DI ERA INI, keberhasilan lebih sering didefinisikan oleh performa, bukan oleh pengabdian; oleh impresi, bukan oleh substansi. Kita hidup dalam masyarakat yang tak lagi tertarik menimbang kualitas, melainkan kuantitas, yaitu: pengikut, gelar, exposure, popularitas, dan kadang, sekadar “good vibes”.
Dalam kegemerlapan kosmetik itu, kita menyaksikan satu gejala yang terus tumbuh: kelas menengah—medioker yang tak terbendung—mereka yang tidak cukup radikal untuk membongkar tatanan, tapi juga tak cukup tulus untuk melayani yang terpinggirkan. Mereka yang tak merasa miskin, tapi hidup dalam utang; yang merasa cerdas, tapi hanya mengutip dari seminar-seminar motivasi; yang merasa nasionalis, tapi hanya di momen Hari Kemerdekaan dan ketika debat capres, atau berita viral.
Sementara itu, 1% orang terkaya menguasai hampir separuh kekayaan nasional (Credit Suisse, 2022). Lebih teliti, 10% orang terkaya menguasai 75% dari total kekayaan yang ada. Di lapisan paling bawah, jutaan orang dipaksa untuk hidup dalam “keberdayaan palsu.” Lulusan sarjana yang menganggur, pekerja informal yang tak diasuransikan, buruh urban yang bergantung pada promo ojek daring demi bisa makan tiga kali sehari.
Pemerintah bicara tentang “bonus demografi,” namun lupa bahwa lebih dari 9% pengangguran di Indonesia justru berasal dari lulusan perguruan tinggi (BPS, 2024). Anak-anak muda dijejali mimpi tentang kontribusi bagi bangsa, tapi tidak diberi alat untuk bertahan di tengah kompetisi bebas tanpa perlindungan.
Di sisi lain, meritokrasi yang dahulu digadang-gadang sebagai sistem yang adil, kini bertransformasi menjadi alat penyortir kelas. Seperti ditulis Michael Sandel dalam The Tyranny of Merit, sistem ini bukan hanya menyingkirkan yang kalah secara ekonomi, tapi juga menghina mereka secara moral: gagal berarti tidak layak. Tidak pintar. Tidak cukup niat. Tidak cukup berdoa.
Di negeri ini, meritokrasi hidup dalam bentuk yang lebih kejam—berwujud kredensialisme: almamater menjadi paspor sosial, bukan sekadar simbol akademis. Gelar bukan lagi alat belajar, tapi status yang harus dibela, bahkan dijual. Bagi mereka yang tak mampu membeli akses ke sekolah unggulan, mimpi untuk “naik kelas” hanya tinggal jargon iklan susu pertumbuhan.
Padahal, sebagaimana ditulis Sandel, “If the only way the system can offer dignity is through success, then those who do not succeed are left without dignity.”
Sementara itu, nasionalisme baru tumbuh seperti bunga plastik di etalase mal. Cantik, rapi, tapi mati. Ia menari di atas reruntuhan makna gotong royong. Ia dikumandangkan oleh influencer, dinyanyikan dalam jingle startup, dan dipertontonkan dalam orasi kampus. Namun ketika anak-anak daerah kembali dari program “pengabdian sosial,” sekolah tetap rusak, guru tetap bergaji rendah, dan anak-anak tetap terperangkap dalam lingkaran kemiskinan.
Dan kota… selalu kota. Ia tak pernah benar-benar bisa menjadi solusi ketika ia sendiri adalah sumber luka. Di kota, para anak muda dari kampung dihargai jika bisa beradaptasi, yakni diam, bekerja keras, dan jangan protes. Menjadi inspiratif, tapi tidak mengganggu. Menjadi contoh, tapi bukan pengganggu.
Kita sedang berada di tengah-tengah era yang dimenangkan oleh mereka yang biasa-biasa saja, tapi berisik. Mereka seolah mengaku sebagai medioker, tapi aktif di seminar. Cerdas, tapi tanpa keberpihakan. Mereka merayakan sukses sebagai hasil kerja keras, tapi lupa bahwa mereka memulai dari garis start yang disubsidi oleh privilese: akses, jaringan, warisan, atau sekadar “latar belakang keluarga baik-baik”.
Amat ironi memang. Mereka ini justru yang paling vokal menyerukan: “semua bisa sukses kalau mau berusaha” atau “semua orang bisa sukses di usia muda.” Seolah-olah ketimpangan adalah ilusi. Seolah mereka tidak berdiri di bahu raksasa sistem yang diskriminatif.
Tapi tulisan ini tidak ditulis untuk mengecam mereka. Ini adalah surat untuk kita semua. Untuk kita yang sadar bahwa kita bukan bagian dari 1%, bahkan mungkin tidak dari 10% teratas. Kita adalah kelas bawah-menengah sosial, yang seringkali tak punya cukup kekuatan untuk mengubah tatanan, tapi juga tak punya kemewahan untuk berpura-pura semuanya baik-baik saja.
Kita tak bisa menyulap sistem. Tapi kita bisa mengenali bahwa kesuksesan bukan akhir, dan kegagalan bukan kutukan. Kita bisa mulai dari moral humility, kerendahan hati untuk mengakui bahwa keberhasilan tidak pernah murni milik kita sendiri. Ia lahir dari jejaring sosial, keberuntungan, dan acapkali kebijakan struktural yang berpihak.
Sandel menyebutnya “recognition respect”. Sebuah sikap untuk tidak hanya menghargai yang “berhasil”, tapi juga yang “bertahan”. Mereka yang bekerja dengan tangan kotor, yang hidup tanpa asuransi, yang bangun pukul tiga pagi bukan untuk lari pagi, tapi untuk membuka warung.
Mungkin kita tidak bisa mengubah banyak. Tapi seperti kata James Clear dalam Atomic Habits, “We do not rise to the level of our goals. We fall to the level of our systems.” Maka jikalau kita tidak dapat mengendalikan sistem, kita bisa bertindak dalam spektrum kendali dan pengaruh kita sendiri.
Bertindaklah, meski kalang kabut. Melangkahlah, meski goyah. Dan selesaikanlah, meski harus dengan susah payah.
Jika kita menyerah hari ini, barangkali esok yang akan bertahan adalah kebisingan dari mereka yang tak pernah benar-benar peduli. Esok hari, kita tetap menyala, bukan karena lilin motivasi, tapi oleh peluh tanpa nama—yang bekerja dalam senyap, yang tak pernah sempat menyebut kata “perjuangan”, sebab kita terlalu sibuk bekerja.