DI TEPI Sungai Tunca, Kota Edirne, Turki terdapat makam seseorang bernama Yahya Baba dari abad ke-15. Gelarnya Aşçı yang berarti koki. Ia adalah seorang koki terkenal yang bekerja di Imaret (dapur umum) Sultan Bayezid II (sultan Utsmani 1481-1512). Masakannya terkenal lezat karena ia memasaknya dengan sungguh-sungguh dan profesional. Saat menghidangkan ke pengunjung yang kelaparan ia biasa memuji Tuhan dan berdoa “Devam-ı devlet, nasib-i cennet” yang berarti semoga daulah ini langgeng dan tempatnya di surga.
Selain profesional sebagai koki, ia juga seorang arif bijaksana sebagaimana seharusnya seseorang yang mengabdikan hidup di bidang sosial dan bekerja bagi umat. Salah satu perkataannya yang masyhur adalah: “Mereka yang mengisi tubuhnya dengan makanan menjadi pehlivan (ahli gulat). Mereka yang mengisi jiwanya dengan mencintai Allah sepenuh hati menjadi awliya-Nya. Makanan halal membuat semangat ibadah. Gigitan yang haram membawa ke jalan sesat. Keutamaan perut kenyang adalah melihat yang kelaparan.”
Cerita yang paling terkenal tentang Yahya Baba adalah ia meyakini semua makhluk Tuhan memiliki keutamaan, termasuk hewan. Setiap hari ia menyisakan nasi dari imaret untuk diberikan kepada ikan-ikan di Sungai Tunca. Setelah beberapa waktu, petugas gudang imaret mengetahui hal ini sehingga jatah beras baginya dikurangi. Dalam pengelolaan imaret, masing-masing koki diberi jatah beras untuk dimasak. Meskipun jatahnya dikurangi, sisa nasi tetap berjumlah sama dan Yahya terus memberi makan ikan-ikan Sunga Tunca. Semakin hari jatahnya terus dikurangi namun tidak mengubah apa-apa.
Sultan Bayezid II mendengar kejadian ini dan datang ke imaret untuk memeriksa. Setelah para tamu selesai makan dan saat Yahya hendak membawa sisa nasi ke sungai, sultan berkata, “Bukankah apa yang engkau lakukan ini adalah mubazir, Yahya Baba?” Yahya menjawab, “Aku hanya menjadi bagian dari perpanjangan tangan kekuasaanmu Wahai Sultan.” Kemudian, saat tidur, sultan bermimpi dihampiri ribuan ikan yang berkata, “Wahai Yang Mulia, apakah engkau menyesali sisa-sisa dari kerajaanmu yang besar ini bagi kami? Apakah kerajaanmu hanya meliputi manusia saja? Tidakkah kami juga menjadi tanggung jawabmu di hadapan Allah nanti?” Sultan Bayezid menyadari kekeliruannya dan menetapkan memberi makan ikan Sungai Tunca sebagai kebiasaan. Dalam rangka memberi penghormatan, Yahya Baba dimakamkan dalam kompleks pemakaman dekat imaret dengan upacara megah dan dihadiri sultan.
Jika kita merefleksi kisah kearifan Yahya Baba, bahkan ikan-ikan tidak berakal pun ia perhatikan hajat kehidupannya dengan penuh kasih sayang. Maka tidak heran jika ia lebih bersungguh-sungguh lagi menghidangkan masakan yang lezat bagi manusia. Compassionate and considerate alias berkasih sayang dan perhatian terhadap manusia lain. Tujuannya hanya satu, agar manusia yang menikmatinya banyak-banyak memuji Tuhan. Itulah intisarinya, bersedekah dan beramal saleh agar semakin banyak manusia memuji Tuhan dan mengakui segala kebesaran-Nya. Segitu hebatnya kearifan dan profesionalitas Yahya Baba, hingga ia mampu menggugah sultan yang mendapat pelajaran berharga tentang tanggung jawab kekuasaan. Sultan pun diingatkan untuk semakin profesional dalam menjalankan tugasnya. Tidak asal-asalan, tidak sembarangan. Semua yang hidup dalam wilayah kekuasaannya wajib ia perhatikan.
Sesungguhnya apa yang dilakukan Yahya Baba adalah dalam perannya sebagai perpanjangan tangan Tuhan, Ar-Rahman dan Ar-Rahim, Sang Maha Pengasih nan Maha Penyayang. Melalui tangannya, makhluk lain merasakan kasih sayang Tuhan. Maka sebagaimana siapapun yang mengklaim jadi perpanjangan Tuhan dan bekerja membawa-bawa nama-Nya, wajib profesional. Kearifan, kebijaksanaan dan kesadaran akan tanggung jawab kepada Tuhan seyogyanya menjadi motivasi untuk bekerja secara profesional. Arif profesional! Saat bekerja dengan profesional maka ia akan memperhatikan semua detail dengan sempurna. Amanah menjadi mercusuarnya; spesifikasi, biaya dan waktu menjadi batasan-batasan yang harus ia jaga dan yang pasti, harkat, martabat, kebahagiaan manusia menjadi tujuannya. Alpa dan cela ia pastikan tidak akan terjadi. Karena ia sadar sedang bekerja untuk Tuhan!
Dalam hal ini, umat terdahulu tidak main-main, kita ambil tiga contoh saja. Saat Tuhan memerintahkan merawat yang sakit, umat terdahulu membangun bimaristan/darusysyifa/rumah sakit yang megah dan nyaman di berbagai tempat. Mereka menganggap serius ucapan Nabi: “Ia yang menjenguk orang sakit sesungguhnya bagaikan sedang berada di taman buah di surga selama ia belum meninggalkannya.” Bimaristan dijalankan secara profesional dengan kepuasan, kenyamanan dan kesembuhan pasien sebagai tujuan. Egaliter, siapapun pasti dilayani, tidak mengenal kaya-miskin atau ras maupun agama apapun. Semua fasilitas ada, unit kebersihan yang selain bebersih, merawat keindahan juga menjaga setiap ruangan tetap wangi, dapur dengan koki terdidik yang memastikan asupan gizi dan kelezatan makanan. Unit musik pun disiapkan untuk membangun ambience yang sesuai bagi ketenangan pasien, terutama pasien gangguan jiwa. Pasien tidak dibebankan dengan biaya, dana operasional rumah sakit berasal dari penguasa dan sedekah rutin masyarakat yang ingin mendapat pahala.
Profesionalisme bimaristan dibawa ke next level dengan didampingi oleh Madrasah ath-Thibbiyah alias sekolah kedokteran. Tempat ilmu medis dikembangkan sampai mentok. Dokter-dokter dididik dengan sungguh-sungguh sehingga lahir para pakar seperti: ar-Razi (854-925) yang memisahkan kedokteran anak dan dewasa serta mengindikasi penyakit turunan; Abu Zayd al-Balkhi (850-934) yang dikenal sebagai bapaknya ilmu psikologi; Az-Zahrawi (936-1013) yang menyusun prosedur bedah dan berinovasi peralatan bedah; serta Ibnu Sina (984-1037) yang karyanya, al-Qanun fith-Thibb abadi sepanjang zaman.
Saat Tuhan memerintahkan mengurus yang kelaparan, umat terdahulu membangun jaringan imaret/dapur umum yang mampu menampung banyak orang, menghidangkan ribuan porsi tiap hari, menghasilkan menu-menu yang lezat hingga menciptakan koki-koki terkenal yang resepnya masih bisa dinikmati hingga hari ini. Hays, penganan manis dari roti/biskuit kering, kurma, kacang-kacangan, gula yang dihidangkan di walimahan Nabi masih bisa dinikmati hingga hari ini karena tradisi kuliner yang terjaga oleh para koki masyhur dari zaman ke zaman. Abu Mu’alla al-Halawani (abad ke-10 M) mengabadikan resep-resep penganan manis yang disebut halwa/helva yang masih dijual di toko-toko kue di Timur Tengah. Kitab seni memasak atau Kitab ath-Thabik berbagai versi karya koki terkenal masih bisa dibaca hari ini. Yang paling masyhur adalah karya Ibnu Sayyar al Waraq (abad ke-10) yang memuat 600 resep serta Ibnul Karim al-Katib al-Baghdadi (w. 1239) yang memuat 160 resep kuliner khas istana Abbasiyah. Abadinya makanan seperti kunafa, qatha’if, muhallabiyah, tsarid—favorit Nabi—hingga hari ini adalah berkat profesionalitas para koki imaret. Walhasil, kuliner menjadi cabang keilmuan yang dihormati sepanjang peradaban Islam.
Tidak tanggung-tanggung, dalam imaret milik khalifah, sultan dan bangsawan, koki dihadirkan langsung dari istana. Karena dalam Kitab Suci ada syarat sedekah makanan dari apa-apa yang sehari-hari di makan. Ini wujud egalitarianisme makanan, sehingga jarang didengar istilah makanan kota, makanan kampung, makanan istana, makanan jelata. Karena semua bisa saling mengakses makanan masing-masing. Makanan lezat tidak mengenal kasta, makanan lezat tidak mengenal lawan, semua adalah kawan. Buktinya adalah riwayat Khalifah Harun ar-Rasyid (berkuasa 786-809) yang gandrung pada masakan seorang penghuni penjara bernama Yahya bin Abdullah (w. 803). Khalifah menyuruh pelayannya yang bernama Aslam untuk mendapatkan masakan tersebut. Khalifah menyantapnya bersama sepotong roti dengan lahap sampai ia memunguti potongan bawang yang tersisa di dasar mangkuk.
Saat Tuhan memerintahkan berbuat baik kepada ibnu sabil/musafir, umat terdahulu membangun berbagai karavansaray/han/funduq/rumah singgah di kota dan jalan-jalan yang dilalui. Travelling jadi mudah, jaringan jalan tercipta, rute dagang meluas, ekonomi berjalan lancar, barang-barang terdistribusi merata, bersilaturahmi antar daerah jadi mudah, ilmu dari berbagai penjuru datang melalui para penuntut ilmu yang pergi ke negeri seberang. Sehingga sejarah mengenal tokoh-tokoh pelancong seperti Ahmad bin Fadhlan (879-960) yang catatan perjalanannya ke wilayah Volga menjadi inspirasi film The 13th Warrior; Al-Muqaddasi (945-991) yang dikenal sebagai bapaknya ilmu geografi; Ibnu Bathuthah (1304-1369) yang melancong dari Maroko hingga Tiongkok. Termasuk para ulama hadis seperti Imam Bukhari, Muslim, Ahmad dan sebagainya yang dimudahkan oleh jaringan rumah singgah di berbagai wilayah saat menelusuri dan mengumpulkan berbagai hadis Nabi. Demikian juga proses tersebarnya Islam ke Indonesia. Para mubaligh dan pendakwah bergerak dari berbagai wilayah ke Indonesia melalui jaringan rumah singgah yang tersedia tiap satu barid (23 km) atau di setiap pelabuhan. Di rumah singgah berlaku aturan pelayanan tamu selama tiga hari, tempat penyaluran sedekah dan zakat, dan berbagai modus kebaikan lainnya.
Berbagai contoh di atas merupakan buah dari profesionalitas bekerja untuk Tuhan. Ganjaran dalam profesionalitas tentunya adalah keberkahan dan keabadian. Itulah yang terjadi, ketika manusia menganggap serius perintah Tuhan dan mengejawantahkannya dengan profesionalisme. Usaha-usaha untuk “menyenangkan” Tuhan berbuah manfaat berlipat ganda yang efeknya sepanjang zaman, selama-lamanya, di langit dan di bumi. Bahkan bekas-bekasnya pun bermanfaat sebagai inspirasi kebaikan bagi generasi setelahnya.
Salah satu elemen dari profesionalisme adalah prinsip kehati-hatian (precautionary principle). Kehati-hatian dalam perencanaan, dalam pelaksanaan dan dalam pemanfaatan. Prinsip kehati-hatian tidak dapat dipisahkan dalam perilaku manusia beradab apalagi yang tercerahkan oleh agama. Kenapa? Karena manusia takut dosa, takut melanggar aturan Tuhan dan takut merugikan atau menyakiti orang lain. Kehati-hatian memiliki epistemologinya sendiri; manajemen risiko, factor of safety alias faktor keamaan dan social responsibility alias tanggungjawab sosial adalah di antaranya. Aman, nyaman, selamat adalah tujuan. Semua itu dilakukan semata agar setiap tujuan-tujuan mulia tidak berujung pada tragedi.
Dengan segala hormat kepada para korban dan pihak yang menderita kerugian, serta teriring segala doa kepada Sang Maha Kuasa, tragedi yang menimbulkan kematian di tempat yang nama Tuhan banyak disebut merupakan sesuatu yang sangat disayangkan. Fasilitas ibadah yang statusnya work on progress tentunya belum layak digunakan. Apalagi kalau itu suatu bangunan masif. Para insinyur teknik sipil pun sepakat bahwa dalam rancang bangun struktur, saat belum tuntas, belum diuji, belum ada performance acceptance, maka statusnya belum siap pakai alias belum berfungsi secara sempurna, alur pembebanan belum bekerja sebagaimana mestinya. Risiko kegagalan jika terburu-buru digunakan memiliki probabilitas yang wajib diperhitungkan. Karena risikonya nyawa. Takdir Tuhan tersibak dan risiko itu menjadi kenyataan. Tragis dan ironis… Masjid runtuh harusnya tidak pernah terjadi.
Kembali pada kearifan dan profesionalitas umat terdahulu dalam bekerja untuk Tuhan menjadi kewajiban yang harus diteladani. Takut mengecewakan Tuhan jauh lebih baik daripada mengedepankan ignorancy yang berujung pada tragedi. Ini pelajaran berharga yang harus masuk ke dalam otak dan hati siapapun yang bekerja untuk Tuhan. Persiapan dan asesmen menyeluruh terhadap SDM, sistem, manajemen, operasi dan sebagainya harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Agar manusia sebagai pelanggan puas dan bahagia, Tuhan sebagai komisaris utama dan owner ridho.
Tuhan pasti ridho kepada siapapun yang menjalankan perintah-Nya dengan performa yang excellent. Bersungguh-sungguh, memperhatikan detail, memperhatikan kualitas, memastikan dampak positif bagi orang lain, fokus dalam menjaga tujuan mulia sebagaimana saat diperintahkan-Nya agar semua dapat terlaksana dengan baik. Menjadikan tempat-tempat yang banyak disebut nama-Nya sebagai mercusuar pencerahan, bukan sumber cerita ironi dan tragedi. Maka, sekali lagi, bekerja untuk Tuhan wajib arif profesional karena profesionalisme dapat membawa kita ke surga. Sudah cukup cerita keteledoran berubah menjadi petaka yang menyesakkan hati. Apalagi di tempat-tempat suci.






