Dalam forum Reboan, Iwan, penggiat yang sudah lama tidak hadir menyampaikan pendapat bahwa setiap orang memiliki perjalanan hidupnya masing-masing, termasuk dalam hal bersyukur. Syukur adalah puncak dari kesadaran, dan karena itu, kita tidak bisa memaksa atau mengajarkan syukur secara step by step pada orang lain. Pengalaman syukur setiap orang berbeda-beda, tergantung pada tingkat kesadaran dan pemahaman masing-masing.
Tapi rasanya tidak salah juga jika cara atau pengalaman bersyukur diuraikan dalam catatan ini. Siapa tahu pengalaman atau konsep yang disajikan bisa relate dengan kondisi yang dialami pembaca. Kalaupun belum, siapa tahu bisa menjadi bekal jika suatu saat nanti menghadapi kondisi yang serupa. Pun kalau ternyata tidak terjadi, harusnya membaca ini saja sudah dicatat sebagai amal baik karena sudah berniat untuk mempelajari apa dan bagaimana syukur itu.
Bersyukur adalah sebuah sikap yang tidak boleh bergantung pada situasi atau pencapaian tertentu. Sebagaimana disampaikan oleh Mbah Nun bahwa untuk bersyukur, manusia harus berdaulat. Manusia yang berdaulat artinya tidak perlu membandingkan diri dengan orang lain untuk merasakan syukur. Syukur harus menjadi respons aktif terhadap nikmat Allah, bukan sekadar perasaan yang timbul karena menerima sesuatu. Mbah Nun sering mengingatkan bahwa bersyukur tidak harus menunggu sesuatu terjadi; bersyukur ya bersyukur, kapan saja dan dalam kondisi apa pun.
Dalam lingkup kehidupan sehari-hari, syukur bisa diwujudkan dalam tindakan nyata, salah satunya dengan bekerja. Bekerja bukan hanya untuk mendapatkan hasil, tetapi sebagai bentuk penghormatan terhadap nikmat kesehatan, kesempatan, dan kemampuan yang telah diberikan Allah. Ketika tubuh masih sehat dan bugar, memilih untuk beraktivitas dan berkarya adalah bentuk syukur. Sebaliknya, jika kita hanya berdiam diri dan tidak memanfaatkan nikmat yang ada, maka kita belum benar-benar bersyukur. Baru ketika sakit dan kehilangan kemampuan untuk bekerja, kita sering kali menyadari betapa berharganya kesehatan yang sebelumnya dimiliki.
Dalam forum yang sama, Rizal juga menyampaikan bahwa salah satu cara bersyukur yang belakangan ini sering dikampanyekan adalah menulis gratitude journal, meluangkan waktu 5–10 menit setiap malam untuk menuliskan tiga hal yang disyukuri hari itu. Gratitude yang dimaksud di sini sebenarnya memiliki spektrum yang sangat luas. Namun, seperti yang Fahmi tambahkan hari itu, kebanyakan hanya diartikan sebagai sesuatu yang berbentuk materi. Ada orang yang memiliki harta melimpah tetapi tidak merasa cukup, sementara ada yang hidup sederhana tetapi merasakan ketenangan yang luar biasa. Rasa syukur bukan hanya berterima kasih, tetapi melibatkan pembangunan mental syukur. Mbah Nun pernah menyampaikan bahwa jika memiliki uang 10.000 dianggap cukup, maka 5.000 pun bisa dicukup-cukupkan. Artinya, bukan jumlahnya yang menentukan kebahagiaan, tetapi bagaimana kita memaknai dan mensyukuri apa yang kita miliki.
Syukur juga bisa diwujudkan dengan memberikan manfaat kepada orang lain. Dalam Islam, manusia terbaik adalah anfauhum linnas, yang bisa bermanfaat bagi sesama. Tetapi kembali lagi, manfaat sering kali dipahami hanya dalam bentuk material, padahal ada banyak aspek intangible yang bisa disebarkan sebagai kebaikan kepada orang lain, seperti ilmu, waktu, perhatian, atau bahkan sekadar berbagi senyuman. Jika kita melihat syukur sebagai kewajiban untuk berbagi kebaikan, maka hidup akan terasa lebih indah dan bermakna.
Selain itu, sudut pandang juga berperan dalam bagaimana seseorang melihat dan merasakan syukur. Kembali ke konsep atrofi yang disampaikan oleh Pram, bahwa jika kita terbiasa menyia-nyiakan nikmat yang diberikan, maka kepekaan kita terhadap rasa syukur akan melemah. Ini bisa diibaratkan seperti atrofi otak—jika tidak dilatih dan digunakan, kemampuannya akan menyusut. Oleh karena itu, menjaga pola pikir yang positif dan selalu mengasah kesadaran akan nikmat adalah cara agar kita tidak kehilangan rasa syukur.
Bersyukur setiap hari sekalipun tidak akan pernah cukup untuk membalas segala nikmat yang telah Allah berikan, karena karunia-Nya tak terbatas dan tak terhitung. Di Malam Kenduri Cinta, Ustaz Nurshofa mengingatkan kita melalui kisah Nabi Daud yang bertanya, “Ya Allah, bagaimana hamba bisa bersyukur? Padahal, kemampuan untuk bersyukur itu sendiri sudah merupakan nikmat dari-Mu.” Hal ini menunjukkan bahwa bahkan kesadaran untuk bersyukur adalah anugerah yang patut kita syukuri. Setiap hela napas, detak jantung, dan setiap nikmat yang kita rasakan, semuanya adalah bukti kasih sayang Allah yang tak terhingga.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering terjebak dalam perasaan bahwa dunia berpusat pada diri kita sendiri. Ini membuat kita sulit melihat hikmah di balik setiap peristiwa, termasuk dalam hubungan dengan orang lain. Misalnya, ketika merasa disakiti oleh orang tua atau orang lain, kita cenderung melihatnya sebagai sesuatu yang hanya berdampak pada diri sendiri, padahal di balik itu ada pelajaran yang bisa diambil. Bakti kepada orang tua, misalnya, bukanlah semata-mata karena jasa mereka, tetapi juga karena itu adalah perintah Allah. Kesadaran akan hal ini dapat menjadi bentuk syukur tersendiri.
Bersyukur juga harus diimbangi dengan ikhtiar. David Nurbianto, yang pertama kali hadir di forum Kenduri Cinta, berpesan bahwa kita tidak boleh terlalu pasrah dan merasa cukup hingga melupakan usaha untuk memperbaiki diri. Sebaliknya, jangan pula terlalu sibuk mengejar sesuatu hingga lupa untuk bersyukur atas apa yang telah dimiliki saat ini. Dalam dunia yang semakin modern dan penuh tantangan, sering kali kita terlena dan lupa bahwa kita sudah memiliki banyak hal yang patut disyukuri. Sebagai contoh, Jakarta dulu dikenal sebagai hutan pohon, tetapi kini berubah menjadi hutan beton. Konon, kebanyakan orang Betawi zaman dulu tidak mengeluh tentang banjir yang beberapa kali terjadi karena mereka memahami kondisi geografis Jakarta yang lebih rendah dari pada Bogor. Bahkan sepertinya, legenda Si Pitung yang bisa berjalan di atas air tercipta karena orang zaman dulu sudah memprediksi banjir yang akan semakin sering terjadi di Jakarta.
Syukur adalah sesuatu yang fundamental dalam hidup. Ansa memberikan pemisalan jika kita harus membayar untuk bisa bernapas, makan, dan menikmati kehidupan, berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan? Kenyataan bahwa kita masih bisa melakukan hal-hal sederhana ini tanpa harus memikirkan biayanya adalah nikmat yang luar biasa. Anggap saja itu hutang kita pada Allah yang tidak mungkin terbayar. Oleh karena itu, salah satu cara terbaik untuk mensyukuri hidup adalah dengan menjadi manusia yang dapat mendayagunakan segala nikmat Allah untuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Sebab, dalam memberi dan berbagi, kita akan menemukan kebahagiaan yang lebih besar.
Kesadaran akan syukur bisa datang dari berbagai pengalaman hidup. Ada orang yang mengalami kesulitan bertahun-tahun tetapi tetap tidak menemukan kebahagiaan karena tidak menyadari nikmat yang sudah dimiliki. Ada pula yang diberi ujian justru akhirnya membuka pikirannya terhadap hal-hal yang sebelumnya tidak disadari. Syukur tidak bisa diajarkan secara langsung, tetapi harus muncul dari kesadaran pribadi. Oleh karena itu, penting untuk selalu mencari hikmah di balik setiap kejadian dan mengarahkan hati serta pikiran menuju rasa syukur.
Pada akhirnya, bersyukur adalah sebuah perjalanan, bukan tujuan akhir. Untuk memulai perjalanan ini, kita bisa memulai dengan hal-hal sederhana seperti menulis gratitude journal , berbagi manfaat dengan orang lain, atau meluangkan waktu untuk merenungkan nikmat-nikmat kecil dalam hidup. Kita mungkin tidak akan pernah mencapai titik di mana kita merasa sudah benar-benar bersyukur dalam segala hal, tetapi usaha untuk terus mengingat dan menghargai nikmat yang ada adalah bagian dari perjalanan tersebut. Dengan terus berusaha untuk bersyukur, kita dapat menjalani hidup dengan lebih bermakna dan berbahagia. (RedKC/Haddad)