Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Esensia

Sunyi yang Melawan: Politik Kultural Seorang Cak Nun

Putra Ansa Gaora by Putra Ansa Gaora
June 5, 2025
in Esensia
Reading Time: 6 mins read
Sunyi yang Melawan Politik Kultural Seorang Cak Nun

Sejarah kerap mencatat peristiwa, tetapi kerap melupakan cara peristiwa itu terjadi. Ia mengenang suara ledakan, bukan bisikan yang mendahuluinya. Maka, ketika kita bicara tentang Emha Ainun Nadjib—Cak Nun—barangkali kita sedang menyentuh sebuah wilayah yang tidak lazim dalam penalaran politik modern, yaitu soal perlawanan yang tidak ribut, dan perjuangan yang tidak berambisi menang.

Cak Nun bukan oposisi dalam pengertian formal. Ia tidak duduk di lembaga legislatif, tidak berafiliasi pada partai, tidak pula menyusun manifestonya dalam jargon-jargon ideologis. Ia juga bukan netral. Netralitas—dalam tafsirnya—justru bentuk terburuk dari ketidakpedulian.

Ia sangat berpihak. Tetapi, keberpihakannya tak selalu mudah diidentifikasi oleh klasifikasi politik konvensional. Ia berdiri, bukan di tengah-tengah atau di pinggir, melainkan di dalam: di jantung etika, di inti kesadaran. Ia tak mencari posisi, tetapi makna.

Politik yang Tak Mencari Kekuasaan

Plato menyebut demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang rawan tergelincir pada kekacauan. Ia skeptis terhadap banyak orang yang akan memilih tanpa pengetahuan. Tapi barangkali Cak Nun lebih dekat dengan pengertian yang lain, bahwa politik bukan sekadar siapa yang duduk di singgasana kekuasaan, tetapi apa yang hidup dalam kesadaran banyak orang.

Ketika jabatan ditawarkan kepadanya—sejak era Gus Dur hingga kini—ia memilih menolak. Bukan karena tak cakap, tetapi justru karena ia terlalu paham betapa bahaya kekuasaan terhadap batin manusia. Kekuasaan yang tidak diawasi oleh nurani, akan menjadi instrumen domestikasi. Ia memilih jalan sunyi, di sanalah kebebasan berpikir lebih mungkin bertahan.

Kita dapat belajar bahwa politik itu bukan rebutan jabatan, tapi bagaimana rakyat bisa hidup tanpa ditipu. Hal ini tampak sederhana, tapi menyimpan tesis yang tak mudah dibantah, bahwa krisis politik di negeri ini bukan hanya terletak pada sistem, tetapi pada kemauan untuk jujur.

Hal ini termanifestasi nyata ketika Pemilu 2014 dan 2019 membuat masyarakat terbelah antara dua kutub—Jokowi dan Prabowo—Cak Nun justru terus menulis esai dan menyampaikan bahwa siapa pun presidennya, rakyat harus tetap berpikir kritis dan tidak menjadikan politik sebagai agama baru. Tersirat ingin menyampaikan kepada semua bahwa “Jangan jatuh cinta pada tokoh, cintailah kebenaran.” Di saat publik diseret euforia kemenangan atau kebencian terhadap kekalahan, Cak Nun mengajak untuk kembali berpikir dan tidak kehilangan kemanusiaan.

Lebih jauh ke belakang, puncak Reformasi 1998 menempatkan Soeharto dalam tekanan yang belum pernah ia rasakan. Namun bukan demonstrasi mahasiswa yang membuatnya takut. Ia lebih takut pada rakyat yang mulai saling menjarah, tanda ambruknya wibawa negara. Di saat genting inilah, Cak Nun bersama beberapa tokoh intelektual lain mengirim surat berjudul Khusnul Khotimah. Surat itu bukan sekadar kritik, tapi ajakan penuh kebijaksanaan: akhiri kekuasaan dengan damai.

Cak Nun mengingatkan prinsip Jawa,ora pathèken. Kekuasaan hanyalah titipan, bukan hak mutlak. Surat itu menegaskan bahwa mundur bukan aib, melainkan jalan yang terhormat. Soeharto akhirnya menerima. Pada 21 Mei 1998, ia mundur—sebuah akhir yang ia pahami sebagai takdir, bukan kekalahan. Kiprah Cak Nun itu menunjukkan bahwa politik bukanlah perebutan kursi, tapi upaya menjaga nurani dan kemanusiaan di tengah badai kekuasaan.

Maiyah sebagai Revolusi Kultural

Apa itu Maiyah? Secara struktural, ia bukan organisasi. Tidak punya hierarki, tidak memiliki Anggaran Dasar (AD) dan atau Anggaran Rumah Tangga (ART), bahkan tidak jelas siapa anggotanya. Tapi justru di situ kekuatannya. Ia tidak tunduk pada logika kelembagaan yang formalistis, melainkan pada logika batin yang dialogis. Dalam forum-forum Maiyah, rakyat tidak didikte, tetapi didengarkan. Tidak digiring, tetapi diajak berpikir.

Forum Kenduri Cinta di Jakarta, Mocopat Syafaat di Yogyakarta, Gambang Syafaat di Semarang, dan berbagai simpul Maiyah lain menjadi ruang eksperimental politik batin. Tidak ada kampanye, tidak ada bendera. Yang ada adalah tadarus sosial: tempat rakyat bertanya, mendengar, menafsirkan kembali realitas. Dalam forum Maiyah, seorang sopir angkot bisa duduk sejajar dengan dosen filsafat, membahas epistemologi keadilan, spiritualitas ekonomi, hingga makna ketuhanan dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satu contoh paling konkret, di tengah pembelahan sosial pasca-Pilkada DKI Jakarta 2017, ketika masyarakat saling mencurigai atas nama agama, forum Maiyah memilih untuk tidak masuk dalam retorika pro-kontra, melainkan menyusun kembali bahasa. Cak Nun mengajak publik berdiskusi tentang maqashid syariah, fungsi agama dalam membentuk peradaban, dan bagaimana bahasa Tuhan tidak bisa dipaksakan ke dalam nalar kekuasaan. Ia tak menyuruh memilih siapa pun, tapi mengingatkan agar pilihan politik tidak merusak silaturahmi antarwarga.

Jika politik hari ini menjual ilusi representasi, Maiyah menawarkan otonomi kesadaran. Di situ, rakyat bukan objek mobilisasi massa, melainkan subjek yang aktif mengolah realitas. Forum-forum Maiyah ini tidak menyuguhkan jawaban, tapi menumbuhkan pertanyaan. Di dalamnya, rakyat diajak untuk tidak mudah percaya, terutama kepada siapa pun yang mengaku mewakili mereka.

Seni sebagai Alat Pencerahan

Selama Orde Baru, saat banyak intelektual bungkam atau dibungkam, Cak Nun justru memilih jalur budaya untuk menyampaikan kritik. Ia mendeklamasikan puisi di penjara, memainkan teater di pesantren, menyanyikan ironi bersama KiaiKanjeng. Dalam negara yang anti-diskusi, Cak Nun mengubah panggung menjadi ruang deliberasi. Ia tidak mengajarkan rakyat untuk marah, tetapi untuk memahami, dan dari sana dapat mencintai secara kritis.

Tahun 1990-an, ia menggagas pementasan Lautan Jilbab, yang bukan hanya mengangkat isu spiritualitas perempuan, tetapi sekaligus mengkritik bagaimana negara dan pasar menundukkan tubuh perempuan atas nama moral. Ia menggelar pertunjukan keliling dari pesantren ke pesantren, dari alun-alun ke stadion desa, bukan untuk menghibur, tetapi untuk menggugah nalar.

Ia juga menulis naskah Teater Kompor yang secara alegoris menyindir elit politik yang hanya berpikir instan dan suka “mendidihkan rakyat” demi kepentingan elektoral. Dalam setiap pertunjukan bersama KiaiKanjeng, Cak Nun tidak hanya menyanyikan puisi, tapi meramu tafsir Al-Qur’an, ekonomi kerakyatan, dan filsafat barat dalam satu panggung kesenian. Seni—dalam tangannya—bukan sekadar ekspresi, melainkan laboratorium sosial.

Sebab kekuasaan seperti kata Michel Foucault, tak hanya bekerja lewat represi, tetapi juga lewat narasi. Maka, melawan kekuasaan tidak cukup dengan demonstrasi. Kita harus membongkar cara berpikir yang membuat kekuasaan menjadi masuk akal. Cak Nun secara konsisten melakukan itu dengan puisi, esai, musik, dan tadarus sosial yang tak pernah selesai.

Menolak Polarisasi, Merawat Kemanusiaan

Di era ketika politik identitas membelah bangsa, Cak Nun berdiri sebagai anomali. Ia menolak dikotomi. Tidak memihak kepada kubu tertentu, tetapi kepada manusia itu sendiri. “Kalau kamu membenci saudaramu karena pilihan politik, maka kamu bukan sedang membela kebenaran, kamu sedang kalah oleh sistem,” katanya.

Ia percaya bahwa bangsa ini tidak sedang membutuhkan lebih banyak pemimpin, tetapi lebih banyak pengertian. Sebab itulah, ia lebih memilih menulis, berbicara, dan mendengar, daripada mencalonkan diri.

Politik Sebagai Jalan Spiritual

Barangkali yang dilakukan Cak Nun adalah redefinisi radikal terhadap politik itu sendiri. Ia menolak mempersempit politik menjadi kontestasi elektoral. Dalam praktik cara pandang Maiyah, politik adalah jalan sunyi spiritual yang mengakar pada cinta, akal sehat, dan kejujuran.

Seperti Nabi Muhammad, yang lebih dulu dikenal sebagai Al-Amin sebelum diangkat menjadi Rasul, Cak Nun membangun kredibilitas bukan lewat janji, tetapi lewat keteladanan. Dalam masyarakat yang kehilangan kepercayaan terhadap institusi, kejujuran adalah mata uang paling langka sekaligus paling berharga.

Di Mana Sunyi Bersuara?

Dalam sebuah dunia yang menganggap keheningan sebagai ketidakhadiran, Cak Nun justru memperlihatkan bahwa sunyi bisa lebih nyaring daripada teriakan. Bahwa aktivisme bisa berarti menemani rakyat berpikir dalam diam, bukan hanya menggerakkan mereka dalam amarah.

Ia bukan bagian dari revolusi yang menggulingkan rezim, tetapi dari revolusi batin yang mengembalikan manusia kepada akalnya sendiri. Ia tidak memimpin dari podium, tetapi berjalan bersama, di antara rakyat yang sering lupa bahwa mereka punya hak untuk mengerti.

Dan mungkin, dalam sejarah yang terburu-buru menuliskan pemenang, nama-nama seperti Cak Nun akan tetap tinggal. Bukan sebagai tokoh, tapi sebagai napas panjang dari republik yang diam-diam belajar memahami dirinya sendiri.

SendTweetShare
Previous Post

25 Tahun Kenduri Cinta: Dari Mbah Nun, Untuk Indonesia

Next Post

25 Tahun Kenduri Cinta: Simbol Cinta yang Bertahan, Berakar dan Bertumbuh

Putra Ansa Gaora

Putra Ansa Gaora

Related Posts

Merajut Nilai, Menuai Makna
Esensia

Merajut Nilai, Menuai Makna

June 8, 2025
Mbah Nun dan Pohon Rindang Cinta
Esensia

Mbah Nun dan Pohon Rindang Cinta

June 7, 2025
Kebodohan Lebih dari Jahat
Esensia

Kebodohan, Lebih dari Jahat?

June 6, 2025
25 Tahun Kenduri Cinta Dari Mbah Nun Untuk Indonesia
Esensia

25 Tahun Kenduri Cinta: Dari Mbah Nun, Untuk Indonesia

June 4, 2025
The Sunk Cost Dilemma dalam Sebuah Hubungan
Esensia

The Sunk Cost Dilemma dalam Sebuah Hubungan

June 2, 2025
Menyeka Wajah Zaman dengan Kesunyian
Esensia

Menyeka Wajah Zaman dengan Kesunyian

June 1, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta