DI MASA COVID-19, Mbah Nun tampak seolah mengenalkan anak maiyah kepada sosok yang bernama Manu Jayaatmaja Widyaseputra, biasa dipanggil Pak Manu atau Romo Manu. Ia bukan raja, bukan juga juru ramal. Tapi dari caranya menjelaskan bahwa setiap kerajaan hanya punya sembilan hayat, kita tahu: ia bukan sekadar orang biasa. Ia bukan sekadar bicara sejarah, tapi sedang menyisipkan pesan kepada anak zaman di hari ini.
Peradaban, katanya, tak pernah benar-benar mati. Ia hanya pralina untuk nyusup jadi tunas baru. Ia runtuh hanya supaya bisa berganti kulit. Dari Kediri ke Tumapel, dari Majapahit ke Demak, dari keraton ke republik, semuanya bukan hancur, tapi mengalami regenerasi. Seperti manusia, peradaban pun mengalami pralina sebagai bagian dari hukum waktu.
Ada satu bagian dari sejarah yang jarang kita kenali dengan pas. Kita terlampau sibuk mencari tanggal, nama, dan peristiwa, tapi lupa bahwa sejarah tidak sama dengan museum. Melainkan makhluk hidup, yang bernapas, bertumbuh, menua, dan yang paling penting—beregenerasi. Begitu kira-kira maksud Romo Manu dalam sebuah percakapan yang mengalir pelan tapi dalam, seperti aliran sungai Bengawan Solo ketika musim kemarau.
Menurut Romo Manu, semua kerajaan—dan bukan hanya kerajaan, bahkan peradaban—selalu melewati tiga fase: utpatti, sthiti, pralina. Lahir, tumbuh, dan kemudian “larut”. Tapi larut di sini bukan berarti hancur. Tidak seperti gedung tua yang dibongkar paksa, atau jembatan yang roboh diterjang banjir. Peradaban tidak mengenal kata “runtuh” seperti yang sering kita baca di buku sejarah. Ia hanya mengubah kulit, berganti nama, atau berpura-pura tidur untuk bangun dalam bentuk baru.
Katakanlah Mataram Kuno. Kerajaan ini tidak begitu saja lenyap. Ia hanya menyelesaikan siklus sembilan rajanya. Setelah itu, ia beranak menjadi dinasti baru: Isyana, lalu turun ke Jawa Timur, menjadi Medang, lalu Kahuripan, Kediri, Tumapel (yang sering salah disebut Singasari), Majapahit, dan seterusnya. Tiap-tiap fase adalah satu putaran kehidupan. Dan jika sudah sampai pada raja kesembilan, maka saatnya regenerasi.
Tapi regenerasi bukan soal pemilihan umum atau suksesi politik semata. Dalam pemaparan Romo Manu, regenerasi adalah urusan dharma. Ia terjadi dengan dharma-yuddha, bukan dengan kudeta. Ia bukan perebutan kekuasaan, bukan perang seperti yang diceritakan orang barat, melainkan upacara besar yang dijalani dalam kadar-kadar semesta. Di sinilah, katanya, kita sering keliru membaca sejarah. Kita kira Ken Arok itu pembunuh, Ken Arok itu pengkhianat. Padahal, yang sedang terjadi bukanlah drama kriminal, tapi regenerasi peradaban. Tunggul Ametung tak benar-benar dibunuh, tapi dilepas dari tugasnya. Tumapel sedang menyiapkan tubuh baru untuk ruh yang lebih tinggi.
Kata Romo Manu, hampir tidak ada kerajaan di Nusantara ini yang benar-benar mati. Mataram tidak mati, ia menjelma. Majapahit tidak hancur, ia bertransformasi. Bahkan istilah “sirna ilang kertaning bumi” yang sering kita hafalkan sebagai tanda kehancuran Majapahit, ternyata baru ditulis ratusan tahun setelahnya oleh pujangga Kraton Surakarta bernama Ngabehi Kartoprojo. Majapahit sendiri, jika kita mau jujur, tidak pernah ada catatan betul-betul diruntuhkan. Ia menyelesaikan tugasnya, kemudian menyerahkan estafet ke penerusnya: Raden Patah, Demak, dan seterusnya.
Proses ini, dalam istilah Romo Manu, disebut sambandha. Ia adalah jembatan halus antar kerajaan, antar fase, antar ruh yang berpindah tubuh. Di dalam sambandha inilah berlangsung proses regenerasi yang kerap disalahartikan sebagai perang. Tapi tidak ada perang dalam pengertian modern. Tidak ada rebutan kekuasaan. Yang ada adalah dharma-yuddha, perang suci, perang yang tidak dijalani karena nafsu, tapi karena tuntutan semesta waktu.
Kalau diperhatikan, konsep sembilan raja ini bukan main-main. Setelah raja kesembilan, kerajaan harus berganti nama atau wujud. Kalau tidak, kekacauan akan datang. Ini yang menurut Romo Manu terjadi di Jawa modern. Surakarta, misalnya, sudah sampai ke Pakubuwono XIII. Jogja, Hamengkubuwono juga sudah lewat angka sembilan. Sistem atau namanya itu tetap diteruskan meskipun sebenarnya tidak ada artinya lagi. Maka wajar kalau energi spiritualnya semakin tumpul. Harusnya, kata Pak Manu, begitu raja ke-IX Jogja menyatakan ikut NKRI, sebetulnya kerajaan Jogja sudah mengalami pralaya, sudah terjadi regenerasi. Tapi itu semua tidak berjalan semestinya.
Dan mungkin, ini pula yang membuat kita hari ini seperti kehilangan arah. Karena tidak mengindahkan siklus yang sudah menjadi aturan-aturan peradaban kita sendiri. Kita menahan-nahan sesuatu yang harusnya sudah selesai. Kita tidak rela melepaskan, lalu menyebut perubahan sebagai pengkhianatan, padahal itu adalah bentuk lain dari kesetiaan pada nilai-nilai peradaban.
Kalau begitu, di mana posisi Indonesia sekarang?
Pertanyaan ini mengendap pelan dalam benak saya ketika mendengarkan uraian Romo Manu. Kalau setiap peradaban punya siklus sembilan, lalu mengalami regenerasi, apakah Indonesia juga begitu? Kita sudah melewati delapan presiden, dan yang ke-9 nanti apakah jadi penanda?
Sekarang kita berada di tikungan. Bukan di medan perang, tapi di senyap sejarah. Dan barangkali, zaman kesembilan yang disinggung Romo Manu itu bukan cuma untuk keraton-keraton saja. Bisa jadi, itu juga tentang kita. Tentang Indonesia. Tentang apa yang akan kita warisi setelah yang ke-9, dan tentang siapa yang siap memikul ruh yang belum tuntas.
Entah regenerasi itu akan terjadi secara spiritual, politis, atau budaya. Mungkin akan tenang seperti air meresap tanah, atau meletup seperti Merapi yang sedang kagungan kerso. Meskipun mungkin juga, regenerasi tidak terjadi, dan kehancuran akan merobek-robek usus kita.
Tapi satu hal yang pasti: anak-anak Maiyah mesti bersiap.
Kita tak bisa sekadar jadi penonton perubahan. Kalau benar Indonesia sedang atau akan memasuki pralaya, maka kita tak boleh gagap di tengah arus. Pralaya bukan kiamat, ia adalah pembuka jalan. Regenerasi bukan akhir, tapi pintu. Maka, mereka yang mengerti bahasa peradaban, yang tahu kapan harus ngegas kapan harus ngerem, kapan harus menahan dan kapan harus melampiaskan—akan jadi penjaga jalan.
Dalam konteks ini, anak-anak Maiyah sebetulnya telah mendapat bekal yang tidak diberikan oleh banyak sekolah atau lembaga resmi. Kita dibimbing cara membaca ruh zaman, berlatih menjadi ruang, membiasakan melihat dengan lingkar pandang, berlatih setia dengan kesejatian diri, bersyukur bahagia dalam setiap keadaan, dan selalu online bersama Allah.
Karena zaman sedang berputar. Ketika ia memutar tubuhnya, ia akan bertanya: siapa yang siap jadi generasi berikutnya?
Bismillah, anak Maiyah tidak akan menjadi korban sejarah, tapi jembatannya. Sebagaimana Sunan Kalijaga, sebagaimana Simbah—Emha Ainun Nadjib.
Bojonegoro, 6 Juni 2025 13.27 WIB