Pada minggu pagi menjelang siang, di sebuah gedung serbaguna Kecamatan Kembangtebu. Rohmat Klepon menghadiri pernikahan Edi Borek, sahabat kecilnya sejak bermain Tazos. Pernikahan itu sederhana dan cenderung mewah. Sederhana karena menu makan-nya biasa saja, tapi Difarina Indra dan Shinta Arsinta terlalu mewah untuk sebuah pernikahan. Terlihat begitu bahagia Edi Borek bersama pasangannya di pelaminan. Sampai di penghujung acara, bertemulah dua sahabat karib yang sudah tanpa tedeng aling-aling. Rohmat Klepon menghampiri Edi Borek.
Rohmat Klepon: “Cuk, selamat ya… sekarang udah sahhhhh.”
Edi Borek: “Terima kasih, cuk, buruan nyusul biar bisa wik-wik” (sambil memperagakannya).
Rohmat Klepon: “Bajingannnnn, Cah asssuuuuuu.”
Mereka berdua tertawa sambil berpelukan layaknya Dipsy dan Lala dalam serial Teletubbies.
Rohmat Klepon: “Aku belum siap, kebutuhanku masih banyak nanti aku selesain satu-persatu dulu.”
Edi Borek: “Sudahlah, tabrak wis… Rezeki wis ono sing ngatur**.”**
Rohmat Klepon tak merespon apa yang disampaikan Edi Borek. Akhirnya dua sahabat itu berpisah.
Edi Borek menjalani kehidupan baru dengan istrinya dengan hanya bermodal kalimat “rezeki wis ono sing ngatur”. Sedangkan Rohmat Klepon masih skeptis dan masih terus menggali apa maksud lebih panjang dari pesan kalimat tersebut. Rohmat Klepon dalam kesendiriannya menemukan apa yang selama ini diragukan, namun juga tidak lantas patuh buta. Ia pun sekarang lebih mantap menjalani hidup.
Beberapa minggu kemudian selepas Isya’. Rohmat Klepon dikunjungi manten anyar yang sekaligus teman main tazos-nya, Edi Borek.
Edi Borek: “Cuk, ada uang longgar gak? Aku boleh pinjam? Kebutuhanku lagi banyak.”
Rohmat Klepon: “Bentar tah, mbok sing santai. Duduk ngopi-ngopi dulu ya. Tenang, aku ada uang longgar kok.”
Edi Borek: “Aku pinjam dulu ya. Aku belum juga kerja, sedangkan istriku sudah banyak kebutuhan.”
Rohmat Klepon: “Iya, nanti aku ambilin, cuk. Lha, terus yang ngatur rezekimu kemana? Ngatur-nya salah po? Udah coba protes belum?”
Edi Borek: “Embuhlah, cuk. Pusing aku.”
Rohmat Klepon: “Ini menurut pandanganku aja yo, cuk. Belum tentu benar, bukan berarti salah juga. Soal rezeki sudah ada yang ngatur, aku percaya kok. Tapi bukan berarti kamu harus pasrah bongkokan gak ngapa-ngapain. Seperti halnya menanam pohon mangga, kamu tidak bisa memastikan apakah mangga itu akan tumbuh, tapi kamu harus memastikan potensi-potensi yang membuat mangga itu akan tumbuh. Ada sebagian yang harus kamu atur juga, cuk, sebagian lainnya pasrahkan pada Sang Maha Mengatur. Maka dari itu, ada konsep Ikhtiar dan Tawakal. Gusti Allah gak ngurusi awakmu tog.”
Edi Borek: “Kemudian mengenai rezeki sudah tertakar, bagaimana?”
Rohmat Klepon: “Ini menurut pandanganku juga lagi ya. Kamu boleh meyakini, kamu juga boleh tidak meyakini. Yang dimaksud tertakar itu emang yang sudah disiapkan oleh Gusti Allah untukmu. Dari seratus persen kamu mau ngambil berapa persen? Kalau usahamu mengambil jatah hanya tiga persen, jangan harap juga jatahmu seratus persen. Setiap orang memiliki hak mengambil jatahnya masing-masing sesuai usahanya masing-masing. Perlu diingat seratus persenmu belum tentu sama besar dengan seratus persen orang lain. Ada yang usahanya cuma sedikit tapi berlimpah harta, ada yang usahanya sampai basah sesempak-sempak ya segitu aja. Itu bukan sebuah masalah, yang penting usaha kita seratus persen dulu. Gak cuma mengusahakan uang saja, semua bentuk rezeki harus diusahakan”.
Edi Borek: “Maksude gimana, cuk?”
Rohmat Klepon: “Rezeki kan bukan hanya uang, cuk. Kesehatan, keluarga dan orang-orang yang menyayangi adalah bentuk rezeki juga. Mereka juga perlu diusahakan, menjaga kesehatan, berlaku baik dengan keluarga. Itu contoh kecilnya, cuk. Kalau tak sebutin semua, berbusa mulutku. Jadi intinya sambil mengusahakan seoptimal mungkin, rawat juga rasa syukurmu. Agar kamu selalu bergelimang haha.
Rohmat Klepon mengakhiri obrolan dengan memeluk Edi Borek, namun kali ini hanya Rohmat Klepon yang tertawa. Sementara Edi Borek masih belum plong, karena Rohmat Klepon belum memberikan uangnya untuk dipinjam.