PADA SAAT Islam masuk ke Indonesia, kurang lebih pada abad ke-7 M sampai 13 M, tentu banyak hal yang menjadi penghalang, hambatan atau tantangan. Sampai pada saat Wali Songo ikut mendakwahkan Islam khususnya di pulau Jawa, Islam mulai diterima oleh masyarakat saat itu yang notabene masih menganut agama Hindu dan Budha, bahkan kepercayaan animisme dan dinamisme. Perdagangan, pernikahan, pendidikan, politik bahkan akulturasi budaya dan kesenian adalah jalur atau media penyebaran agama Islam pada saat itu. Termasuk Wali Songo ikut menggunakan media-media dakwah tersebut.
Metode penyebaran Islam melalui kesenian salah satunya dilakukan oleh Sunan Kalijaga. Meskipun awalnya sempat dilarang oleh Sunan Ampel karena dikhawatirkan akan merusak nilai-nilai Islam, Sunan Kalijaga berhasil meyakinkan Sunan Ampel bahwa metode yang dipilihnya tidak akan merusak nilai-nilai Islam, malah menjadi nilai tambah tersendiri.
Perjalanan yang cukup panjang bagi Sunan Kalijaga sebelum pada akhirnya Ia berdakwah menyebarkan nilai-nilai Islam. Ia pernah menjadi pencuri, meskipun harta yang ia curi diberikan kepada masyarakat miskin tetap itu tidak dibenarkan, ia diusir oleh ayahnya seorang Adipati kemudian ia pergi ke hutan dan bertemu Sunan Bonang. Bersama Sunan Bonang ia tersadarkan bahwa perbuatannya salah, dan ia banyak belajar dari Sunan Bonang. Sampai akhirnya Sunan Kalijaga memilih gamelan dan pewayangan sebagai media dakwahnya.
Sunan Kalijaga tidak memasang tiket dalam setiap pewayangan yang ia pentaskan, cukup mereka yang sudah bersyahadat yang bisa menyaksikan pagelaran wayang. Pada saat itu, wayang sedang digemari oleh masyarakat. Cerita-cerita yang disampaikan memuat ajaran-ajaran Islam, tauhid, akhlak dan lainnya. Sunan Kalijaga menciptakan tembang-tembang yang liriknya juga adalah nasihat-nasihat, seperti llir-ilir.
Cak Nun bersama Maiyah di berbagai daerah, rasanya memiliki metode yang sama dengan metode dakwah Sunan Kalijaga. Alih-alih pengajian yang terkesan kaku dan suntuk, Cak Nun dan Maiyah menyisipkan kesenian-kesenian yang sesuai dengan kegemaran jamaahnya. Cak Nun juga tidak lupa menyampaikan nilai-nilai Islam melalui seni gamelan, syair yang diambil tak jauh dari sholawat nabi, syair-syair yang ditulisnya, bahkan tembang-tembang yang ditulis oleh Sunan Kalijaga ia bawakan kembali dengan bunyi gamelan yang lebih megah bersama KiaiKanjeng.
Rasa-rasanya, alasan kenapa Cak Nun begitu tidak setuju jika ada yang berkata bahwa musik itu haram, ya karena ini. Islam bisa masuk dan diterima oleh masyarakat Indonesia ya diawali dengan nada-nada dari gamelan, dan dakwah yang dilakukan oleh Wali Songo.
Sejalan dengan yang dilakukan Sunan Kalijaga, kala ia mementaskan pewayangan, Cak Nun bersama Maiyah, juga tidak memasang tiket. Hanya dengan nilai kesediaan untuk saling menjaga dan mengamankan, sudah cukup menjadi syarat bisa mengikuti pengajiannya. Meski bukan lagi hanya dalam rangka menyebarkan agama Islam, tapi juga menanamkan kesadaran nilai-nilai Islam bagi siapa saja yang datang.
Lingkar Maiyah tak mewajibkan jamaahnya untuk datang tepat waktu dan meninggalkan tempat setelah acara benar-benar usai. Bagi siapa saja yang berada dan hadir di dalamnya sejak awal hingga akhir, sepertinya akan mendapatkan nilai, pengetahuan, dan rasa yang utuh.