SEBUAH BANGSA bisa tumbuh tanpa benar-benar berkembang. Ia bisa meninggi, tapi kehilangan akar. Dalam seminar-seminar korporasi dan ruang kelas, kata growth telah menjelma mantra: diulang-ulang dalam motivasi, presentasi, hingga kebijakan publik. Kita diajari untuk “berubah”, “naik kelas”, “meningkatkan potensi”. Tapi sedikit yang bertanya: tumbuh ke arah mana? dan dengan jiwa yang bagaimana?
Konsep growth mindset berangkat dari penelitian Carol S. Dweck (2006), yang membedakan antara fixed mindset (keyakinan bahwa kemampuan adalah sifat bawaan) dan growth mindset (keyakinan bahwa kemampuan dapat dikembangkan melalui usaha, strategi, dan pembelajaran dari kegagalan). Dalam banyak riset psikologi, konsep ini terbukti berkorelasi dengan ketahanan belajar (resilience), namun data juga menunjukkan sesuatu yang lebih halus bahwa efeknya kecil dan kontekstual. Meta-analisis oleh Sisk dan Burgoyne (2018) menyimpulkan bahwa growth mindset bekerja optimal hanya bila lingkungan mendukung pembelajaran yang manusiawi, bukan kompetisi yang menekan.
Yeager et al. (2019) dalam Nature menemukan bahwa intervensi mindset di sekolah-sekolah Amerika hanya efektif pada siswa yang memiliki dukungan sosial dan rasa aman. Pertumbuhan, dengan kata lain, tidak pernah berdiri sendiri. Ia memerlukan ekosistem nilai yang menumbuhkan bukan hanya kemampuan, tetapi juga kesadaran.
Namun di tangan modernitas, growth mindset sering kehilangan ruh itu. Ia diadopsi oleh dunia korporasi dan pendidikan bukan sebagai kerangka kesadaran, melainkan sebagai alat efisiensi. Kita menafsirkan “tumbuh” sebagai “naik,” bukan sebagai “dalam.”
Paradoks yang hadir kemudian, pertumbuhan yang hanya berorientasi hasil justru melahirkan manusia-manusia yang lelah. WHO (2019) mengklasifikasikan burnout sebagai gejala global akibat tekanan produktivitas kronis. Studi di Indonesia, terutama pada tenaga kesehatan dan mahasiswa pascapandemi menunjukkan prevalensi burnout di atas 50% (Pramudita et al., 2022).
Kita berlari, tapi kehilangan arah. Kita bekerja keras, tapi tak tahu untuk apa. Di sinilah acap kali mungkin kita membutuhkan sesuatu yang lebih tua dari teori, lebih lembut dari ambisi, yakni jiwa.
Jika boleh berpendapat, manusia Indonesia modern kehilangan tata batin. Kita sibuk menumbuhkan otot pikiran, tapi lupa menumbuhkan otot kejujuran*.* Pertumbuhan sejati bukan soal kecepatan, melainkan keserasian antara akal, hati, dan ruh. Maka, growth mindset tanpa jiwa hanya melahirkan manusia yang tangkas berpikir tapi tumpul merasakan.
Kita boleh menolak dikotomi antara dunia profan dan spiritual. Kerja, belajar, dan tumbuh adalah ibadah jika dilakukan dengan kesadaran ilahiah. Ini resonan dengan tesis Ibn ‘Athaillah dalam Al-Hikam: “Amal yang tidak bersumber dari hati, ibarat jasad tanpa ruh.” Dalam kerangka ini, growth mindset baru menjadi utuh bila disertai spiritual mindset, yakni kesadaran bahwa tumbuh adalah bagian dari memuliakan kehidupan, bukan mengungguli sesama.
Eckhart Tolle dalam The Power of Now (1997) mengajarkan hal serupa dalam bahasa Barat: bahwa kesadaran hadir lebih penting daripada kecepatan bergerak. Michael Singer (2007) menambahkan bahwa kebebasan batin muncul saat seseorang berhenti mengidentifikasi diri dengan pikirannya. Kedua tokoh ini, dalam ruang yang berbeda, bicara hal yang sama mengenai kesadaran lebih penting daripada ambisi.
Dalam konteks bangsa, kehilangan kesadaran ini terlihat nyata. Kita sering merayakan pertumbuhan ekonomi, tapi menunda pertumbuhan moral. Kita bangga pada pembangunan fisik, tapi abai pada pembangunan nurani. Growth mindset nasional, kalau istilah itu boleh dipinjam, telah menjelma sekadar jargon pembangunan yang terukur oleh angka, bukan oleh kesejahteraan jiwa rakyatnya.
Sebagaimana individu dapat memiliki growth mindset tanpa arah spiritual, bangsa pun bisa mengalami pertumbuhan tanpa jiwa. Ia bergerak cepat, tapi kosong. Ia membangun kota, tapi kehilangan makna hidup warganya.
Acap kali yang penting bukan seberapa cepat kita tumbuh, tapi apakah kita tumbuh dengan benar.
Benar di sini bukan dalam arti moral sempit, melainkan keberpihakan kepada keseimbangan antara daya pikir dan daya rasa, antara hasil dan kesadaran, antara dunia dan akhirat.
Pertumbuhan tanpa jiwa, pada akhirnya, bukan kemajuan. Melainkan keterasingan yang dibungkus keberhasilan. Mungkin, yang perlu kita pelajari dari growth mindset bukan lagi tentang bagaimana menjadi lebih, tapi bagaimana menjadi sadar ketika menjadi lebih. Apabila jiwa tidak ikut bertumbuh, seluruh gerak kemajuan hanyalah bunyi mesin tanpa arah. Hari ini, kita tidak membutuhkan lebih banyak percepatan. Kita membutuhkan kedalaman.






