MALAM ITU turun pelan, seperti kabut yang menyusup tanpa disadari. Di sebuah ruang kerja yang dipenuhi aroma kertas tua dan cahaya lampu kuning yang lembut, Ratna Prameswari duduk sendirian. Di hadapannya, berlembar-lembar laporan makroekonomi menumpuk: grafik pertumbuhan yang naik-turun bagai detak jantung, tabel inflasi pangan yang semakin panjang, serta proyeksi neraca pembayaran yang tampak kian rapuh. Ia menghela napas pelan.
Puluhan tahun ia telah menjadi penjaga angka-angka itu. Dari krisis finansial Asia di akhir 1990-an hingga gejolak pandemi dua dekade kemudian, ia selalu hadir di ruang keputusan. Pers menyebutnya arsitek fiskal, sementara rakyat awam mengenalnya hanya sebagai “menteri yang pandai menahan badai”. Namun di balik semua gelar itu, Ratna merasakan sesuatu yang mengganjal, sebuah kelelahan yang tidak bersumber dari tubuh, melainkan dari pikirannya sendiri.
Setiap kali menghadapi persoalan baru, refleksnya adalah membuka kembali resep-resep lama—kebijakan yang pernah menyelamatkan negeri ini dari jurang. Subsidi terukur, pengetatan defisit, diplomasi utang. Semua ia hafal, semua ia kuasai. Namun, seperti gema yang berulang, jawaban-jawaban itu semakin terasa kaku. Dunia telah berubah, pandemi melahirkan inflasi pangan global, perang dagang merusak rantai pasok, geopolitik mencabik pasar energi. Sementara langkah-langkah yang dulu mujarab, kini justru seperti mantra usang.
Ratna pernah membaca sebuah artikel akademik dalam penerbangan panjangnya ke Washington: Bilalić, McLeod, dan Gobet (2008) menyebut fenomena ini inflexibility of experts. Eric Dane (2010) menamainya cognitive entrenchment. Semakin ahli seseorang, semakin ia terikat pada pola lama, hingga imajinasi perlahan tergerus. Ia tersenyum getir. Barangkali, justru karena terlalu lama menjaga angka-angka itu, kini ia sendiri mulai terpenjara olehnya.
Dalam sunyi, ia teringat Keynes yang pernah berkata, “Praktisi yang menganggap dirinya bebas dari pengaruh intelektual sering kali hanyalah budak dari seorang ekonom yang sudah lama wafat.” Kalimat itu menusuk. Ia merasa dirinya yang selama ini dipuja sebagai pengambil keputusan visioner, pada hakikatnya hanya pengulang dari tradisi yang diwariskan.
Ekonomi makro bukanlah ruang untuk nostalgia. Ia adalah arena pergeseran terus-menerus, di mana data hari ini bisa meniadakan teori kemarin. Ratna paham bahwa institusi hanya bisa bertahan jika sanggup menyesuaikan diri dengan perubahan. Institusi itu, termasuk kementerian yang dipimpinnya, tak mungkin bertahan bila terus bergantung pada satu orang, betapa pun ahli orang itu.
Beberapa minggu terakhir, isu pergantian menteri keuangan semakin kencang. Ratna membacanya di koran, mendengarnya di lorong-lorong istana, bahkan dalam nada hati-hati para koleganya sendiri. Publik mungkin menafsirkannya sebagai intrik politik. Namun Ratna tahu, ini adalah mekanisme alamiah untuk memutus siklus paradoks. Sebab seorang ahli, betapapun cerdas, lambat laun akan menghadapi titik jenuh di mana pengalaman justru menjadi batas.
Di kursi itu, ia teringat percakapan terakhir dengan Presiden. “Bu Ratna,” kata sang kepala negara, “kebijakan bukan hanya tentang benar atau salah. Kadang kita butuh orang baru yang sanggup melihat dengan cara berbeda.” Ratna menahan napas. Kalimat itu sederhana, tapi ia tahu artinya: waktunya sudah dekat.
Lalu datanglah pergulatan batin yang paling berat. Bagaimana menyerahkan sesuatu yang sudah menyatu dengan dirinya? Bagaimana melepaskan kendali dari angka-angka yang telah ia jaga seperti anak sendiri? Ia sadar, keberanian sejati bukanlah bertahan selamanya, melainkan mengetahui kapan harus memberi jalan. Seperti seorang pelukis yang tahu kapan harus berhenti menambah warna agar kanvas tetap hidup.
Jarum jam menunjukkan lewat tengah malam. Ratna menutup laptopnya, lalu mengambil selembar kertas kosong. Dengan tangan yang bergetar halus, ia menulis satu kalimat:
“Bahkan ahli pun pada akhirnya harus belajar kembali.”
Ia menatap tulisan itu lama, seakan ingin mengukirnya ke dalam dirinya sendiri.
Esok pagi, berita akan beredar: menteri keuangan diganti. Ada yang resah, ada yang lega. Sebagian akan mengenangnya sebagai teknokrat ulung, sebagian lain akan mengkritiknya. Tetapi di ruang itu, hanya Ratna yang tahu, bahwa keputusannya bukanlah soal jabatan semata. Ini adalah cara agar negeri ini tetap bergerak, agar pengetahuan tidak membatu, agar generasi berikutnya punya ruang untuk menantang dogma lama.
Di bawah cahaya lampu yang mulai meredup, Ratna tersenyum tipis. Ia paham kini, keahlian bukanlah warisan abadi, melainkan beban yang harus diserahkan agar kehidupan terus menemukan jalannya.