IBU SAYA beberapa kali bercerita mengenang masa kecilnya. Di suatu sore di hari kematian Soekarno, ibu saya dan teman-temannya melihat awan yang menyerupai wajah Soekarno. Seperti orang-orang dewasa di kampung pada masa itu, kakek saya juga pengagum Soekarno, melihatnya sebagai sosok gagah, yang berdasar weton lahirnya memang ditakdir jadi orang besar, alias bukan dari kalangan biasa.
Sementara, kakek nenek saya sendiri hidupnya susah. Kesusahan mereka tidaklah unik, kesusahan yang dirasakan sebagian besar rakyat di masa itu. Ibu saya cerita bagaimana ibu tidak pernah bisa fokus di sekolah. Pikirannya selalu tertuju pada nenek saya yang sedang dagang di pasar: Apakah dagangannya laku? Sebab kalau tidak, mereka harus putar otak lebih keras untuk bisa makan.
Saya selalu kesal setiap mendengar cerita awan Soekarno ini. Bagaimana bisa mereka hidup susah dan masih memuja pemimpinnya? Kisah awan itu sendiri sudah tidak rasional, ditambah lagi kekaguman nenek kakek saya pada Soekarno yang tidak logis, terlalu frustatif untuk didengar.
Kakek saya menggarap sawah sejak sebelum subuh hingga larut petang, sampai kulitnya legam. Kok bisa-bisanya dengan kerja keras itu beliau berharap kedatangan Ratu Adil. Bisa-bisanya beliau menganggap pemimpin saat itu sebagai perwujudan Ratu Adil. Adakah sedikit dia sadar bahwa dirinya sendiri adalah juru selamat bagi keluarganya? Apakah beliau mengidap—dalam termin mental health sekarang—self-hating syndrome?
Cara pandang messianic “menanti Ratu Adil”, menurut saya, sudah mengakar dan bersemi sampai masa kini. Padahal, berulang kali sejarah merekam bahwa kerinduan dan penantian akan Ratu Adil ini sudah sering berujung pahit, mengelabui kita sendiri, membuat gerakan-gerakan perubahan layu sejak dini. Barangkali memang tantangan bangsa kita adalah berpikir rasional.
Kita sudah terbiasa dengan narasi biner, hitam-putih: Rama itu pahlawan, Rahwana itu penjahat. Kita seakan punya kebutuhan mendasar psikologis berupa gada-gada “idola bersama” dan “musuh bersama”. Idola ini akan jadi sesembahan kita, sementara musuh akan jadi arah kemana kita akan melempar kerikil-kerikil keputusasaan atas hidup kita sendiri.
Sebagai orang yang tumbuh dengan latar belakang Jawa. Saya merasa kesungkanan dan ketahudirian yang salah-tempat justru mengerdilkan potensi diri sebagai manusia, dan jadi insentif bagi para pembual yang mengarang cerita jati dirinya sebagai Lembu Peteng, Raja Jawa, atau pun penerus Raden Mas Ontowiryo. Padahal setiap anak semua-bangsa punya keberartian nyawa dan darma yang sama. Bukankah dalam Islam juga diajarkan demikian? Bahwa derajat manusia hanya dibedakan dari ketakwaannya.
Jika bisa melintasi waktu, saya ingin sampaikan pada kakek saya bahwa dirinya telah menyemai legacy bagi generasi penerusnya, misalnya untuk bekerja giat dan tidak menyalahgunakan harta milik orang lain. Beliau sudah menjadi juru selamat bagi keturunannya dan tidak perlu mempertanyakan kembali kapan ratu adil akan datang.
Orang-orang di Nusantara sejak dulu memang tak kurang gigihnya. Para buruh tani, kurir logistik, sopir antarkota, pengangkut sampah, perawat, guru. Aksi kerjanya tidak hanya dibutuhkan secara riil, tapi juga sering heroik, bernuansa pertarungan hidup dan mati. Dalam salah satu sesi pengajian, Gus Baha mengumpamakan kisah heroik pada dua jelata yang sama-sama miskin. Lalu salah satunya meminjamkan uang pada rekannya, dengan risiko dirinya sendiri akan kekurangan hari itu. Mereka sudah, sedang, dan terus berjihad, melakukan usaha penyelamatan, yaitu memperjuangkan hidupnya sendiri dan sesamanya. Tapi selama ini seolah-olah yang berarti hanya yang besar-besar, yang datang dari selain-rakyat, seberapa pun musimannya.
Bermula dari mengecilkan niatan dan usaha kita sendiri, lama-lama kita lantas mengecilkan upaya orang lain—sesama jelata. Kita menjadi sangat inferior di hadapan orang yang menurut kita ekonominya lebih bagus, pendidikannya lebih bagus, jabatannya lebih tinggi. Kita bicara dengan intonasi dan standar respek yang berbeda saat menghadapi mitra Ojol versus pejabat, meski keduanya sama-sama senior usianya. Kita lebih sering menertawakan sesama jelata ketimbang menertawakan kebodohan orang-orang terlampau kaya yang rumit banget mencari bahagia. Dalam penantian si Ratu Adil, kita tersesat dan kehilangan mata rantai kemanusiaan kita. Kita merasa layak dilabel less human ketimbang si Ratu Adil, atau mereka yang kita “tuduh” punya kriteria-kriteria Ratu Adil—kaya, mapan, sukses, wangi, dan lain-lain.
Berhentilah menunggu Ratu Adil datang. Ingatlah bahwa kelahi kekuasaan adalah keniscayaan di dunia, tetapi tidak berarti para pihak yang bertarung, atau salah satunya, sedang memperjuangkan rakyat dalam pertarungan tersebut. Juga, berhentilah membalut penderitaan dan masa lalu yang suram dengan teks bualan indah. Yang kita punya hanya hari ini.
Siapa tahu perlawanan terampuh atas overdosis kapitalisme bernuansa fasisme belakangan ini adalah kesadaran kita masing-masing, bahwa kita sama berdaya dan oleh karenanya mahir menemukan kebahagiaan dalam laku-laku yang sederhana, di luar rencana para fasis kapitalis. Dengannya, semoga kita bisa mengorganisir perubahan dengan lebih baik, mawas dan langgeng.






