Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Esensia

Angka yang Bicara dan Suara yang Hilang

Putra Ansa Gaora by Putra Ansa Gaora
September 2, 2025
in Esensia
Reading Time: 3 mins read
Angka yang Bicara dan Suara yang Hilang

PAGI ITU, layar televisi di ruang tamu menampilkan angka 5,12%. Suara pembawa berita terdengar mantap: “Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal kedua 2025 melampaui ekspektasi…” Di balik layar, seorang bapak yang baru saja kehilangan pekerjaannya hanya mendengar angka itu seperti gema yang asing. Baginya, pertumbuhan bukan 5,12%. Pertumbuhan adalah uang kontrakan yang naik, cicilan motor yang macet, dan anak sulungnya yang terpaksa cuti kuliah.

Di sudut lain, seorang pejabat BPS tengah menjelaskan dengan percaya diri. Dengan metodologi yang tidak main-main—1.058 indikator, survei pada 220.000 titik, ribuan enumerator—ia tahu, di balik data itu ada keringat para petugas lapangan, ada algoritma statistik yang dinilai IMF dan World Bank. Ia marah ketika orang meragukan independensi lembaganya. Angka—baginya—adalah cermin jernih realitas.

Tapi cermin itu retak ketika disodorkan kepada publik. Para ekonom terkejut, konsumsi naik, padahal Lebaran telah usai. Investasi melonjak, padahal 28 smelter berhenti beroperasi. Ekspor menguat, padahal harga batu bara dan nikel menurun. Di kafe-kafe diskusi, mereka berbisik tentang intervensi politik, tentang data yang lebih dahulu sampai ke Presiden. Ada yang bahkan berencana membawa persoalan ini ke PBB, menuntut audit sebagaimana Malaysia pernah digugat atas data kemiskinan pada 2020.

Di jalanan, cerita terdengar berbeda. Penjualan mobil rontok, tetapi jalan raya justru semakin padat karena 95% rumah tangga sudah memiliki sepeda motor. Mal bukan lagi ruang belanja, melainkan tempat makan dan berswafoto. Orang tidak membeli rumah, mereka membeli emas. Pekerja yang kehilangan pekerjaan beralih menjadi pengemudi daring, sementara pasangan suami-istri sama-sama bekerja untuk membiayai kebutuhan. Bahkan, pinjaman daring dan pegadaian tumbuh seperti jamur setelah hujan.

Ada paradoks yang tidak mudah dijelaskan oleh satu angka. Di satu sisi, Penanaman Modal Dalam Negeri naik 30%, kawasan ekonomi khusus berkembang 165%, dan belanja rekreasi melonjak. Di sisi lain, PHK naik 32%, indeks manufaktur terjerembab di angka 46,9 (kontraksi), dan penerimaan PPN menurun. Ekonomi, dalam bahasa akademik, sedang mengalami pergeseran struktural. Dari kepemilikan ke mobilitas, dari belanja luring ke daring, dari produksi barang ke konsumsi jasa.

Namun pergeseran struktural bukanlah penghapus luka. Ia tidak bisa menjelaskan rasa asing seorang karyawan hotel yang dirumahkan meski wisatawan domestik memadati jalan-jalan. Ia tak bisa menenangkan kegelisahan mahasiswa yang menggantungkan biaya kuliah pada gaji orang tuanya yang kini hilang. Angka lima persen tidak mampu memberi pelukan kepada mereka.

Di titik ini, kita dihadapkan pada ironi dan dilema: angka yang begitu presisi justru melahirkan ketidakpastian. Angka yang dimaksudkan sebagai pengetahuan berubah menjadi perdebatan. Di satu sisi ada BPS yang bersikukuh pada metodologi internasional, di sisi lain ada masyarakat yang merasa realitas hidupnya terpinggirkan.

Maka, pertanyaannya bukan lagi: benarkah angka itu? Melainkan: apa yang tak terkatakan oleh angka itu?

Sejarah pernah mencatat, angka selalu menjadi alat politik. Plato menulis bagaimana penguasa menggunakan “mitos” untuk mengikat kota. Di zaman kita, statistik kerap menjadi mitos modern. Sebagai simbol kemajuan yang sahih di atas kertas, tetapi rapuh di lapangan. Di Indonesia hari ini, mitos itu berwujud 5,12%.

Sementara, di pagi yang sama, bapak-bapak lain juga menyimak berita pertumbuhan ekonomi di televisi, sementara di tangannya ada slip gaji terakhir sebelum PHK. Di warung kopi, anak-anak muda masih memesan kopi susu, membicarakan rencana perjalanan liburan dengan uang tabungan yang kian menipis. Di kantor BPS, seorang pejabat menutup rapat file laporan, yakin bahwa semua prosedur telah ditempuh dengan cermat.

Masing-masing ruang itu berbicara dengan bahasa yang berbeda, yakni angka, harapan, dan kegelisahan. Namun ketika kita menyatukannya, kita melihat bahwa angka pertumbuhan bukanlah akhir cerita, melainkan pintu menuju tafsir yang lebih luas. Ekonomi ternyata bukan hanya perhitungan neraca, melainkan pergulatan antara struktur yang bergeser dan nasib yang terombang-ambing.

Angka pertumbuhan tetaplah penting, tetapi ia bukan kalimat terakhir. Kalimat terakhir ditulis oleh keseharian orang-orang—oleh pekerja yang mencari nafkah kedua, oleh keluarga yang menukar tabungan dengan rekreasi singkat, oleh negara yang mencoba menjaga legitimasi dengan deret desimal. Pertumbuhan hanyalah satu bunyi di tengah orkestra, hidup masyarakatlah yang membuatnya bermakna.

Pada akhirnya, hal di atas berputar kembali ke ruang tamu bapak tadi. Ia menatap layar televisi, lalu menoleh ke istrinya yang kini bekerja lembur di toko. Ia tidak peduli berapa pun angka pertumbuhan. Hal yang ia tahu hanyalah bahwa ia harus tetap bertahan. Barangkali, di sanalah letak kebenaran yang luput dari semua perdebatan, bahwa pertumbuhan bukan deret desimal, melainkan napas orang-orang yang masih berjuang di baliknya.

SendTweetShare
Previous Post

Penguasa Kaget Melihat Api yang Disulutnya

Next Post

Solidaritas di Lampu Merah

Putra Ansa Gaora

Putra Ansa Gaora

Related Posts

Gelombang Baru Itu Bernama Gen Z
Esensia

Gelombang Baru Itu Bernama Gen Z

September 29, 2025
Asap yang Dilarang, Hutang yang Dibiarkan
Esensia

Asap yang Dilarang, Hutang yang Dibiarkan

September 25, 2025
Pemimpin, Kesakralan, Ibu Pertiwi, dan Ksatria
Esensia

Pemimpin, Kesakralan, Ibu Pertiwi, dan Ksatria

September 24, 2025
Mantan Khalifah Mewariskan Laku Pencarian Diri
Esensia

Mantan Khalifah Mewariskan Laku Pencarian Diri

September 23, 2025
Kebenaran yang Berlapis, Cinta yang Menyatu
Esensia

Kebenaran yang Berlapis, Cinta yang Menyatu

September 22, 2025
Feodalisme: Tak Mati, Hanya Berganti Kostum Demokrasi
Esensia

Feodalisme: Tak Mati, Hanya Berganti Kostum Demokrasi

September 19, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta