Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Esensia

Apa Ada Angin di Jakarta?

M Yudha Iasa Ferrandy by M Yudha Iasa Ferrandy
July 24, 2025
in Esensia
Reading Time: 8 mins read
Apa Ada Angin di Jakarta?

KITA YANG HIDUP dan bernapas di Jakarta—kota yang tak pernah tidur, tak pernah sepi dari deru klakson dan gemuruh pembangunan—seringkali terbesit pertanyaan tak berkesudahan, yaitu akan bagaimana kota ini di masa depan? Pertanyaan yang bukan sekadar prediksi statistik pertumbuhan ekonomi atau jumlah gedung pencakar langit yang akan menjulang, melainkan sebuah refleksi mendalam tentang jiwa kota ini, nasib alam dan manusianya, dan juga esensi kehidupannya. Pertanyaan ini tak pernah usai, menggantung di udara seperti enggannya polusi beranjak, menghantui setiap cita-cita generasi.

Jakarta. Sebuah kota metropolis yang lahir dari rahim desa-desa pesisir, kini telah menjelma menjadi raksasa beton yang tak henti-hentinya melahap ruang. Ia adalah pusat segala geliat, magnet bagi jutaan mimpi dan harapan. Namun, di balik kilaunya, di balik janji-janji kemajuan dan kemewahan, ada bisikan-bisikan keraguan yang tak bisa diabaikan. Apakah denyut kehidupan yang kita rasakan sekarang ini adalah sebuah kemajuan sejati, ataukah hanya ilusi fatamorgana yang kian menjauhkan kita dari esensi kemanusiaan? Kita patut bertanya, tidak hanya tentang kemungkinan-kemungkinan positif yang bisa terjadi, tetapi juga tentang skenario-skenario yang mungkin terdengar absurd, bahkan radikal.

Kita punya sejarah, memori kolektif yang masih segar, tentang bagaimana Jakarta bisa bergetar dan memaksa warganya mencari perlindungan. Ingatlah tahun 1998, saat reformasi dan krisis moneter melanda. Jakarta, sebagai episentrum segalanya, menjadi titik ledak ketidakpastian. PHK massal, inflasi tak terkendali, dan gejolak sosial membuat kota ini terasa seperti kapal oleng di tengah badai. Saat itu, berapa banyak orang Jakarta yang “diselamatkan” oleh desa? Berapa banyak dari mereka yang—dalam keputusasaan—memilih untuk pulang kampung? Meninggalkan gemerlap ibukota—yang saat itu meredup—demi mencari ketenangan, keamanan, dan harapan baru di tanah leluhur. Desa-desa menjadi tempat pelarian, pelukan hangat yang menampung mereka yang terempas dari kerasnya kota. Gelombang urbanisasi yang tadinya deras mengalir ke Jakarta, tiba-tiba terhenti sejenak. Sebuah bukti nyata bahwa di saat krisis, kota mungkin kehilangan daya tariknya, dan desa justru menawarkan jaring pengaman terakhir.

Pengalaman 1998 itu adalah sebuah pengingat pahit namun penting. Ia menunjukkan betapa rapuhnya ilusi kemapanan kota di hadapan badai besar. Pertanyaannya kemudian, bagaimana jika skenario serupa, atau bahkan lebih ekstrem, juga bisa terjadi di masa depan? Mungkinkah Jakarta, yang kini begitu padat dan sesak, suatu hari nanti akan kembali menjadi desa?

Sebuah gagasan yang mungkin terdengar gila bagi sebagian besar dari kita, terutama setelah melihat geliat kota yang tak henti. Bagaimana mungkin kota sebesar ini dengan segala kompleksitasnya, bisa kembali ke bentuk asalnya? Atau, jangan-jangan, justru sebaliknya: desalah yang akan termakan dan menjadi seperti Jakarta? Dengan urbanisasi yang tak terbendung, dengan invasi kota yang merambah hingga pelosok terjauh, bukan tidak mungkin desa-desa kita akan kehilangan identitasnya, menjadi replika mini dari kegilaan ibu kota. Bukankah kita telah menyaksikan bagaimana lahan-lahan hijau berganti ruko, sawah-sawah menjadi perumahan klaster, dan tradisi lokal terkikis oleh gaya hidup kota?

Di tengah dua kutub kemungkinan itu, ada pertanyaan yang tak kalah menggelitik: mungkinkah justru manusianya, orang-orang Jakarta yang telah terbiasa dengan segala kemudahan atau keruwetan kota, yang akan berbondong-bondong pindah ke desa? Bukan sekadar kembali ke kampung halaman saat hari raya, tetapi sebuah eksodus massal, pencarian akan makna hidup yang hilang di tengah belantara beton, seperti yang kita saksikan sebagian kecilnya pada 1998. Sebuah pencarian akan kedamaian yang tak lagi ditemukan dalam hiruk pikuk kota.

Pertanyaan-pertanyaan ini bukanlah sekadar lamunan kosong, melainkan cerminan dari kegelisahan kolektif yang kian memuncak. Kita melihat, merasakan, dan mengalami sendiri bagaimana kota ini menuntut begitu banyak dari kita: waktu, energi, bahkan mungkin sedikit dari jiwa kita. Jalanan yang macet tak terhingga, biaya hidup yang tidak masuk akal, kualitas udara yang kian memburuk, hingga tuntutan persaingan yang tak kenal ampun. Ini bukan lagi sekadar tantangan, melainkan sebuah krisis eksistensial yang menggerogoti dari dalam. Sejarah 1998 mengajarkan bahwa kota, dengan segala gemerlapnya, bisa menjadi tempat yang kejam saat krisis.

Maka, sudah saatnya kita berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam dari udara yang mungkin tidak lagi segar, dan mulai merenung. Sudah saatnya kita tidak hanya terpaku pada apa yang akan terjadi, tetapi juga pada apa yang mungkin terjadi, sekecil atau sebesar apa pun kemungkinan itu, dengan bercermin pada pelajaran masa lalu. Masa depan Jakarta, sejatinya, adalah cerminan dari pilihan-pilihan kolektif kita hari ini. Apakah kita akan terus berjalan di jalur yang sama, ataukah kita berani membayangkan skenario-skenario alternatif yang mungkin terdengar menantang, namun menyimpan harapan akan kehidupan yang lebih otentik dan bermakna?

Pertanyaan tentang masa depan Jakarta dan nasib manusianya membawa kita pada sebuah kontemplasi yang lebih dalam, melampaui sekadar geografi fisik kota. Ini adalah tentang konflik abadi antara aspirasi dan realitas, antara janji dan kekejaman yang terkandung dalam setiap metropolis besar. Untuk memahami dilema ini, kita perlu mendengarkan suara-suara yang telah lebih dulu merenungkan esensi kehidupan di perkotaan dan pedesaan.

Salah satu suara yang paling menggugah adalah dari Sutanto Mendut. Pandangannya tentang tempat tinggal membentuk filosofi hidupnya. Dalam sebuah wawancara, beliau mengungkapkan prinsip yang telah dipegangnya teguh sejak usia 25 tahun: memilih tinggal di mana jauh lebih penting daripada memilih mau jadi apa. Pemikiran ini bukan lahir dari ruang hampa, melainkan dari keluyuran panjangnya berkeliling berbagai kota di seluruh dunia. Apa yang ia saksikan? Ia menyaksikan betapa *sumpek-*nya kehidupan orang-orang di banyak kota. Bukan hanya secara fisik, melainkan juga secara batin. Di kota, ia melihat tidak ada jaminan perlindungan di tengah tingginya angka kriminalitas yang seolah menjadi bagian inheren dari sistemnya.

Kota—dengan segala percepatannya—mendorong orang-orang menjadi manusia individualisme, terpaksa berlomba, bersaing, tanpa menyisakan ruang bagi mereka yang butuh waktu untuk menyesuaikan diri atau sekadar menghembuskan napas. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, menurut Tanto, adalah bahwa sistem sosial kota sama sekali tidak mendukung komunal untuk berkembang. Kebersamaan, gotong royong, dan ikatan kekeluargaan yang erat seolah menjadi barang langka. Di sana, hanya kapitalisme bahasa yang dipahami, yang bisa beradaptasi, tumbuh subur, dan mendominasi setiap aspek kehidupan.

Hubungan antarmanusia kerap kali direduksi menjadi transaksi, keuntungan, dan angka-angka. Ia bahkan secara blak-blakan mengatakan, Mumbai dan Jakarta adalah puncak kekejaman kota di seluruh dunia. Sebuah pernyataan yang menohok, namun sulit disangkal bagi mereka yang merasakan langsung denyut nadi kedua kota tersebut. Di usia mudanya itulah, Sutanto Mendut mengalami semacam “frustrasi urban” yang mendalam, sebuah titik balik yang makin menguatkan keputusannya untuk memilih tinggal di mana daripada memilih untuk jadi apa. Ia memilih desa, dan meninggalkan kota. Mengapa? Karena di desa yang ia pilih, ia merasa masih menerima “cinta”-nya, sebuah penerimaan dan kehangatan yang tak ia temukan di rimba beton. Ia menemukan kembali kemanusiaannya, koneksi dengan alam, dan kedalaman relasi sosial yang nyaris musnah di perkotaan.

Pemikiran Sutanto Mendut ini menemukan gaungnya dalam untaian bait puisi Umbu Landu Paranggi, sosok legendaris yang juga dikenal sebagai “presiden Malioboro”. Dalam puisinya yang berjudul “Apa Ada Angin di Jakarta”, Umbu mengajak kita untuk merenung: apakah Jakarta sebagai kota masih menyediakan ruang bagi kita semua untuk bernapas, untuk menemukan kedamaian? “Apa ada angin di Jakarta / Seperti di lepas desa Melati / Apa cintaku bisa lagi cari / Akar bukit Wonosari.” Bait ini bukan hanya menanyakan tentang keberadaan angin fisik, melainkan angin metaforis—udara kebebasan, kedamaian batin, dan ruang untuk mencintai serta dicintai tanpa terbebani. Puisi ini secara implisit menyinggung hilangnya kedamaian dan keteduhan yang biasanya terdapat di desa, dan bertanya apakah kemewahan spiritual itu masih bisa kita rasakan di Jakarta.

Kemudian yang makin membuat kita makin dilema lagi adalah ketika di dalam puisi tersebut mengutarakan sebuah ajakan, bahkan mungkin sebuah seruan: “Pulanglah ke desa / membangun esok hari / pulanglah ke huma berhati.” Ini adalah ajakan untuk kita kembali ke akar, kembali ke esensi, paling tidak sekarang untuk bertanya ulang tentang arah hidup kita. Apakah kita telah salah arah dengan terus mengejar gemerlap kota yang ternyata hampa? Apakah kita telah melupakan nilai-nilai luhur yang hanya bisa ditemukan di tengah kesederhanaan pedesaan?

Seruan untuk kembali ke desa ini membawa kita pada sebuah konsep pembangunan yang telah ada sejak zaman leluhur kita dulu: konsep “Kebun: Membangun Kota di dalam Taman.” Ini adalah sebuah antitesis radikal dari konsep pembangunan urban modern selama ini, yaitu “Taman dalam Kota”. Di mana peradaban manusia dibangun atas filosofi Kebun, sebuah ruang hidup yang harmonis dengan alam, pangan, dan pemukiman, kota, dibangun sebagai bagian integral dari taman. Sebuah konsep yang membalikkan logika dominasi manusia atas alam. Di dalam Al-Qur’an sendiri, jannah atau surga, diartikan secara harfiah sebagai kebun. Jadi, konsep membangun kota dalam taman tersebut dimaksudkan sebagai latihan menjadi makhluk surga di dunia; hidup selaras, penuh kedamaian, dan berlimpah berkah.

Lalu bagaimana dengan konsep urban hari ini? Kebun, dengan segala keaslian dan ekosistemnya yang kompleks, tidak mungkin diadakan dalam skala kota modern. Maka, dibuatlah sintesa yaitu taman. Namun, taman pun dibangun bukan sebagai landasan filosofis pembangunan, melainkan hanya sebagai objek pendukung kota saja—sekadar pelengkap, ornamen, atau ruang hijau minimalis yang seringkali terasa dipaksakan. Ia kehilangan esensinya sebagai jantung kehidupan.

Maka, dalam perenungan ini, kita dihadapkan pada pertanyaan yang mendalam: apakah kita, sebagai penghuni kota modern, telah kehilangan visi tentang bagaimana seharusnya sebuah peradaban dibangun? Apakah kita telah mengorbankan kualitas hidup, kedamaian, dan kebersamaan demi laju pertumbuhan yang tak berkesudahan? Gagasan-gagasan dari Sutanto Mendut dan Umbu Landu Paranggi, serta konsep pembangunan leluhur, menantang kita untuk melihat Jakarta, dan kota-kota lain, bukan hanya sebagai pusat ekonomi atau pemerintahan, tetapi sebagai arena di mana jiwa manusia berinteraksi dengan lingkungannya. Dari interaksi itulah, masa depan sejati kota ini akan terbentuk.

Berdasarkan perenungan terhadap pemikiran Sutanto Mendut, puisi Umbu Landu Paranggi, dan kearifan leluhur tentang “kota dalam kebun,” kita seharusnya patut mempertanyakan dengan sungguh-sungguh bagaimana nasib Kota Jakarta, kebanggaan kita ini. Melihat kondisi nyata di depan mata, mulai dari carut-marut ekonomi, ketimpangan sosial-politik, tantangan kemanusiaan yang kompleks, hingga hilangnya ketenteraman di tengah hiruk-pikuk. Sudah seharusnya kita memang perlu bersiap jika terjadi sesuatu yang fundamental di masa mendatang. Kita tidak bisa lagi menutup mata, berpura-pura bahwa segalanya akan baik-baik saja dengan sendirinya. Sejarah telah menunjukkan, seperti pada 1998, bahwa kerapuhan kota bisa terkuak kapan saja, memaksa kita mencari solusi yang mungkin tak terduga.

Mungkin, hanya mungkin, Jakarta akan kembali ke fitrahnya, menjadi desa? Dalam arti, seluruh pembangunan urban yang kini berdiri kokoh, perlahan runtuh, baik secara fisik maupun spiritual, kemudian mengalami proses kembali ke asal-usulnya, yaitu kehidupan desa. Ini bukan berarti Jakarta akan kembali menjadi sawah ladang, melainkan sebuah perubahan paradigma fundamental: dari kota yang mengejar pertumbuhan tanpa batas menjadi komunitas yang mengutamakan keberlanjutan, gotong royong, dan keselarasan dengan alam. Sebuah Jakarta yang memeluk kembali kesederhanaan, di mana kualitas hidup lebih dihargai daripada kecepatan.

Apakah ini sebuah fantasi utopis? Atau justru sebuah keniscayaan, jika kegilaan urban ini terus berlanjut? Atau mungkinkah skenario yang lebih tragis, yaitu desa yang justru menjadi (kota) Jakarta?

Memang desa-desa di bawah tekanan urbanisasi dan modernisasi, juga gagal menjadi dirinya sendiri, kehilangan kepercayaan diri akan kelokalan-nya. Mereka tidak lagi percaya pada ritme alam dan nilai-nilai komunal, sehingga desa-desa itu perlahan didominasi oleh bayangannya sendiri tentang kota. Persawahan terganti perumahan, sungai tercemar limbah, dan masyarakatnya terjerat individualisme. Sebuah ironi yang pedih, di mana tempat yang seharusnya menjadi pelarian justru meniru entitas yang ia coba hindari. Menjadi dilematis, saat akan meninggalkan kota untuk pindah ke desa, kita juga bingung, desa mana lagi yang tersisa?

Atau yang mungkin lebih bisa kita rekayasa dan perjuangkan: orang Jakarta hidup secara desa? Ini bukan tentang berpindah tempat secara fisik, melainkan sebuah revolusi cara pandang. Mengubah mentalitas metropolitan yang serba cepat, kompetitif, dan antroposentris (berpusat pada manusia dan kepentingannya) menjadi cara hidup yang ekosentris atau ekosifis (berpusat pada keseimbangan ekosistem dan penghargaan terhadap seluruh kehidupan). Ini berarti mengadopsi nilai-nilai desa di tengah kota: menumbuhkan kebersamaan, mengurangi konsumerisme berlebihan, menghargai lingkungan, dan membangun komunitas yang saling mendukung. Ini adalah tentang menciptakan “desa-desa kecil” di dalam tubuh Jakarta, sebuah oase di tengah gurun beton seperti yang dilakukan Kenduri Cinta.

Pada akhirnya, di hadapan pertanyaan-pertanyaan besar ini, kita kembali pada sebuah dilema yang tak mudah dijawab. Apakah kota masih menjanjikan? Dengan segala kemudahan, peluang, dan kemewahannya, apakah ia masih bisa memberikan kebahagiaan sejati dan keberlanjutan bagi seluruh penghuninya? Atau justru ia adalah jebakan yang perlahan menguras esensi kemanusiaan kita? Dan di sisi lain, apakah desa masih menjanjikan? Dengan segala permasalahannya juga, apakah ia mampu menjadi solusi bagi kompleksitas yang ditinggalkan kota? Apakah ia siap menampung dan beradaptasi dengan gelombang perubahan yang tak terhindarkan?

Ya… terserah. Semua pertanyaan tadi mestinya menjadi pertanyaan bagi setiap individu, bagi setiap komunitas, dan pada akhirnya, bagi seluruh manusia. Masa depan Jakarta, dan kota-kota di seluruh negeri, akan sangat bergantung pada pilihan kolektif yang kita ambil hari ini. Pilihan untuk terus menuruti logika yang ada, atau berani membayangkan dan mewujudkan sebuah realitas baru—yang sebenarnya sudah dilakukan leluhur-leluhur kita—yang lebih selaras dengan kemanusiaan dan alam semesta.

15 Juli 2025 23.23 WIB

SendTweetShare
Previous Post

Mengembara “Cakrawala Anallah”

Next Post

Kelas Menengah, Kota, dan Mimpi yang Makin Jauh

M Yudha Iasa Ferrandy

M Yudha Iasa Ferrandy

Related Posts

Antara Pisyi, Smartphone, dan Akar yang Hilang
Esensia

Antara Pisyi, Smartphone, dan Akar yang Hilang

July 29, 2025
Sore: Bosan, Lelah dan Mati Berkali-kali
Esensia

Sore: Bosan, Lelah dan Mati Berkali-kali

July 28, 2025
Kelas Menengah, Kota, dan Mimpi yang Makin Jauh
Esensia

Kelas Menengah, Kota, dan Mimpi yang Makin Jauh

July 25, 2025
Mengembara “Cakrawala Anallah”
Esensia

Mengembara “Cakrawala Anallah”

July 22, 2025
Menanam, Bukan Menuntut Buah
Esensia

Menanam, Bukan Menuntut Buah

July 18, 2025
Melumbung Ingatan, Melipat Sejarah
Esensia

Melumbung Ingatan, Melipat Sejarah

July 15, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta