Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Sumur

Balada Rumput dan Kambing

Emha Ainun Nadjib by Emha Ainun Nadjib
May 16, 2025
in Sumur
Reading Time: 13 mins read
Balada Rumput dan Kambing

DI MASA kanak-kanakku aku berteman dengan seorang anak kecil yang sebaya, bahkan seusia denganku. Mungkin karena kesebayaan itu kami berteman sangat karib.

Kami, tentu saja, sangat saling menyayangi. Bahkan padaku lebih dari itu. Tanpa sengaja pelan-pelan aku merasakan dan menyadari bahwa selalu di dalam hati kuletakkan ia tidak di sisiku, melainkan di depanku. Seakan-akan aku adalah pengawalnya.

Ke manapun ia pergi, aku mengawalnya, membuntutinya, berjalan di belakangnya. Ia seorang pelari yang luar biasa cepat. Aslinya sesekali aku mampu berlari lebih cepat darinya, tetapi belum pernah aku melampauinya. Selalu aku letakkan diriku melangkah di belakangnya. Tidak pernah tahu persis kenapa aku bersikap seperti itu.

Memang pernah satu kali aku berlari melampauinya, secara spontan itu kulakukan dengan maksud untuk memacu dan memancing agar ia berlari lebih cepat. Sebab kami sedang dikejar oleh seorang petani yang mentimun di sawahnya kami curi sepulang sekolah. Mencuri tidak tanggung-tanggung, buah “krai” atau sebagian orang menyebutnya mentimun atau ketimun itu memenuhi saku baju kami, saku celana dan tas sekolah kami.

Kalau aku tidak memacu sahabatku itu berlari lebih cepat dengan cara melampauinya berlari, hampir bisa dipastikan kami akan ditangkap oleh petani Dusun Sebani itu. Dan resikonya benar-benar tidak ringan. Tidak hanya soal malu kepada teman-teman lain dan masyarakat, tapi Ibu sahabatku itu yang menakutkan.

Dan ternyata itu tanpa kami sangka-sangka benar-benar terjadi. Si petani ternyata tahu siapa kami, melaporkannya ke Ibu sahabatku, sehingga tanpa kata tangan Ibu sahabatku itu menjewer telinga putranya, dan tangan kirinya menjewer telingaku. Beliau menyeret kami berdua dan dalam keadaan telinga dijewer, berjalan melintas desa menuju rumah pak petani.

Kami disuruh duduk seperti orang shalat bertahiyat, membungkukkan punggung dan menundukkan kepala, diperintahkan untuk meminta maaf sejadi-jadinya kepada pak petani. Anak-anak kecil dan para tetangga desa sebelah itu menyaksikan bagaimana dua pesakitan kecil ini menanggung malu.

Kemudian Ibu sahabatku itu membayarkan uang seharga mentimun yang kami curi. Dan akhirnya kami digiring pulang ke desa kami dengan sepanjang jalan disuruh mengucapkan keras-keras hapalan surat-surat pendek Al-Quran yang kami hapal.

***

Sejak peristiwa mentimun itu aku mulai sedikit menyesali dan bertanya-tanya tentang sahabatku ini.

Ayah sahabatku ini mengasuh Sekolah Dasar, yang dibangun di bagian kiri halaman rumahnya yang sangat luas, sedangkan di sebelah kanan ada Masjid kecil yang kami sebut “Langgar” atau yang umumnya orang menamakannya Musholla.

Kenapa sahabatku ini tidak bersekolah di Sekolah Dasar ayahnya sendiri? Kenapa dia memilih bersekolah di Sekolah Dasar desa Bakalan yang letaknya jauh dan berentang dua desa dari desa kami? Diam-diam aku bertanya juga kenapa pula aku mengikuti sahabatku ini bersekolah tidak di tempat yang sangat dekat dengan tempat tinggal kami?

Rasanya tidak ada seorang Ayah mengarang-ngarang lakon di mana putranya disekolahkan di tempat yang jauh, sedangkan ia sendiri punya Sekolah. Yang dengan sendirinya urusan kependidikannya lebih terjamin jika bersekolah di Sekolah yang dikelolanya sendiri.

Aku tidak pernah ingat bagaimana hal itu dulu terjadi. Tahu-tahu kami sudah bersekolah di desa jauh Bakalan. Bangun sangat pagi karena harus mencukupi waktu menuju Sekolah yang kami tempuh sekitar satu jam. Pulang sekolahpun tak segera tiba di rumah, harus berpanas-panas melintasi galengan sawah-sawah, dua sungai dan satu tuangan atau bulak.

Begitu tiap hari. Keasyikan dan kenikmatanku bersahabat dengannya membuat pertanyaan-pertanyaan yang muncul di dalam hatiku tenggelam. Bahkan ketika ketika pada suatu hari di tengah mata pelajaran di kelas, sahabatku itu kencing di atas meja belajar, sangat aneh aku tidak menyalahkannya.

Oleh Pak Guru ia di”pares”, di”strap” atau dihukum berdiri di atas bangku pojok kiri depan, gara-gara ia membantah dan mempertanyakan – kenapa kalau murid terlambat 2-3 menit dihukum oleh Guru, sedangkan kalau Pak Guru terlambat datang sampaipun setengah jam: murid tidak boleh menghukumnya.

Di tengah sahabatku itu berdiri di atas bangku, tiba-tiba ia mau berhajat buang air kecil. Dan karena tidak mungkin ia turun dari bangku untuk ke kamar kecil, maka ia kencing di atas bangku itu. Ketika kemudian Pak Guru marah – memang pastilah demikian – sahabatku itu bukannya minta maaf atau merasa bersalah.

Ia malah melompat dan melontarkan satu kakinya ke badan Pak Guru. Seluruh kelas ribut. Bahkan seluruh Sekolah. Langsung pihak Sekolah mengutus salah seorang Guru untuk mendatangi Ayah sahabatku, dan dalam waktu cepat si Ayah pun tiba.

Sahabatku itu dipanggil masuk ke kantor Guru, di mana ada Ayahnya di situ. Dan tentu saja aku menguntitnya dari belakang. Meskipun tak boleh masuk, tapi aku berjaga di sisi pintu.

Pengadilan berlangsung sangat cepat. Bahkan sepertinya belum sempat ada tanya jawab sebagaimana layaknya pengadilan. Tiba-tiba sahabatku itu keluar ruangan. Tanpa berkata apapun ia ngeloyor masuk kelas, mengambil tasnya, kemudian keluar ke halaman sekolah, ke jalan, dan pergi.

Besoknya ia tidak berangkat ke Sekolah. Juga besoknya lagi, besoknya lagi dan seterusnya. Aku tidak tahu dengan tidak lagi bersekolah, apa yang terjadi antara sahabatku itu dengan Ayah dan Ibunya. Yang pasti aku belum pernah melihat atau mendengar bahwa ia dimarahi oleh kedua orang tuanya.

Ia tidak bersekolah, dan tampaknya tidak ada yang aneh dari kenyataan itu. Semua berjalan baik-baik saja. Kakak-kakak sahabatku itu tak pula menunjukkan perilaku yang mencerminkan bahwa mereka mencemaskan adiknya yang tidak sekolah.

Kalau murid-murid Sekolah Ayahnya berdatangan pagi-pagi, sahabatku itu keluar rumah dan ikut bermain dengan mereka. Ketika mereka masuk kelas, sahabatku itu berkeliaran dan melintas-lintas di depan kelas-kelas. Sesekali dari balik pintu luar ia mendengarkan Pak Guru mengajar dan semua yang terjadi di dalam kelas.

Kalau menjelang maghrib, sahabatku itu bermain di depan Langgar sebagaimana semua anak-anak kecil: Gobak Sodor, Jenthik, Jumpritan, Nekeran, atau beradu gulat, ‘diadu’ oleh para ‘Senior’ komunitas Langgar yang setiap malam mengajari mengaji dan menjelang tidur menuturkan dongeng-dongeng.

Sahabatku itu tak pernah tidur malam di rumahnya. Ia selalu tidur di Langgar. Hanya saja aku sering mendengar kalau siang-siang panas hingga sore, ia sering tiduran berdua di kamar dengan Ibunya. Rupanya sang Ibu mengajarinya qiroat. Sesekali ia bersama Ayahnya di ruang tengah, omong-omong grenak-grenik berdua, dan sahabatku itu menghapalkan kalimat-kalimat entah apa dari Ayahnya.

Pada suatu pagi ia mengajakku main, pergi melintasi sawah-sawah, masuk ke kuburan sebelah timur desa, dan berhenti di dalamnya, duduk di antara batu-batu nisan. Sesekali ia mengajakku omong-omong, di saat lain ia terdiam lama sekali. Memandangi nisan-nisan, meratakan tatapannya ke seantero kuburan, melayangkan pandangannya ke langit, berbagai wilayah langit. Menjelang siang ia berdiri, berjalan menelusuri makam demi makam dan mengucapkan “Assalamuálaikum” kepada para Ahli Kubur satu persatu.

Tatkala matahari melewati puncak peredarannya di langit, ketika panas menembaki kami dengan puncak suhunya dari sela-sela dedaunan dan pepohonan, tiba-tiba terdengar bunyi kambing mengembik. Sahabatku terkesiap, menoleh ke arah suara itu. Kemudian berjalan bersijingkat menghampirinya, dan aku mengikuti di belakangnya.

Serombongan kambing, sekitar 17 ekor, sedang merundukkan badannya, menjulurkan leher dan kepalanya, meminum air bergemiricik di sungai kecil di tepi kuburan. Kami terpaku sangat lama menyaksikan dan mencoba turut merasakan, atau sekurang-kurangnya membayangkan apa yang bergolak di dalam jiwa kambing-kambing itu ketika meminum air segar sejuk itu di bawah panggangan matahari.

Dan yang tak kusangka-sangka adalah sahabatku itu menangis, semula ia masih menahannya tapi kemudian jebol hatinya sehingga menangis sesenggukan dengan napas tersengal-sengal.

Diam-diam saya bertanya-tanya mana dan siapa yang menggembalakan kambing-kambing ini. Tidak ada kambing liar. Selalu ada yang memilikinya dan menggembalakannya. Benih kambing ditaburkan dari langit dengan tugas dan kewajiban yang sangat terkait erat dengan manusia dan pengelolaan kemanusiaan.

Prinsip kemakhlukan dan koordinat semestawinya berbeda dengan anjing hutan atau harimau, musang atau serigala. Kalau Tuhan sesekali menggambarkan manusia “mereka bagaikan binatang, bahkan lebih hina”, rasanya bukan kambing yang dimaksud dengan idiom binatang itu. Meskipun sejarah peradaban-peradaban mencatat bahwa manusia yang punya potensi lembut dan arif seperti kambing, ternyata sanggup memperhinakan dan memperbodohkan dirinya menjadi lebih parah dari musang, serigala dan anjing hutan: “bahkan lebih hina”.

Maka biasanya kambing tidak berlari-lari sendiri, berombongan mengembara sampai ke kuburan sebagaimana yang kami saksikan siang itu. Selalu ada yang menggembalakan. Baik kambing “gibas” yang berbulu tebal, yang ekstrovert dan suka berkeliaran bebas di daerah-daerah rerumputan. Apalagi kambing “jawa” yang lebih suka tinggal di kandang dan makan daun-daunan “ramban”, bukan terutama rerumputan.

Alkisah, semua Nabi dan Rasul dipasang Tuhan di bumi dengan salah satu tugas yang sangat ‘sederhana’, yakni menggembalakan kambing. Pasti ada konsep kebudayaan dan rekomendasi peradaban di balik kenyataan langit di bumi itu. Dan sepertinya pada semua wacana tentang Nabi-Nabi menggembalakan kambing, tak ada jenis kambing Jawa yang digembalakan.

Mungkin karena di Jawa memang tidak ada rangsum Nabi atau Rasul dari Tuhan. Atau mungkin justru karena kambing Jawa memang berbeda, maka tidak diperlukan Nabi dan Rasul untuk menggembalakannya. Barang siapa ingin memperoleh kepastian tentang ujung pangkal fenomena ini, bersegeralah bertanya langsung kepada Tuhan, dan jangan memperdebatkannya dengan sepatah katapun sebelum memperoleh jawaban langsung dari Tuhan.

Tetapi semua pertanyaan itu terhapus dari ingatanku, karena mendadak sahabatku berlari sangat kencang. Dari kuburan melintas galengan-galengan sawah menuju rumahnya.

Sebelum masuk rumah, di depan Langgar dilihatnya Cak Markesot sedang duduk-duduk santai sehabis shalat dluhur. Sahabatku menghampirinya dan berkata, “Cak Sot, mbok tolong nanti malam saya dikenalkan dengan Raja Kambing..”

Markesot kaget. “Raja Kambing?”

“Kan beberapa hari yang lalu Cak Sot berkelahi melawan Raja Tikus, gara-gara penduduk sekampung beramai-ramai membunuh hama tikus di sawah.”

Markesot tertawa. “Jadi kamu mau nantang Raja Kambing?”

Sahabatku menjawab, “Ndak, Cak Sot. Aku cuma mau kenalan, dan kalau boleh akan merundingkan beberapa hal.”

Markesot berdiri. Mengeluarkan pisau dari pinggangnya. Kemudian berjalan mendekat ke pohon kelapa. Ia melemparkan pisau itu beberapa meter hingga menancap ke badan pohon kelapa.

“Belajar lempar pisau dulu, baru berpikir ketemu Raja Kambing.”

Markesot mengambil kembali pisaunya. Kemudian mundur. Tadi ia melemparkannya dengan memegang gagangnya, sekarang ia melempar dengan memegang ujung pisau.

Markesot mengulang beberapa kali. Kemudian ia mencopot kaosnya. Sahabatku disuruh mengikatkannya di kepala Markesot sampai menutupi kedua matanya. Lantas Markesot melempar lagi pisaunya, beberapa kali dan menancap. Bahkan tidak sekadar menancap, tapi tepat di titik sasaran yang ia sebut, atau kemudian yang sahabatku disuruh menentukan titik mana yang harus ditancapi oleh ujung pisau.

“Setitik sasaran yang akan kau tancapi ujung pisau, harus kau pandang dengan perasaan terdalammu sehingga satu titik tampak terang benderang seluas alam semesta,” kata Markesot, “Jagat raya ini hanya satu titik sangat kecil, dan satu titik sangat kecil itu adalah alam raya yang tak terbatas luasnya.”

Dan kemudian sahabatku itu mencobanya. Dua kali meleset. Tapi kali ketiga dan seterusnya ia mencapai apa yang Markesot capai. Seolah-olah setiap titik di pohon, di ruang, di alam semesta, sudah terang benderang bagi sahabatku di peta “roso”nya.

Benar-benar aku kelelahan mengikuti sahabatku sepanjang hari itu. Juga ada rasa bosan atau semacam putus asa. Tetapi kemudian kubangun kembali tenaga, kesabaran dan ketabahanku, karena ternyata kasih sayangku kepadanya sangat cepat menghapus rasa lelah, memusnahkan segala rasa tak berdaya, diganti oleh semangat yang aneh untuk terus mengawal dan menekuni perilaku-perilakunya.

Karena sejak peristiwa kambing di kuburan itu, daftar keanehan kelakuan sahabatku semakin bertambah-tambah. Malam harinya ia tidur di Langgar tapi tengah malam hilang, dan kutemukan ia tidur di cabang sebuah pohon besar tinggi: subuh baru ia turun.

Besok malamnya kujumpai ia tidur di lekukan talang di ujung genting rumah Ayahnya. Kalau siang sangat sering ia ke kuburan. Aku mendengar banyak tokoh-tokoh sejarah, para Ulama dan Kiai, yang kuburannya diziarahi oleh khalayak ramai. Tetapi sahabatku ini mengunjungi kuburan asal kuburan. Kuburan siapa saja. Tanpa ada pertimbangan apakah almarhum itu dulu orang besar atau orang biasa, orang alim atau orang jahat. Sesekali aku mencoba membayangkan juga bagaimana kalau ada ratusan orang mendatangi sebuah kuburan orang terkenal, sambil melewati batu-batu nisan kuburan ratusan orang di sekitarnya. Bahkan para penziarah itu tidak sedikitpun menyapa ratusan penghuni kubur lainnya. Bahkan melirikpun tidak. Terlebih-lebih lagi: ingat sajapun tidak pula.

Akan tetapi aku tidak pernah menanyakan atau mencoba omong-omong dengan sahabatku itu tentang kuburan orang terkenal dan kuburan orang biasa. Termasuk apakah ribuan penziarah makam para tokoh itu datang ke pemakaman demi yang didatanginya, atau didorong oleh kepentingan diam-diam di dalam hati mereka.

Aku sendiri tidak tahu apa kepentingan sahabatku suka datang ke kuburan, bahkan tertidur di sana. Tidak kumengerti apa kira-kira kepentingannya, apa yang mendorongnya, dan apa pula hasilnya. Apalagi ditambahi ia sering berpuasa, tanpa kewajiban dari siapapun dan tidak disuruh siapapun untuk berpuasa. Sekurang-kurangnya ia tidak makan nasi berbulan-bulan. Entah untuk apa itu semua.

Sahabatku itu berkurang kunjungannya ke kuburan sesudah pada suatu musim panen ia menjadi buruh “ani-ani” di sawah Ayahnya sendiri, kemudian mendapatkan “bawon” atau prosentase sebagaimana para buruh lainnya. Ternyata padi bawonnya ia jual, dan uangnya dipakai untuk membeli kambing.

Ia hanya bilang akan beli kambing kepada Kakeknya, kemudian diantarkan naik sepeda ke Pasar Peterongan yang jaraknya dari desa kami sekitar 6 km. Aku membantunya menyeret tiga kambing itu, dua betina dan satu jantan, dari Pasar Peterongan ke desa. Harus ada proses perkenalan kemudian pembuktian kasih sayang kepada kambing. Tidak begitu saja mereka menjadi milik kita mentang-mentang kita sudah membelinya. Juga tidak lantas semata-mata begitu saja para kambing patuh kepada pembelinya.

Kambing bukan budak. Ia menolak untuk kami tuntun dengan mengendalikan tali di lehernya. Jadi harus diseret. Dan mereka menolak untuk mengikuti kami. Aku membantu sahabatku itu menyeret kambing berjam-jam lamanya untuk sampai ke desa. Kakeknya mengawal dengan menuntut sepeda di belakang.

Sejak itu sesudah dluhur sahabatku itu menggembalakan kambing ke berbagai tempat, terutama di lapangan sepakbola desa, atau ke “tangkis” atau tanggul besar memanjang ketika lapangan dipakai untuk main bola. Sampai ujung sore dan hampir memasuki senja, aku menemaninya bersama kambing-kambingnya. Sesekali ia menitipkan kepadaku kambing-kambing itu kalau ia berhajat masuk kuburan, perlu “ngarit” mencari rumput atau “rambanan” atau diminta ikut kesebelasan anak-anak di lapangan.

Tiga kambing itu kemudian beranak pinak.

Kambing-kambing itu kemudian beranak pinak sampai beberapa puluh, sampai beratus-ratus, beribu-ribu dan berjuta-juta, mempergauli dan memperebutkan rumput-rumput di seantero Nusantara, bahkan tidak sedikit yang merumput di belahan-belahan lain di bumi.

Aku mohon jangan berharap aku akan menuliskan lebaran dan dalaman keanehan dan rahasia perjalanan sahabatku itu. Ada ratusan peristiwa dan kecenderungan hidupnya yang sampai sekarang aku justru semakin tidak paham.

Yang urusan “angon wedus” saja sudah berbuku-buku, bercerpen-cerpen, beresei-esei, berpuisi-puisi. Padahal sahabatku kemudian juga angon macan, musang, heyna, serigala, burung gagak, burung merak, cacing, lintah, kaki-seribu dan boleh dikatakan hampir seluruh binatang. Belum lagi pengelolaan hantu dan halus-halus arupadatu-arupadatu lainnya. Sampaipun kapak pedang berang clurit anak panah.

Dari menggembalakan “geger wong ngoyak macan” kecil-kecil di bawah-bawah hingga melengserkan Raja Macan. Dari orang kecopetan hingga pejabat umroh berkat akan ditangkap karena korupsi. Dari menggembalakan makhluk naza’ hingga perang Suku. Dari kesenian hingga konflik Madzhab. Dari celana congklang hingga patung Tuhan. Dari angon mental pembunuh mertua hingga penitipan Islam dan Bahasa Al-Quran antar-benua. Dari apapun siapapun bagaimanapun walaupun di manapun kapanpun hingga tak siapa tak apa tak bagaimana tak kapan tak mana tak walau.

Sampai usia udzurku sekarang ini kukenang-kenang sahabatku itu dalam ketidak-pahaman yang rasanya semakin tak bisa kuubah menjadi pemahaman. Sesedikit apapun.

Jangankan aku berhasil memahami siapa sesungguhnya diri sahabatku itu, kenapa ia ada di bumi dan untuk apa semua itu ia lakukan sejak kanak-kanaknya. Sedangkan aku sendiri seumur-umur bahkan tidak pernah sempat mengingat atau apalagi mencari diriku sendiri ini siapa, dan kenapa sepanjang hidup mengawal dan membuntutinya.

Akan tetapi semua itu kurelakan. Karena andaikan aku tak ada pun tak ada masalah bagi siapapun saja. Cukuplah aku bersyukur bahwa sahabatku itu bara api yang tak pernah padam di dalam jiwaku. Ingatanku kepadanya adalah semangat keabadian. Kenanganku atasnya adalah kenikmatan yang melimpah-limpah namun diselimuti rahasia.

Sering aku merasa bahwa tidak ada apa-apa yang bersemayam di semesta takdir kehidupanku ini kecuali kecemasan dan harapan di mana pekerjaanku setiap siang dan malam hanyalah berkejaran dengan rahasia itu. Bukan. Bukan berkejaran. Aku yang terus menerus mengejarnya, sementara ia sudah menguasaiku.

Rahasia itu sudah sejak kanak-kanak menangkapku, menawanku, memenjarakanku, mengurungku, meliputiku, menenggelamkanku, membuat nafasku sesak dan tersengal-sengal – tanpa sedikitpun aku pernah berhasil menyentuh rahasia itu.

Namun tak pernah sedetikpun aku berhenti mengawalnya. Seluruh ilmu pengetahuan ummat manusia di zaman apapun. Seluruh peradaban. Dari bertani hingga bernegara. Dari bernafas hingga menyelenggarakan perang dunia. Dari gumaman sehari-hari hingga puncak filsafat. Dari yang tanpa tuhan hingga aktivitas beragama. Alhasil apapun saja – bermuara atau macet di kalimat “menemukan diri sendiri”.

Para pejalan puisi, pengembara keindahan, sesudah kebenaran dan kebaikan: terlebih lagi.

Asyik maksyuk “mencari diri sendiri”, “temukan karaktermu sendiri”, “meng-otentik”, “men-diri”, asli, murni, suci, sejati, agar abadi… Apapun saja. Kalimat terpopuler dalam dunia teater “meng-ada atau tak meng-ada, itulah soalnya”, yang dimaksud “ada” tak lain tak bukan adalah sang “diri”. “Diri” itu sedemikian ada, senantiasa dicari, sampai di ujung perjalanan kelak sejatinya ia tak pernah ada.

Pun padaku. Sekadar seorang pengawal. Jangankan lagi “diri” sahabat yang kukawal itu. Hidup terlunta-lunta dalam semoga, dalam “siapa tahu”, mengembara tanpa pernah bersentuhan dengan ujung pangkal. Tak benar-benar berjalan di lingkup Sang Awal dan Sang Akhir. Demikian hingga kelak musnah dalam Awal dan Akhir.

Tak ada jam, menit, bahkan detik, yang kulewati tanpa ketekunan yang bertele-tele untuk tak kunjung mampu menyentuh rahasia hidup sahabatku, juga diriku sendiri, andaikan aku ini diri.

Senja hari usiaku temaram, dan diri itu makin kabur. Tak pernah benar-benar aku berani memperpanjang kata itu menjadi “diriku sendiri”, sebab “diri” sajapun, sebiji kata yang sebatang kara sepanjang kesenyapan hidupku, tak semakin mendekatkan jari jemariku ke rahasia itu.

Sahabatku itu menumpahkan rentang usianya untuk menggembalakan kambing-kambing dan berbagai jenis binatang. Dan belum lama aku menyadari bahwa tak seekor kambingpun atau binatang yang manapun yang mengerti bahwa mereka digembalakan. Berpuluh tahun aku memanggul kebodohan dan harapan tentang kesadaran kambing-kambing terhadap penggembalanya. Sedangkan sudah pasti atas dirinya sendiri pun kambing-kambing tak pernah sadar dan mengingatnya. Aku menemani sahabatku itu sepanjang rentangan waktu menanam rumput dan pepohonan, memeliharanya, menyiraminya, di hutan-hutan maupun persawahan. Namun sampai hari ini kami berdua tak punya pengetahuan sedikitpun apakah tanaman-tanaman itu pada suatu masa nanti akan berbuah.

Yogyakarta, 2015.

SendTweetShare
Previous Post

Merenungkan Trapsila: Menjaga Moralitas Dalam Kehidupan Bersama

Next Post

Rezeki Sudah Ada yang Ngatur, Rezeki Sudah Tertakar

Emha Ainun Nadjib

Emha Ainun Nadjib

Related Posts

Sumur

Menikmati Pagi Ketika Pagi

May 28, 2019
Sumur

Ruang Waktu Tidur

May 26, 2019

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta