DESIR PASIR di padang tandus, gersang katanya, berdasarkan realita yang dialami langsung baik on the spot, informasi orang lain yang on the spot, maupun hasil melihat visual rekaman yang entah kenapa otomatis membentuk asumsi kegersangan itu.
Asumsi otomatis itu pun berlaku pada cinta, yang bisa dianggap berarti sudah ada dari sononya. Kalau ditantang menyebutkan satu saja di dunia ini yang tanpa cinta sama sekali, mungkin beberapa orang merasa mudah saja menyebutkan banyak contoh. Padahal selama melibatkan akal untuk mengindera dan hati untuk merasa, apa-apa ya cinta, bahkan sekeji apapun terlihatnya.
Keji kok cinta? Setidaknya mereka yang keji itu cinta dengan dirinya sendiri, tapi mungkin kesannya menzalimi diri kita. Mendengar opini yang barusan, mungkin ada pikiran: “Terang saja, itu lebih dekat ke ego, alih-alih cinta.” Oke, sekarang kita sama-sama revisi statement sebelumnya. Meski terlihat sekeji apa pun, apa-apa sebenarnya mencintaimu.
Mungkin tidak semua bisa menahan pikiran bahwa opini barusan ngawur. Sekarang kita coba bedah beberapa contoh sederhana saja. Pohon ada di dunia ini mencintaimu dengan menyerap karbondioksidamu dan bahkan membayarmu dengan oksigen. Oke, itu bukan contoh yang keji. Tikus ada di dunia ini menjadi hama dan membawa penyakit, itu bentuknya mencintaimu dengan informasi supaya menjauhi mereka dan hidup dengan bersih.
Kalau butuh contoh lain, kita bisa lihat adanya pencuri di dunia ini mencintaimu dengan menunjukkan rasanya kehilangan dan kekurangan sehingga empati semakin terbentuk dan sensitif ke sekitar, menciptakan ekosistem yang lebih mendamaikan. Pada akhirnya, semua soal “mau” untuk melihat cinta di apa-apa saja. Akal dan hati sebagai alatnya.
Beberapa mungkin memilih untuk tetap abai terhadap apa-apa cinta, tapi pengaruh baiknya bahkan dipelajari dalam studi tentang berpikir positif. Pola pikir positif adalah landasan berkembangnya kreativitas, pemikiran yang luas dan visioner, empati, kerjasama, dan koneksi. Kesimpulan tersebut didapat dari eksperimen terhadap 2 kelompok yang dibekali perspektif positif (kelompok A) dan negatif (kelompok B), dengan hasil performa baik kelompok A dan B berbanding 6:1 sedangkan performa buruk 1:20.
Membawa apa-apa cinta sebagai landasan, pikiran tidak berangkat dari negatifnya nilai variabel-variabel tertentu. Semakin berkurangnya pengaruh variabel itu, semakin kita mengurangi dependensi kita terhadap kefanaan dunia. Dependensi-dependensi yang menutup akal dan hati dari kemungkinan-kemungkinan di luar kebenaran relatif yang sedang kita pegang. Kebenaran yang selalu dinamis sepanjang masa kita bernafas meski dengan probabilitas nol persen untuk menyentuh kebenaran absolut, tidak pernah salah untuk bergerak mendekat ke Yang Maha Absolut. Keabsolutan dengan sifat Qiyamuhu bi Nafsihi, tanpa dependensi terhadap apapun.
Semesta penuh dengan kebenaran, akal dan hati alat untuk mencarinya.
Shadaqallahul ‘adhim