DALAM BUKU Indonesia Bagian dari Desa Saya, Cak Nun menggambarkan fenomena masuknya pisyi—sebutan setempat untuk televisi—ke desanya di Menturo, Jombang. Desa yang dulu sunyi, tiba-tiba dihebohkan dengan kemunculan kotak ajaib yang berisi gambar bergerak bernama pisyi. Masyarakat desa belum siap. Hanya disodori barang baru, tapi tidak pernah diajak bicara soal konsekuensi.
Geger budaya tak terhindarkan. Pisyi dan barang ‘modern’ lain diperlakukan tidak sesuai dengan fungsi dan tujuan awal pembuatannya. Pisyi dibeli bukan karena kebutuhan informasi, tetapi menjadi indikator kemajuan dan status sosial. Konsumerisme merayap, pelan tapi pasti.
Orang-orang yang berlomba memilikinya, bahkan jika itu berarti mengorbankan hal-hal lain yang lebih mendasar seperti menjual sapi dan sawahnya. Motivasi utamanya agar ruang depan rumah terhias pisyi, membuktikan status sosial si empu pisyi.
Lebih dari pergeseran persepsi tentang ‘kemajuan’ dan ‘status sosial’, pisyi juga memengaruhi perubahan pola hidup dan interaksi sosial masyarakat desa. Kegiatan komunal seperti ronda, terbangan, balbalan, dan diba’an di langgar sepi peminat. Para petani bahkan menonton pisyi hingga larut malam, sehingga esok harinya terlalu lemas untuk ke sawah. Tradisi tinggal cerita nostalgia.
Itu baru pisyi. Hari ini, teknologi hadir dalam bentuk lebih canggih seperti smartphone, laptop, atau perabot teknologi lainnya. Kalau dulu desa kaget melihat kotak besar dengan gambar bergerak, kita hari ini takjub dengan layar smartphone yang bisa tipis dan bisa dilipat-lipat.
Di kota besar seperti Jakarta, status sosial masih sering dibangun lewat pola konsumsi—salah satunya perabot teknologi yang menjadi totem modern. Beda bentuk, sama rohnya: konsumerisme kota tak lebih mulia dari warga desa yang membeli pisyi hanya untuk status sosial.
Sama seperti kehadiran pisyi di masa lalu, smartphone hari ini turut mengubah pola hidup dan interaksi sosial secara masif. Menurut laporan Data.ai (2024), Indonesia menempati peringkat pertama dunia dalam rata-rata screen time: 6,05 jam per hari. Angka ini adalah cermin dari cara kita hidup hari ini yang menghabiskan seperempat hari bersama smartphone.
Tentu, tak bisa dipungkiri bahwa teknologi telah membawa banyak manfaat: memperluas akses informasi, mempermudah komunikasi, hingga mendorong inovasi di berbagai bidang. Namun, di balik kemudahan itu, terselip bahaya yang tak kasatmata seperti keterasingan dari sesama. Kita terhubung ke dunia, tapi terputus dengan tetangga. Dunia terasa dekat, tapi hati terasa jauh. Teknologi menyatukan jarak, tapi sering kali memisahkan rasa.
Dari beberapa contoh itu, apakah warga Jakarta hari ini lebih siap menghadapi modernitas dan kemajuan teknologi jika dibandingkan warga Menturo saat itu? Apa kemudian warga Jakarta bisa disebut warga Desa Jakarta?
Konsumerisme kota tak lebih mulia dari warga desa yang membeli pisyi hanya untuk status sosial.
Lalu, apa sesungguhnya “desa” dalam pandangan Cak Nun dalam Indonesia Bagian dari Desa Saya? Menurut saya, “desa” bukan sekadar wilayah geografis yang tertinggal atau belum tersentuh WiFi. Ia adalah metafora. Simbol akar. Tempat di mana manusia masih hidup dari dalam—dari rasa, dari kesadaran, dari kebenaran yang tumbuh.
Maka, seperti tertulis dalam puisi Apa Ada Angin di Jakarta karya Umbu Landu Paranggi, “pulanglah ke desa, membangun esok hari, kembali ke huma berhati”—bukan ajakan eksodus warga kota ke pedesaan. “Pulanglah ke desa” bukan soal perpindahan fisik, melainkan gerakan batin: kembali ke hakikat asli, pulang ke sangkan paran, kembali menjadi manusia yang otentik.
Otentik. Kata yang lebih sering diucapkan sebagai jargon daripada kita lihat manifestasinya di era pencitraan. Semakin banyak orang sibuk membangun citra digital, tanpa aksi nyata. Desa, dalam arti metaforis, adalah benteng terakhir otentisitas. Tempat nilai tidak dijual, tapi dijalani.
Desa harus bisa menjaga “metabolisme nilai-nilainya”—proses alami yang membentuk cara hidup, cara bermusyawarah, cara menghormati alam. Tanpa itu, Indonesia bukan lagi gado-gado yang kaya rasa. Lebih mirip bubur instan: seragam, hambar, tanpa karakter.
Modernisasi dan kemajuan teknologi datang seperti ombak. Tak bisa dicegah dan dibendung. Tapi kita bisa memilih untuk tenggelam, atau belajar berenang. Bukan berarti kita menyerukan penolakan total modernisasi. Kita bisa mencari keseimbangan. Mengatasi dikotomi palsu: desa-kota, tradisional-modern, lama-baru.
Perubahan itu dialektis. Cak Nun menyampaikan bahwa kota bisa “mendesa”, dengan menghadirkan komunalitas, kesederhanaan, dan kepedulian. Desa juga bisa “mengkota”, dengan mengadopsi teknologi dan disiplin, tanpa kehilangan jati diri. Yang penting bukan bentuk luarnya, tapi esensinya: nilai kemanusiaan.
Tantangan terbesar hari ini bukan terletak pada pengembangan teknologi, melainkan pada cara kita menerimanya. Sayangnya, modernisasi lebih sering datang tanpa penjelasan filosofis di baliknya. Akhirnya, ia diadopsi secara permukaan—sebatas gaya hidup, tampilan, status. Tapi esensi dalam bentuk rasionalitas, kemajuan, dan kebermanfaatannya tidak dipahami secara utuh.
Hasilnya? Taqlid pada algoritma dan tren. Lumayan lah kalau taqlid pada seorang ahli, tapi ketika tren dan algoritma menjadi ‘panutan’, tradisi yang dilunturkan tidak tergantikan dengan paradigma yang lebih baik. Identitas pun kabur. Otentisitas apa lagi.
Apakah melepas tradisi selalu salah? Tidak. Ada tradisi yang menindas, diskriminatif, atau tidak relevan. Tapi yang harus dilestarikan adalah nilai luhur yang menjadi why-nya, bukan how-nya. Kenapa suatu tradisi ada? Jika jawabannya adalah menjaga keharmonisan, menghormati alam, atau memperkuat ikatan sosial, maka nilai luhur seperti itulah yang harus tetap hidup—meski bentuknya berubah.
Celakanya, hari ini nilai luhur justru turun kasta: dari pedoman hidup menjadi slogan kosong, dari prinsip menjadi jargon. “Gotong royong” ditulis di mana-mana, tapi tetangga tidak saling sapa. “Bhinneka Tunggal Ika” diucap saat orasi, tapi beda keyakinan langsung diskriminasi. “Cerdas, jujur, berakhlak” tertulis di gedung-gedung tinggi, tapi berita korupsi hampir setiap hari. Nilai-nilai bukan lagi menjadi pegangan, melainkan alat untuk pencitraan.
Modernisasi dan kemajuan teknologi datang seperti ombak. Tak bisa dicegah dan dibendung. Tapi kita bisa memilih untuk tenggelam, atau belajar berenang.
Maka modernitas tak boleh diterima secara pasif. Ia harus dipilah, disaring, dan dikritisi. Ambil disiplinnya, esensinya, efisiensinya. Tolak individualisme ekstrem, hedonisme, dan dehumanisasi. Jawa digawa, Arab digarap, Barat diruwat. Sebuah prinsip yang mengajarkan: ambillah kearifan lokal, dalami spiritualitas, dan saring modernitas dengan kritis—bukan ditelan mentah-mentah, tapi diruwat, disembuhkan dari racun materialisme. Modern bukan berarti kehilangan otentisitas. Maju bukan berarti meninggalkan akar.
“Pulanglah ke desa” kini harus dimaknai ulang. Bukan sekadar mundur dari hiruk-pikuk perkotaan, melainkan upaya pulang ke esensi diri. Kembali ke sangkan paran: tujuan hidup yang jernih. Kembali membangun huma berhati—rumah, keluarga, komunitas, bahkan negara—yang dibangun atas dasar kejujuran, kasih sayang, dan tanggung jawab.
Yang kita butuhkan bukanlah nostalgia atau romantisme buta terhadap tradisi masa lalu, melainkan kesadaran kritis: bahwa kesejatian manusia tidak diukur dari seri smartphone yang dimiliki atau seberapa banyak followers di Instagram, tetapi dari seberapa utuh dan otentik ia hidup—setia pada nilai dan jujur pada diri sendiri.
Secara komunal, kita juga harus menggali otentisitas melalui sejarah peradaban untuk menemukan why dalam berbagai tradisi kebudayaan. Bahasa daerah bukan hanya alat komunikasi lokal, tapi gudang makna yang kaya. Kesenian tradisional bukan hal primitif, tapi laboratorium nilai. Adat istiadat tidak sebatas ritual kuno, tapi peta kearifan hidup yang berkelanjutan.
Ketika kita berpegang pada identitas otentik bangsa, globalisasi dan modernisasi bukan lagi sekadar menerima, melainkan juga memberi. Indonesia tidak boleh hanya hadir di pentas dunia sebagai konsumen nilai dan budaya asing, tetapi harus menjadi produsen gagasan, nilai, dan peradaban. Bayangkan ketika dunia kelelahan dengan kapitalisme ekstraktif, kita menawarkan ekonomi gotong royong; ketika manusia terasing, kita bagikan kosmologi yang menghubungkan manusia dengan alam; ketika media sosial membuat gundah, kita tunjukkan seni silaturahmi yang masih hidup di langgar-langgar.
Jika desa adalah simbol otentisitas, kedaulatan nilai, dan kemanusiaan utuh, maka kita semua—di desa maupun kota—sedang sangat membutuhkannya. Jadi, pertanyaannya bukan “Apakah desa masih relevan?” Tapi “Apakah kita sudah menjadi manusia otentik?”
Manusia sejati bukan yang paling canggih, tetapi yang paling utuh: utuh dalam diri, selaras dengan sesama, dan berakar pada nilai. Bukan yang paling banyak memiliki, melainkan yang berdaulat atas otentisitasnya.