Dalam perjalanan memahami realitas kehidupan, Mbah Nun pernah menyampaikan bahwa ada empat kuadran yang menjadi landasan penting: diperintah, diizinkan, dibiarkan, dan dijerumuskan oleh Allah. Keempat kuadran ini memberikan gambaran tentang posisi manusia dalam hubungannya dengan Allah. Nabi Muhammad, sebagai sosok yang paling sempurna dalam mengikuti kehendak Allah, menjadi representasi tertinggi dari mereka yang “diperintah” oleh Allah. Sebagaimana tercermin dalam Surat An-Najm ayat 3, “Wama yantiqu ‘anil hawa,” beliau tidak berbicara mengikuti hawa nafsu. Beliau adalah teladan utama bagi umat manusia dalam menapaki jalan kebenaran. Sebaliknya, Dajjal mewakili spektrum terendah dalam kuadran ini, yakni mereka yang “dijerumuskan” oleh Allah, mencerminkan peradaban kufur. Dalam konteks ini, syukur yang sejati harus senantiasa dikembalikan kepada teladan Nabi Muhammad, yang diwariskan dari generasi terdahulu dan dilanjutkan oleh generasi penerus melalui shirotolmustaqim.
Nabi Muhammad adalah cerminan peradaban syukur, sementara Dajjal adalah wujud nyata dari peradaban kufur yang mengaburkan syukur. Namun, tantangan besar muncul ketika banyak hal yang tampak hebat secara lahiriah ternyata adalah representasi dari mereka yang dijerumuskan, bukan yang diperintah oleh Allah. Agar peradaban syukur dapat terus berlanjut, kita harus bisa membedakan mana yang diperintah oleh Allah dan mana yang dijerumuskan. Hal ini mengharuskan kita untuk memiliki bashiroh fil qalbi untuk membedakan mana yang benar-benar membawa kita kepada kebenaran. Tanpa kemampuan ini, kita rentan terjebak dalam ilusi yang disuguhkan oleh dunia materialistis, sebuah fenomena yang dipotret dalam tulisan Mbah Nun yang berjudul Bimbingan Belajar Dajjal. Hari ini, fenomena serupa mungkin telah berkembang menjadi Majelis Ad-Dajjaliyah, yang semakin luas pengaruhnya.
Banyak orang salah kaprah mengira bahwa Dajjal tidak disebutkan dalam Al-Quran dan hanya ada dalam hadits. Padahal, hakikatnya, Allah telah memberikan petunjuk dalam Al-Quran untuk mengenalinya karena Dajjal tidak akan mengaku sebagai Dajjal. Sifat-sifat dajjali dapat ditemukan dalam Surat Al-Kahfi ayat 28, di mana Allah menyebutkan tentang mereka yang dilalaikan dari mengingat-Nya, tidak terhubung pada Nabi Muhammad, dan mengikuti hawa nafsu.
Untuk lebih memahami siapa dan di mana Dajjal, kita perlu mundur ke masa lalu, sekitar 2000 tahun silam ketika Nabi Isa dianiaya dan hendak dibunuh. Dajjal pertama kali membajak identitas Nabi Isa, mencerminkan pola panjang pembunuhan para nabi oleh kaum Yahud, sebagaimana disebutkan dalam Surat Ali Imran ayat 21: “Yaqtuluuna an-nabiyyina bighairi haqq.” Bahkan, Nabi Muhammad pun juga menjadi korban dari serangkaian upaya tersebut, meninggal akibat diracuni kaum yang sama.
Fitnah Dajjal tidak hanya berkisar pada aspek spiritual semata, tetapi juga mencakup isu-isu kontemporer yang relevan hingga hari ini. Banyak orang gagal memahami fitnah Dajjal secara utuh karena kurangnya pemahaman tentang keterkaitan antara peristiwa masa lalu dan masa kini. Selama kita masih menggunakan prisma materialistis seperti Renaisans, Romawi, atau Yunani, kita tidak akan mampu melihat realitas yang sebenarnya. Prisma-prisma ini cenderung membatasi pandangan kita hanya pada hal-hal yang kasat mata, sementara fitnah Dajjal sering kali bersifat halus dan terselubung.
Plato dalam Allegory of the Cave menggambarkan mereka yang masuk gua sebagai mereka yang tertipu oleh narasi semu. Mereka melihat bayangan sebagai kenyataan, padahal yang sebenarnya terjadi berada di luar gua. Namun, dalam kisah Al-Kahfi, mereka yang masuk gua justru menemukan rosyada (petunjuk). Ini menunjukkan bahwa pencarian kebenaran membutuhkan kesadaran yang lebih dalam, bukan sekadar mengandalkan apa yang tampak di permukaan. Kalaupun harus masuk gua, pilihilah gua semacam yang ada di Al-Kahfi.
Untuk memahami realitas yang lebih dalam, kita membutuhkan lensa basyirah, sehingga kita bisa melihat hal-hal yang tak terlihat oleh mata biasa. Sayangnya, banyak orang tanpa sadar terlibat dalam Majelis Ad-Dajjaliyah, tempat di mana nilai-nilai palsu dipuja dan dijadikan pedoman hidup. Membahas isu-isu kontemporer tanpa pemahaman mendalam hanya akan berujung pada kegagalan. Kita mungkin gagal mengisolasi kasus, gagal mengekstraksi deduksi dan induksi yang diperlukan, atau bahkan membuat keadaan semakin buruk. Misalnya, ketika kita hanya melihat fenomena ekonomi, politik, atau sosial secara parsial tanpa mempertimbangkan dimensi spiritual, kita akan kehilangan esensi sejati dari permasalahan tersebut. Solusi yang tepat adalah dengan mengandalkan waskita, di mana kita tidak perlu membahas segala sesuatunya secara eksplisit tetapi tetap memahaminya.
Paradigma baru perlu dibangun untuk menemukan pola-pola yang menyatukan kedua aspek tersebut. Dengan begitu, kita dapat menyembuhkan komunitas dari kebodohan terhadap fenomena yang ada di sekeliling kita. Fitnah Dajjal sudah dimulai sejak zaman Samiri dan terus berlanjut hingga hari ini. Memahami peristiwa yang sudah terjadi 2000 tahun lalu dari sudut pandang kontemporer memang hampir tidak mungkin, tetapi kita bisa memahami isu kontemporer dengan berangkat dari peristiwa lampau.
Salah satu bentuk fitnah akhir zaman adalah penyalahgunaan kata syukur oleh orang-orang zalim untuk membungkam korbannya. Ini adalah manifestasi dari konotasi denotasi yang dikorupsi maknanya. Syukur yang seharusnya kita pahami bukanlah syukur versi fitnah Dajjal. Kenduri Cinta telah melampaui dualisme spiritualisme yang asli dan palsu, menuju versi idealnya. Spiritualisme yang dibahas dalam Kenduri Cinta adalah versi omega dari segala bentuk modernitas. Iman adalah bentuk syukur tertinggi, yang tidak hanya menjadi dasar keyakinan, tetapi juga pijakan untuk membangun peradaban yang berkelanjutan. Dengan memahami ini, kita dapat menjaga estafet syukur agar tetap bergerak di jalur yang benar, mengikuti jejak Nabi Muhammad sebagai teladan tertinggi bagi umat manusia.
Syukur yang autentik akan membawa kita pada kesadaran mendalam tentang nikmat Allah, yang pada gilirannya memperkuat ikatan kita dengan-Nya. Dalam konteks ini, Majelis Ad-Dajjaliyah menjadi kebalikannya—tempat di mana syukur dipalsukan, dijadikan alat untuk menyesatkan, dan diarahkan untuk tujuan-tujuan yang bertentangan dengan kehendak Ilahi. Peran individu dan komunitas dalam konteks ini sangat penting. Setiap individu dituntut untuk terus-menerus merefleksikan diri, memastikan bahwa langkah-langkah yang diambilnya selaras dengan kehendak Allah. Komunitas, di sisi lain, harus menjadi wadah yang mendukung proses ini, menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan spiritualitas yang sejati.
Dengan demikian, kita tidak hanya menjadi penonton pasif dalam perjalanan sejarah, tetapi juga aktor yang berkontribusi positif dalam membangun peradaban yang berlandaskan syukur. Peradaban ini tidak hanya akan bertahan, tetapi juga memberikan inspirasi bagi generasi mendatang untuk terus melanjutkan estafet kebenaran. Namun, kita harus waspada terhadap keberadaan Majelis Ad-Dajjaliyah, yang bisa saja hadir dalam berbagai bentuk, baik secara terang-terangan maupun terselubung. Hanya dengan kesadaran yang mendalam dan komitmen yang teguh, kita dapat memastikan bahwa kita tidak termasuk dalam barisan mereka yang terjerumus ke dalam jurang kekufuran. (RedKC/Haddad)