DI WARUNG KOPI pojok kampung, asap rokok masih jadi kabut yang menyelimuti obrolan. Bedanya, kini bungkus-bungkus murahan tanpa pita cukai ikut beredar, diselipkan di bawah meja, dibungkus koran bekas, dijual dengan lirikan curiga. Teman-temanku yang dulu bebas menyalakan sebatang kretek di sela diskusi kini seperti perokok gelap—membeli barang ilegal sembunyi-sembunyi, seolah rokok bukan lagi kenikmatan, melainkan kejahatan kecil.
Cukai yang dipatok negara hari ini mencapai 57 persen dari harga jual. Angka itu bukan sekadar persentase di kertas, tapi berarti satu batang kretek lebih mahal daripada sepiring nasi kucing di angkringan. Ironisnya, industri rokok kecil terseok, petani tembakau kian terjepit, sementara kantong negara kian penuh.
Sejarah mencatat, kretek lahir dari rahim rakyat sendiri: campuran cengkeh dan tembakau yang pernah menjadi aroma perjuangan, dari buruh hingga seniman, dari sawah hingga panggung pertunjukan. Kini, warisan itu dihisap perlahan oleh kebijakan yang terlalu rakus, hingga rakyatnya sendiri terpaksa jadi penyelundup di negeri sendiri.
Aku pun bertanya-tanya: apakah tujuan negara hanya menghimpun uang dari paru-paru rakyatnya? Atau kita sedang menyaksikan bagaimana kenikmatan kecil yang dulu jadi perekat pertemuan, pelan-pelan dicuri oleh angka-angka yang tak lagi mengenal rasa?
Di pojok angkringan, temanku menyulut sebatang kretek murahan. Tak lagi dibeli terang-terangan, tapi lewat jalur gelap, dibungkus plastik bening tanpa pita cukai. Mereka menyedotnya dengan rasa bersalah, seperti kriminal kecil di tanah sendiri.
Cukai rokok kini mencengangkan: 57 persen dari harga jual. Negara memang mencatat pemasukan besar—Rp226,4 triliun hanya dari cukai tembakau. Bandingkan dengan laba semua BUMN kita yang totalnya Rp304 triliun. Tapi angka itu tidak sepenuhnya lahir dari niat negara menghisap paru-paru warganya. Ada tekanan asing yang pelan-pelan menyusup, menuntut agar industri rokok nasional—yang hampir seluruh komponennya dulu berasal dari dalam negeri—dihabisi dengan dalih kesehatan, lingkungan, atau tata perdagangan global.
Sejarah seharusnya diingat: dari tembakau petani Temanggung, Jember, Madura hingga cengkeh Maluku, dari gudang-gudang linting Kudus hingga pabrik kretek kecil di pinggir kota, industri ini tumbuh sebagai denyut ekonomi rakyat. Ia memberi pekerjaan, menghidupi keluarga, bahkan menyumbang napas budaya—kretek tak sekadar asap, ia pernah jadi simbol perlawanan, aroma yang lahir dari bumi sendiri.
Kini, di balik jargon kesehatan dan kampanye global, ada aroma lain yang menyengat: strategi menyingkirkan industri lokal agar pasar bebas terbuka lebar bagi korporasi multinasional. Ironisnya, negara kita memilih tunduk, menjadikan rakyat kecil sebagai korban paling awal.
Maka aku bertanya kembali: sejak kapan kita rela menukar aroma tembakau negeri sendiri dengan asap yang disulut dari kebijakan asing?
Di meja kayu angkringan, sebatang kretek murahan beredar dari tangan ke tangan. Kini tanpa pita cukai, tanpa gengsi, hanya sisa dari industri besar yang kian terhimpit. Teman-temanku menghisapnya sembunyi-sembunyi, seolah sedang melakukan tindak kriminal, padahal mereka hanya mengulang tradisi kecil: bercakap ditemani asap.
Cukai rokok telah melonjak ke 57 persen dari harga jual. Negara memang mengantongi Rp226,4 triliun dari cukai tembakau, hampir menyamai seluruh laba BUMN kita yang hanya Rp304 triliun. Namun bukan itu inti persoalannya. Tekanan asinglah yang terus mencekik, agar industri rokok nasional—yang hampir semua komponennya dari dalam negeri, dari cengkeh Maluku, tembakau Madura, hingga lintingan Kudus—dipaksa roboh.
Padahal inilah sesungguhnya model kemandirian industri nasional: tumbuh dari tanah sendiri, menyerap jutaan tenaga kerja, menopang keluarga petani, hingga menorehkan budaya dalam sebatang kretek. Tidak ada subsidi impor, tidak ada ketergantungan asing. Hanya kesetiaan pada bumi sendiri.
Dan kita biarkan ia dihancurkan, pelan-pelan, dengan dalih kesehatan global, dengan jargon perdagangan bebas, dengan angka-angka cukai yang kian tak masuk akal.
Bukankah ini ironi paling getir? Di saat kita berteriak mencari model kemandirian ekonomi, justru warisan kemandirian yang nyata dihancurkan di depan mata.
Di televisi, iklan-iklan kesehatan berderet: paru-paru hitam, peringatan seram di bungkus rokok, narasi panjang tentang bahaya sebatang kretek. Perdebatan soal dampak kesehatan rokok seakan mutlak, tak terbantahkan. Tetapi bukankah itu lebih sering hanya jadi alibi?
Lihat rak-rak minimarket: botol minuman manis berjajar, penuh gula lebih dari yang bisa ditanggung tubuh. Makanan ringan asin, sarat garam dan pengawet, jadi cemilan anak-anak sekolah setiap hari. Data kesehatan global menyebut konsumsi gula berlebih adalah pemicu utama diabetes, jantung, obesitas. Namun, produk itu tidak pernah benar-benar diutak-atik. Tidak ada cukai 57 persen. Tidak ada larangan iklan di jam tayang utama. Tidak ada foto mengerikan di bungkusnya.
Sementara kretek—industri yang tumbuh dari petani lokal, buruh linting, dan pasar rakyat—dijadikan kambing hitam. Dihukum oleh regulasi, ditekan oleh kampanye global, dipinggirkan dengan stigma.
Seolah-olah tubuh bangsa ini lebih perlu dilindungi dari asap kretek ketimbang dari serbuan gula dan garam yang diam-diam merusak generasi. Seolah yang penting bukan kesehatan rakyat, melainkan membuka jalan agar industri multinasional merajalela di tanah sendiri.
Maka, pertanyaannya menjadi getir: kesehatan siapa yang sebenarnya sedang dilindungi? Rakyat kecil yang menghisap kretek di teras rumahnya, atau kapital besar yang tak ingin tersaingi oleh aroma tembakau negeri sendiri?
Di pagi yang sama, tukang jamu lewat membawa gerobak, di pojok warung kopi seorang bapak meraba saku mencari receh. Ia tak menatap bungkus rokok di tangannya — bungkus plastik tanpa pita cukai yang dibeli diam-diam dari kenalan. Daya beli kian menipis; upah tak lagi mengejar harga kebutuhan. Sebatang kretek murah menjadi kemewahan yang harus diselamatkan, bukan dikonsumsi dengan ringan.
Rokok ilegal tak tumbuh dari kegelapan semata; ia adalah buah dari ekonomi yang rapuh. Ketika harga melompat, pilihan menyusut: beli resmi lalu menahan napas, atau cari yang tanpa pita, yang dijual dengan lirikan, di bawah meja. Di situlah pasar gelap merayap—bukan karena naluri kriminal, melainkan karena pilihan hidup yang dipaksa.
Bayangkan jika peredaran rokok ilegal digasak habis. Pemerintah menutup celah-celah itu dengan operasi besar, razia, aturan lebih keras. Aku tak melihat jalan damai. Yang kutahu adalah sesuatu yang lebih rapuh: sekitar 70 juta orang—bukan angka abstrak, melainkan dasar-dasar pertemuan, obrolan, ritual kecil—akan merasa haknya direbut. Mereka bukan massa tanpa wajah; mereka tetangga, tukang becak, buruh, ibu-ibu yang merokok setelah seharian kerja. Jika kebutuhan kecil itu dihilangkan, perlawanan yang muncul bukan lagi diskusi di parlemen; ia bisa menjadi gerilya sosial—aksi-aksi subkultural, pasar gelap yang melebar, solidaritas yang disulut oleh rasa diperlakukan tak adil.
Ini bukan ancaman retorika, melainkan logika: ketika ruang hidup dipersempit, orang belajar bertahan dengan cara baru. Pasar gelap akan bertransformasi jadi arena perlawanan ekonomi, solidaritas antarpenghisap menjadi alat politik, dan asap yang dulu melingkupi pertemuan kecil berubah menjadi tanda protes terselubung. Kita sedang berbicara tentang sebuah bangsa yang, di satu sisi, menuntut kemandirian industri; di sisi lain, melihat warganya terpaksa jadi penyelundup demi secarik kenyamanan.
Ironi terparahnya: kita merancang kebijakan untuk menegakkan norma—tapi lupa menegakkan keadilan. Kita kampanyekan kesehatan, namun membiarkan gula dan pengawet meraja di rak-rak; kita mengutuk asap kretek, tapi mengabaikan dampak struktural yang membuat orang memilih rokok tanpa pita. Hukum yang tak peka terhadap realitas ekonomi akan melahirkan hukum bayangan: aturan alternatif yang berjalan di lorong-lorong, di tangan-tangan yang gemetar mengambil bungkus murah.
Jika tujuan kita adalah kesehatan publik, mulailah dari kejujuran kebijakan: lindungi petani, akomodasi daya beli, saring industri besar agar tak menggulung pemain lokal, dan perlakukan konsumsi rakyat dengan empati — bukan hanya dengan larangan. Karena jika tidak, kita bukan saja merusak sebuah industri layanan rakyat; kita menumbuhkan sebuah perlawanan yang, seperti asap, akan menyelimuti kembali segala upaya mengaturnya.
Di akhir hari, aku melihat teman-temanku menyalakan sebatang kretek di bawah lampu gerobak. Mereka menghisap dengan tenang, bukan karena mereka tak tahu bahaya, tapi karena pilihan lain tak tersedia. Di sanalah, dalam kepulan asap kecil itu, tersimpan protes yang tak terucap — protes atas kebijakan yang lupa pada manusia. Semoga kita tidak memilih untuk mendengar hanya angka, lalu menutup telinga pada napas yang sesak.
Haqqul yaqin, aku percaya: seorang menteri yang menari dengan angka-angka, tapi melupakan napas rakyatnya, umur jabatannya tak akan panjang. Sejarah kabinet kita penuh catatan orang-orang yang jatuh bukan karena kurang pintar, tapi karena kehilangan empati. Mereka direshuffle dengan cara hina, diturunkan dari panggung dengan wajah masih dipoles kebijakan, tapi hati publik sudah mencatat kebohongan.
Kebijakan memerangi rokok ilegal yang kini digembar-gemborkan, aku curiga, bukan lahir dari niat tulus menjaga kesehatan rakyat, apalagi menolong petani tembakau yang tergencet. Lebih mungkin ia lahir dari tekanan asing: lembaga pemberi hutang yang menuntut syarat, diktat global yang menyusup ke meja rapat, agenda ekonomi yang merangsek melalui pintu pinjaman.
Negara kita sedang megap-megap. Beban hutang yang diwarisi sejak era Mulyono menghantui APBN, menekan ruang gerak, memaksa pemerintah mencari “jalan patuh” agar kreditur tetap percaya. Di tengah sulitnya likuiditas, kampanye “perang terhadap rokok ilegal” jadi semacam etalase: menampilkan ketegasan, padahal bisa saja hanya manuver etok-etok — berpura-pura tegas, sementara di balik layar angka-angka hutang terus melilit.
Aku bertanya: apakah sungguh-sungguh negara akan berperang melawan 70 juta penghisap yang terdesak daya belinya? Ataukah ini hanya sandiwara pendek, dimainkan demi laporan manis ke lembaga donor?
Sejarah kita sudah cukup panjang untuk tahu: kebijakan yang lahir dari tekanan asing tak pernah benar-benar berpihak pada rakyat. Ia hanya mengganti wajah penjajahan, dari bedil menjadi hutang, dari pasukan kolonial menjadi peraturan fiskal. Dan seperti asap kretek yang tak pernah bisa ditekan sepenuhnya, begitu pula perlawanan kecil rakyat: ia akan tetap menyala, meski hanya di sudut warung kopi, meski hanya dalam kepulan muram yang dipadamkan tergesa-gesa.
Nitiprayan, 24 September 2025