Dalam kehidupan kita, kata ‘estafet’ sering kali terasosiasi dengan dunia olahraga, pergantian kekuasaan, atau warisan kekayaan, yang berfokus pada aspek fisik atau materi. Namun, dalam konteks spiritual dan sosial, estafet memiliki makna yang lebih dalam dan luas, melibatkan tidak hanya jasad tetapi juga rohani. Ini adalah salah satu ajaran yang diungkap dalam ilmu Maiyah, yang selalu mengedepankan hubungan antara jasad dan rohani, memperlihatkan bahwa estafet bukan hanya berlaku dalam satu alam, tetapi juga menghubungkan dunia fisik dengan dunia arwah. Konsep dasar dari ‘estafet’ sebenarnya sangat erat kaitannya dengan staffing atau pemberian tugas, yang lebih dari sekadar pergantian fisik, melainkan sebuah sirkulasi kehidupan yang melibatkan nilai-nilai luhur.
Di malam Kenduri Cinta, Hadi menjelaskan bahwa pada tahun 2022, setelah masa pandemi, sebuah tema penting pernah diangkat dalam Kenduri Cinta pertama kali kembali diselenggarakan di TIM, yakni Kalibrasi Syukur. Kalibrasi, sebagai alat untuk mengukur, digunakan untuk menilai syukur yang sudah banyak dijelaskan sebelumnya. Syukur sering kali dipahami hanya sebagai kata kerja atau ungkapan rasa terima kasih. Namun, dalam pembahasan yang lebih dalam, syukur sejatinya adalah kata budaya, yang mencakup nilai dan praktik kehidupan yang harus dijalankan dengan penuh kesadaran. Setelah memahami makna syukur, muncul pertanyaan besar: apakah syukur hanya perlu di lakukan di satu titik? Ternyata, syukur harus lebih dari itu, syukur adalah sebuah siklus yang harus terus bergerak, diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dari sinilah tercetus judul Estafet Syukur.
Estafet syukur adalah konsep yang mengajak kita untuk tidak hanya berhenti pada satu titik waktu, tetapi menjadikannya sebagai suatu gerakan yang terus berlanjut. Sering kali kita hanya bersyukur saat menerima kenikmatan atau rezeki. Namun, bagaimana dengan saat kita menghadapi kesulitan atau musibah? Bukankah itu juga saat yang tepat untuk bersyukur? Sebagaimana yang disampaikan oleh Mbah Nun, ridho Allah hanya bisa diperoleh ketika kita menerima takdir-Nya dengan lapang dada, baik dalam suka maupun duka.
Ustaz Nurshofa menjelaskan doa Nabi Sulaiman dalam Surat Al-Ahqaf ayat 15 mengilustrasikan dengan sangat baik bagaimana estafet syukur itu berjalan: “Rabbi auzi’ni an asykura ni’matakal-lati an’amta ‘alayya wa ‘ala walidayya.” Nabi Sulaiman memohon kepada Allah untuk diajarkan cara bersyukur atas nikmat yang diberikan kepadanya dan orang tuanya. Dengan demikian, syukur adalah sesuatu yang dinamis dan harus diteruskan, tidak hanya dalam bentuk kata-kata, tetapi juga dalam tindakan nyata yang terus mengalir antar generasi.
Pentingnya estafet syukur ini semakin jelas ketika kita melihat betapa banyak nilai luhur yang perlahan mulai terkikis oleh waktu. Dalam forum Reboan, Fahmi memberikan contoh bahwa di Jepang, bahasa dan aksara yang digunakan bukan sekadar alat komunikasi, tetapi simbol harga diri dan identitas budaya. Ironisnya, di Indonesia, meskipun anak-anak diajarkan bahasa Inggris sejak kecil, banyak yang tidak mengenal aksara daerah mereka. Budaya lokal tidak pernah diajarkan sebagai bagian inti dari kurikulum, hanya menjadi muatan lokal dengan jam pelajaran terbatas. Generasi muda sering kali kurang memahami warisan budaya yang dimiliki. Pelajaran sejarah misalnya, hanya berhenti pada hafalan kerajaan pertama di Indonesia, nama-nama raja, atau tahun kerajaan berdiri. Justru nilai-nilai yang membawa kerajaan-kerajaan ke masa jayanya sangat jarang dibahas. Bukankah untuk mengenal Allah kita perlu mengenal diri sendiri? Kita seharusnya merasa bangga dengan warisan budaya kita dan tidak merasa inferior terhadap bangsa lain. Ketika kita bersyukur, kita harus menyadari bahwa kita diberkahi dengan kekayaan spiritual dan budaya yang luar biasa.
Dalam konteks Indonesia, para founding fathers bangsa Indonesia telah memberi contoh yang sangat baik tentang bagaimana seharusnya kita bersyukur. Dalam pembukaan UUD 1945, dituliskan dengan jelas: “Atas berkah rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Namun, pertanyaannya adalah, apakah kita sebagai generasi penerus sudah benar-benar mewarisi rasa syukur yang sama? Estafet syukur bukan hanya konsep teoretis, tetapi harus diwujudkan dalam kehidupan nyata, salah satunya dengan mengikuti shirotolmustaqim. Secara sederhana, shirotolmustaqim diartikan sebagai ‘jalan yang lurus’. Padahal, sebenarnya shirotolmustaqim dijelaskan dalam Surat An-Nisa ayat 69, yaitu jalan yang ditempuh oleh nabiyyin (para nabi), siddiqin (orang-orang yang benar), shuhada’ (orang-orang yang mati syahid), dan shalihiin (orang-orang yang saleh). “Kedatangan kita ke Kenduri Cinta atau simpul Maiyah lainnya, minimal mempertemukan kita dengan golongan shalihiin,” jelas Nanda.
Pembahasan Estafet Syukur dalam forum Reboan mengingatkan Ian pada pengalamannya ketika ziarah ke makam Syekh Asmoroqondi, di Tuban. Ada sebuah gapura yang harus dilewati ketika memasuki kompleks makam. Di gapura itu tertulis 3 kata: sabar, neriman, dan ngalah. Menurut Syekh Asmoroqondi, sabar adalah langkah awal menuju kesadaran sehingga sangat wajar jika di level ini masih banyak selingan keluh-kesah. Neriman adalah tahap berikutnya, di mana kita belajar untuk menerima segala kondisi di luar kendali kita, membebaskan diri dari “racun” emosi. Dan yang paling tinggi adalah ngalah, di mana kita melepaskan ego dan menyerahkan segala urusan kepada Allah. Ketiga prinsip ini—sabar, neriman, dan ngalah—merupakan manifestasi nyata dari estafet syukur, yang harus kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.Kenduri Cinta, sebagai forum yang juga melestarikan budaya, adalah contoh dari upaya untuk mencerdaskan dan menumbuhkan rasa syukur. Di sini, kita tidak hanya belajar untuk bersyukur, tetapi juga untuk menularkan nilai-nilai positif kepada orang lain. Semoga melalui forum-forum seperti ini, estafet syukur tidak hanya menjadi milik individu atau kelompok tertentu, tetapi menjadi gerakan kolektif yang dapat memperkuat peradaban bangsa. Estafet syukur adalah jalan yang harus kita teruskan, dari satu generasi ke generasi berikutnya, agar hidup ini senantiasa dipenuhi dengan berkah dan keberkahan yang tiada henti. (RedKC/Haddad)