggul yang setiap harinya memanggul karung berisi beras dan pangan pokok, justru kebingungan untuk kebutuhan keluarganya sendiri.”

Dulu, buruh harian lepas bekerja untuk hidup di hari itu saja. Sekarang, jika untuk hidup bulan ini, mereka harus bekerja sepanjang hari tanpa tahu pukul berapa mereka pulang. Kalaupun pulang, sebagian dari mereka tidak benar-benar pulang, tapi bekerja lagi: ada yang menjadi ojek online, buruh dagang kaki lima, atau buruh pakan ternak. Bayangkan, mereka melipat dua profesi buruh pada satu hari.

Mereka paham dan sadar betul, bahwa tak hanya sebagai buruh harian, tetapi juga menjadi “buruh bulan-bulanan”.Bukan karena diupah per bulan, melainkan karena jadi bulan-bulanan sistem yang tak pernah memberi tempat aman. Mereka sering dipermainkan oleh harga, dikelabui dengan janji, dan ditikam pelan-pelan oleh ketidakpastian. Mengingat tak ada jaminan khusus bagi buruh untuk terus diperkerjakan atau tidak di tempat kerjanya. Kata “kerja” saja juga terasa berbeda. Ia seperti berubah menjadi pertaruhan. Tubuh mereka ibarat kolateral dari sistem yang gagal memberi jaminan hidup, tapi eksis menagih ketundukan dalam hierarki struktural.

“Mereka hidup dalam dua pilihan: upah minimum dan harga maksimum. Yang satu stagnan, yang lain melonjak. Di tengahnya, buruh harian lepas sebagai garis tipis yang samar dan semrawut. Selain untuk bertahan dan memperjuangkan hidup, apa lagi? Keringat habis ditukar demi seteguk lega dan sesuap bahagia sederhana.”

Di seberang tembok pabrik yang menjulang, tubuh-tubuh ringkih itu terperas keras. Bukan bagian dari rembug tender, turun waris saham, dan bukan bagian dari anggota diskusi kepemilikan modal. Mereka hanya entri di laporan keuntungan, seperti angka-angka kering yang tak tahu asal-usulnya dari keringat dan keluhan yang hampir putus asa. Tak ada nama di sana, hanya volume. Tak ada cerita, hanya hasil. Tak ada kemanusiaan, hanya efisiensi. Mereka menjadi semacam bayangan kesilapan industri yang terlihat samar. Tapi tanpanya, segalanya tak berjalan.

“Nama mereka tidak pernah tercetak di faktur penjualan. Padahal, setiap nama-nama itu memuat pengorbanan yang ikut suksesi perusahaan, berisi tentang arti kepatuhan karena rasa tanggung jawab dari tuntutan keadaan.”

Ironis. Setiap tahun kita merayakan Hari Buruh tanpa benar-benar bersuara untuk buruh. Poster-poster bertebaran, seminar digelar, jargon-jargon disuarakan besar-besaran, sementara di luar gedung megah itu, seorang buruh harian lepas masih menunggu di ujung gang. Menunggu dipanggil. Menunggu ditanya. Menunggu dilihat sebagai manusia. Ia tak punya tempat pengaduan, tak punya tempat perlindungan sebaik-baiknya selain kepada Tuhan. Kalau pun ia bersedia mengadu dan mengeluh terus-menerus, sedangkan hidupnya dalam tempo per hari, satu jam menganggur adalah satu jam kelaparan yang menanti di depan hari.

“Suaranya tak masuk podium, tak tertulis di kertas resolusi. Tapi punggungnya tetap menunduk, tangannya bekerja, dan jantungnya tetap menyambung denyut kota.”

Apakah mungkin harkat dan martabat manusia bisa dibayar harian?

Atau memang sejak awal, yang dijual bukan hanya tenaga?

Mereka yang bekerja dari pagi hingga malam, dengan alat berat dan hati yang lebih berat. Mereka hidup dalam sistem yang mencicil keadilan, menunda kepastian, dan membayar penderitaan secara berkala, hingga tak terasa bahwa yang sebenarnya diperbudak bukan lagi badan, tapi harga diri, harapan, dan masa depan.

Sebab harapan, jika terlalu lama digantung, akan menjadi beban yang membungkukkan punggung lebih parah dari karung semen. Ia menciptakan ilusi bahwa hidup ini masih bisa berubah, bahwa sistem ini bisa lebih adil. Padahal, memang betul, kenyataannya yang berubah hanyalah harga cabai dan tarif ojek.

“Buruh harian tak perlu pidato. Ia butuh harga yang stabil dan upah yang tak menunggu belas kasihan.”

Setiap malam, buruh harian lepas itu pulang. Kadang dengan nasi bungkus, kadang dengan tangan kosong. Tapi selalu dengan nyeri menjalar ke mana-mana. Tidur hanya menjadi peralihan cepat untuk memulai lagi, bukan sebagai yang benar-benar peristirahatan.

“Buruh harian lepas” bukanlah diksi yang kotor, aib, klise, dan bukan sesuatu yang memalukan, bukan untuk dipermalukan, dan tidak mengundang rasa malu itu sendiri.

Buruh harian lepas yang melepaskan beban hidup dalam hari-harinya dengan bekerja.Demi seteguk lega dan bahagia, tanpa bendera setengah tiang dalam dada.

SendTweetShare
Previous Post

Filsafat yang Dianggap Tak Penting

Next Post

Kalau Pejabat Bisa Puasa Mewah, Rakyat Mau Patungan Untuk Negara

Andre Hendra Saksana

Andre Hendra Saksana

lahir di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 24 Juli 1999. Sejak remaja, ia telah jatuh cinta pada dunia sastra. Ketertarikannya itu ia wujudkan secara otodidak sejak duduk di bangku SMP, dengan mulai menulis esai, puisi, dan prosa. Semasa tinggal di Yogyakarta, Andre aktif menghadiri forum Maiyah *Macapat Syafaat*. Kini, ia merantau dan bekerja di Tangerang, tempat ia terus meneruskan laku belajarnya. Ia kerap hadir dalam forum seperti *Kenduri* *Cinta*—bukan semata sebagai penonton, melainkan karena dendam kerinduan: kerinduan yang membuat hati sampai lebih dulu sebelum jasad mengalami pertemuan. Baginya, menulis adalah bentuk syukur; cara sederhana untuk mengolah pikiran, mengasuh rasa, dan berterima kasih kepada Rahim Ibu Pertiwi.

Related Posts

Kalau Pejabat Bisa Puasa Mewah, Rakyat Mau Patungan Untuk Negara
Esensia

Kalau Pejabat Bisa Puasa Mewah, Rakyat Mau Patungan Untuk Negara

August 26, 2025
Filsafat yang Dianggap Tak Penting
Esensia

Filsafat yang Dianggap Tak Penting

August 22, 2025
Apa-Apa Cinta
Esensia

Apa-Apa Cinta

August 21, 2025
Sekolah Tanpa Gedung, Guru Tanpa Papan Nama
Esensia

Sekolah Tanpa Gedung, Guru Tanpa Papan Nama

August 19, 2025
“Indonesia Tidak Kekurangan Orang Pintar, tapi Orang Jujur” … adalah Warisan Psikologis Kolonial
Esensia

“Indonesia Tidak Kekurangan Orang Pintar, tapi Orang Jujur” … adalah Warisan Psikologis Kolonial

August 18, 2025
Bendera Bajak Laut dan Harga Sembako yang Tak Kunjung Turun
Esensia

Bendera Bajak Laut dan Harga Sembako yang Tak Kunjung Turun

August 8, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta