“Dan bahwa manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS An-Najm: 39)
Kalau hari ini dunia diukur pada akselerasi informasi, maka kecepatan perubahan dunia sangat cepat dan instan, serta penuh dengan tekanan mental. Dunia hari ini penuh dengan aneka rupa problem, baik pada skala komunal maupun entitas pribadi. Individu hari ini mengalami persoalan dengan narasi mengenai mental, bertumbuh, dan bersinergi. Pada konsentrasi narasi tentang pertumbuhan pribadi, sering kali seseorang terjebak dalam paradigma kompetensi. Seseorang dianggap berkembang jika ia cakap, produktif, dan berpikir taktis. Padahal, pertumbuhan sejati tidak hanya tentang kemampuan teknis, tetapi juga menyentuh dimensi mental, cara berpikir, bahkan spiritual.
Kondisi sosial hari ini menunjukkan gejala yang kompleks: kegelisahan kolektif, kesepian meski terhubung digital, serta tekanan mental yang meningkat di kalangan muda. Di tengah banjir informasi dan ekspektasi, banyak individu kehilangan arah berpikir, merasa tertinggal, atau terjebak dalam narasi perbandingan. Dalam situasi seperti ini, relasi yang sehat menjadi ruang aman: tempat seseorang dapat menata pikiran, mengelola emosi, dan menemukan kembali dirinya dengan lebih jernih.
Malcolm Gladwell dalam Outliers menjelaskan bahwa keberhasilan dan kedewasaan seseorang tak hanya ditentukan oleh bakat dan kerja keras, melainkan oleh ekosistem sosial tempat ia tumbuh. Malcolm menyebutnya, “ecology of success”. Ia menjelaskan bahwa lingkungan yang memberi kesempatan, ruang dialog, dan dukungan emosional akan menentukan cara seseorang berpikir dan menanggapi tantangan. Relasi personal yang hadir dengan empati dapat mengubah krisis menjadi proses belajar, sehingga kesalahan dapat menjadi refleksi dan tekanan menjadi pertumbuhan.
Dalam perspektif spiritual, Al-Qur’an mengingatkan kita:
“Dan bahwa manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS An-Najm: 39)
Kata “usaha” pada ayat tersebut, tidak mengedapankan pada ranah teknis semata, melainkan pada mental, bahkan spiritualitas, baik skala individu dan sosial. Dalam kenyataan, cara berpikir seseorang sering kali dibentuk oleh siapa yang ia temui, seberapa dalam ia dipercaya, dan seberapa jujur ia diajak berbicara. Dalam banyak hal, rezeki “mental” itu datang dari relasi yang hadir di saat genting—yang tak menghakimi, tapi menemani.
Sebagaimana kerap disampaikan oleh Mbah Nun dalam banyak kesempatan, relasi personal adalah jantung dari demokrasi kultural: ruang hidup bersama dimana semua orang diberi tempat untuk bertumbuh. Demokrasi, dalam makna yang lebih manusiawi, bukan sekadar sistem suara terbanyak, tetapi tentang mendengar yang minor, menghargai yang berbeda, dan menguatkan yang rapuh. Dalam konteks ini, relasi bukan hanya alat komunikasi, tapi pembentuk nalar sehat dan karakter jernih—sesuatu yang sangat dibutuhkan di tengah kecamuk narasi konflik dan polarisasi saat ini.
Masyarakat yang hidup dalam relasi yang sehat adalah masyarakat yang bisa berpikir jernih, merasa aman, dan bertindak bijak. Maka relasi bukan sekadar pergaulan, tetapi investasi sosial yang membentuk cara berpikir kolektif. Dalam menghadapi era disinformasi, tekanan ekonomi, dan krisis identitas, kita butuh lebih banyak ruang bersama yang menyembuhkan. Ruang itu tidak selalu ada di lembaga formal atau forum publik, tapi bisa lahir dari relasi yang kita rawat secara jujur dan sederhana.
Jika hari ini kita melihat kerapuhan mental di berbagai lapisan masyarakat—baik dalam bentuk apatisme, sinisme, atau ekspresi verbal, maka mungkin sudah waktunya kita kembali merawat hal-hal yang paling mendasar: relasi yang berakar pada nilai. Dalam dunia yang penuh tekanan, siapa yang bersedia hadir dengan empati dan kesadaran, ialah mereka yang sesungguhnya sedang menumbuhkan diri.