Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Esensia

Menyeka Wajah Zaman dengan Kesunyian

Mukhammad Rizal by Mukhammad Rizal
June 1, 2025
in Esensia
Reading Time: 3 mins read
Menyeka Wajah Zaman dengan Kesunyian

Dalam keriuhan dunia yang dipenuhi hiruk-pikuk ambisi dan klaim kebenaran, ada jalan yang jarang dipilih: jalan sunyi kebudayaan. Sebuah jalan yang tak menawarkan sorotan kamera, tak menjanjikan kekuasaan, dan bahkan kerap kali tak dianggap penting oleh dunia yang tergesa-gesa. Tapi justru di jalan sunyi inilah denyut nadi bangsa kerap dijaga, pelan-pelan, tanpa pamrih, dan tanpa sorotan. Bukan suara yang keras yang mampu mengubah zaman, melainkan kehadiran yang konsisten, meskipun tak bersuara. Bukan wacana yang penuh jargon yang membangun bangsa, melainkan kesediaan untuk duduk bersila bersama petani, nelayan, pedagang kaki lima, anak-anak jalanan, dan kaum marginal lainnya. Dari lumbung padi yang retak hingga emperan stasiun yang pengap, dari panggung-panggung kecil di pelosok hingga majelis-majelis jalanan, seluruh ruang menjadi saksi bisu sebuah komitmen pada kemanusiaan.

Di masa ketika jargon perubahan menjadi komoditas politik, suara yang merawat bangsa dengan budaya menjadi semakin langka. Bukan karena tak ada, tapi karena tak ingin menyaingi kebisingan. Kesunyian dipilih bukan karena takut bersuara, tapi karena percaya bahwa gema yang paling jernih adalah yang muncul dari batin yang bersih. Kebudayaan, dalam kesunyian seperti itu, menjadi perlawanan yang paling dalam. Ia bukan sekadar alat, melainkan napas yang menghidupi kehidupan. Jejak itu sudah ada sejak puluhan tahun silam. Ketika kekuasaan membungkam, ketika rakyat tak lagi punya tempat bersandar, jalan sunyi kebudayaan hadir sebagai pelipur dan pelawan. Reformasi mungkin diingat dari layar kaca dan pidato-pidato, tapi sejarah yang lebih sunyi terjadi di tanah-tanah rakyat. Ketika suara-suara marginal diberi ruang, ketika puisi menjadi senjata, dan musik menjadi doa.

Tak sedikit peristiwa yang menandai peran penting jalan sunyi ini. Dari Kedung Ombo hingga reformasi 1998, suara-suara yang tak ingin terdengar justru menjadi benih kesadaran kolektif. Tak mengatasnamakan siapa-siapa, tak mengklaim kebenaran. Hanya menyuguhkan cermin, agar bangsa bisa menatap wajahnya sendiri.

Namun suara yang sunyi itu tak pernah benar-benar diam. Ia menjelma dalam laku keseharian, dalam gerakan yang membaur bersama rakyat, dalam pengorbanan yang tak tercatat, dan dalam tawa yang ditukar dengan air mata. Kebudayaan bukan lagi sebuah wacana tinggi di ruang seminar, melainkan sawah yang digarap bersama, panggung kecil yang dihidupkan, dan nilai-nilai hidup yang terus dijaga.

Ketika banyak yang bergegas menuju pusat kekuasaan, jalan sunyi kebudayaan justru menyusuri pinggiran. Dari pasar tradisional hingga jalanan desa, dari musala kecil hingga halaman sekolah, ruang-ruang kecil itu menjadi tempat paling subur bagi benih-benih kesadaran untuk tumbuh. Tak ada penonton, tak ada pendanaan besar, hanya satu hal yang dibawa: cinta.

Cinta yang tidak retorik, tidak ditukar dengan suara, dan tidak dipasarkan sebagai citra. Cinta yang tak membutuhkan panggung, karena panggung sejatinya adalah penderitaan rakyat yang harus diseka dengan air mata dan peluh. Inilah cinta yang bekerja dalam diam, tak sibuk menjelaskan diri, tak risau tentang pengakuan.

Kini, ketika dunia kembali sibuk membelah diri antara yang konon benar dan salah, jalan sunyi itu tetap ada. Mungkin tak tampak. Mungkin sengaja ditiadakan dari percakapan. Tapi bagi yang mau menyelam, akan ditemukan bahwa suara yang paling tulus adalah yang tak ingin didengar, hanya ingin dirasakan.

Di tengah zaman yang menawarkan panggung selebritas dan gelar kehormatan, jalan sunyi kebudayaan tetap menolak tepuk tangan. Tak ada kostum pahlawan, tak ada serban kebesaran. Hanya langkah kaki yang sabar, mengunjungi kampung demi kampung, memeluk luka satu per satu, dan diam-diam merawat harapan.

Karena sejarah yang sejati bukan ditulis oleh pemenang, tetapi oleh yang setia menjaga makna dalam kesunyian. Jalan sunyi kebudayaan adalah laku seumur hidup. Ia menolak kerasnya kekuasaan, menolak riuhnya panggung, dan menolak keras klaim bahwa kebenaran hanya milik segelintir orang. Justru dari kesunyian itu, suara kemanusiaan lahir kembali.

Dan ketika bangsa ini nyaris kehilangan wajahnya sendiri, jalan sunyi kebudayaan datang bukan dengan tuntutan, melainkan dengan pelukan. Bukan dengan pidato, tapi dengan doa. Bukan dengan bendera, tapi dengan sajadah kesadaran yang terbentang dari lumbung padi hingga pojok kampung. Tempat di mana air mata tak perlu disembunyikan, dan harapan boleh tumbuh kembali.

SendTweetShare
Previous Post

Mbah Nun dalam Semayam Perjalanan Kami

Next Post

The Sunk Cost Dilemma dalam Sebuah Hubungan

Mukhammad Rizal

Mukhammad Rizal

Related Posts

Keheningan Negara dan Tolak Ukur Kearifan
Esensia

Keheningan Negara dan Tolak Ukur Kearifan

June 26, 2025
Cerita Ruang Ketiga di Kenduri Cinta
Esensia

Cerita Ruang Ketiga di Kenduri Cinta

June 25, 2025
Jejak Kalijaga, Cak Nun dan Maiyah
Esensia

Jejak Kalijaga, Cak Nun dan Maiyah

June 24, 2025
Berdekatankah Kita?
Esensia

Berdekatankah Kita?

June 23, 2025
Intermezzo: Drone Tiba-Tiba Jatuh
Esensia

Intermezzo: Drone Tiba-Tiba Jatuh

June 22, 2025
Rahim Ibu
Esensia

Rahim Ibu

June 21, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta