ADA YANG LEBIH tua dari nama kita sendiri: rahim ibu. Sebelum dunia mengenal kita lewat akta kelahiran, sebelum sekolah meminta kita menghafal nama negara, sebelum kita disebut warga, pekerja, atau manusia sukses. Ada rahim ibu yang lebih dulu menyebut kita ‘anak’.
Di tempat itu, kita tidak dinilai dari nilai. Tidak diuji dari hafalan. Tidak diburu target. Tidak pula dipertanyakan manfaat. Di tempat itu, cukup hidup saja sudah cukup.
Rahim bukan sekadar ruang biologis. Ia adalah rumah pertama yang tak akan pernah terganti, bahkan setelah kita punya rumah sendiri. Ia adalah sunyi pertama yang kita tinggali, lalu rindu yang tak bisa kita sebutkan. Kita tidak pernah mengingat bagaimana rasanya sembilan bulan di sana, tapi tubuh kita seperti membawa kenangannya seumur hidup.
Kadang-kadang, dunia terlalu bising untuk mengingat dari mana kita datang. Kita sibuk mengejar pencapaian, mengepakkan ambisi, beradu suara dalam forum, mengutip tokoh-tokoh besar. Tapi semua itu tak pernah benar-benar menghapus suara yang paling awal kita dengar: detak jantung ibu.
Ibu tidak selalu tahu caranya mendidik anak. Tapi ia tahu caranya menahan lapar agar kita kenyang. Ia mungkin tak pernah membaca buku parenting, tapi ia bisa mendeteksi suhu tubuh kita hanya dengan menempelkan tangan ke dahi. Ia tak pernah kuliah keuangan, tapi ia bisa membuat uang seratus ribu cukup untuk makan lima hari.
Ibu adalah guru besar dari universitas kehidupan yang tak mengeluarkan ijazah. Tapi justru karena itu, ia mengajari kita hal-hal yang tak diajarkan sekolah: cara menyikapi kehilangan, bagaimana mengalah tanpa merasa kalah, dan bagaimana bertahan meski nyaris tak punya apa-apa.
Dunia sering kali hanya mencatat yang hebat-hebat. Tapi ibu tidak pernah butuh pengakuan untuk menjadi luar biasa. Ia tidak menunggu pengangkatan untuk mulai bekerja, tidak menunggu ucapan terima kasih untuk tetap memberi. Ia memberi tidak karena ingin dihormati, tapi karena tidak bisa tidak.
Kita sering kali menyebut cinta, tapi lupa kepada siapa kita pertama kali dicintai tanpa syarat. Kita fasih membahas revolusi, tapi lupa bahwa perubahan pertama dalam hidup kita justru dilakukan oleh seorang ibu yang mengganti popok kita setiap hari, tanpa seremoni.
Rahim ibu bukan hanya tempat awal hidup dimulai, tapi tempat di mana nilai-nilai paling dasar manusia ditanam: kasih, sabar, pengorbanan, dan diam-diam. Tidak ada spanduk. Tidak ada tepuk tangan. Hanya ketekunan yang terus-menerus, hari demi hari, bahkan ketika kita tumbuh dan mulai lupa.
Mungkin itu sebabnya doa ibu sering lebih mujarab daripada rencana kita. Ia bukan sekadar berharap yang terbaik, tapi menginginkan kita hidup dengan cara paling benar: dengan cukup makan, cukup istirahat, dan tidak menyakiti orang lain.
Hari ini, ketika kita telah pergi jauh dari pangkuannya, entah ke kota, ke ambisi, ke tanggung jawab. Kadang yang kita cari bukan rumah, bukan uang, bukan kemenangan. Tapi sesuatu yang terasa seperti dulu: sepasang mata yang menatap dengan tulus, suara lembut yang menenangkan, dan tangan yang tak banyak bicara tapi selalu ada saat dibutuhkan.
Itu semua barangkali tidak akan pernah kita temukan lagi secara utuh, selain dalam ingatan yang samar, atau dalam peluk ibu yang mulai renta.
Di tengah dunia yang serba tergesa dan saling mengadili, rahim ibu adalah simbol terakhir dari tempat yang memaafkan kita, bahkan sebelum kita sempat minta maaf. Untuk semua itu, tidak ada kata yang cukup. Mungkin, tulisan ini pun belum cukup, karena cinta ibu terlalu senyap untuk diucapkan, terlalu luas untuk dikecilkan ke dalam kalimat.
Tapi mungkin diam yang penuh syukur, dan hidup yang dijalani dengan baik, bisa menjadi satu-satunya cara membalasnya.