Mungkin belum banyak tempat dan kota yang pernah kusinggahi. Namun, ada suatu tempat yang telah lama tak kutemui; tempat itulah yang membuat hatiku tersentuh, bahkan menjadi perjalanan spiritual yang akhirnya menautkan ku kembali.
Bermula dari ketidaksengajaan, datang tanpa ada niat yang bermacam-macam. Duduk di atas hamparan karpet sederhana, menyatu dengan banyak manusia. Sungguh, romantisme sederhana itulah yang menyegarkan tenggorokan yang tengah kering dan meneguhkan hati untuk senantiasa meyakini apa yang tengah Pencipta siapkan.
Sekitar satu tahun yang lalu, diri ini memantapkan langkah untuk kembali ke ruang sunyi yang penuh kegembiraan. Maiyah yang kukenal sejak 2019, menyatu dengan frekuensi yang kucari. Tanpa mengejar eksistensi, Maiyah khidmat dalam memperteguh dan memperjuangkan nilai yang selama ini sudah tenggelam oleh pesatnya zaman.
Jejak, keteguhan, dan kasih sayang Mbah Nun bersemayam di hati siapapun. Mbah Nun dikenal sebagai sosok yang tegas nan pemberani. Lebih dari itu, beliau amat istikamah menanam nilai-nilai yang hilang ditelan elit zaman. Narasi kritisnya setajam bilah pedang yang mencoba memutus kerisauan. Keresahan anak cucunya bahkan ia obati dan pijeti tanpa mengenal siapa dan apa latar belakang mereka.
Siapa pun akan menetap, dan setiap manusia yang tengah tersesat akan merapat. Sebab, Maiyah tak memberatkan segala yang manusia emban, justru mengobati serta menerbitkan kembali cita yang sempat padam untuk memaksimalkan hidup di tengah kekacauan.
Meski saat kembali tak dapat melihat beliau secara langsung, diri ini tetap hadir karena ketidakmampuan serta ketidaktahuan. Hal itu memperkuat diri ini untuk senantiasa berlabuh kembali. Tak ada keinginan apapun selain memaksimalkan cinta kasih kepada Sang Maha Kasih dan merajut rasa kepada sosok panutan anak cucu.
Banyak yang bertarung hebat memperebutkan tahta dan menebar kebencian tanpa memikirkan konsekuensi. Banyak pula yang meminta nasihat Mbah Nun, namun berujung melukai. Meskipun kulit tak lagi muda dan wajah masih terlihat tegas meski termakan usia, jejaknya senantiasa melekat. Mbah Nun tetap membuka ruang meskipun yang datang banyak membawa sajam bahkan parang.
Usia yang sudah memasuki senja, 72 tahun perjalananmu sangat membekas di hati kami, Mbah. Simpul-simpul yang berupaya hidup ditengah ketidakhadiranmu sungguh mengajarkan kami banyak arti untuk selalu kuat berdiri di kaki sendiri. Sebab, spirit doamu bersemayam di relung hati kami yang bahkan lupa kami sirami. Kekuatanmu senantiasa turut utuh membersamai perjalanan kami, hingga kami berupaya bangkit di tengah kondisi yang makin terombang-ambing. Kini semakin terlihat apa yang telah engkau tuturkan dan ingatkan.
Mbah, disetiap perjalanan yang kami jalani terselip kerinduan, dipenuhi kekaguman beriring kegembiraan. Kami meyakini ruhmu senantiasa hadir dibawah sinar rembulan, sebab selalu datang angin segar yang menenangkan kami setiap hadir di lautan Maiyah.
Tujuh puluh dua tahun telah berlalu. Telah engkau lalui macam-macam situasi; dari yang dibenci hingga dicintai, dari tak dihargai kini amat disegani. Meski masih banyak pembenci, engkau bahkan tetap menebar cinta kepada siapa pun, Mbah. Kelembutanmu banyak mengajarkan kami di tengah kekakuan hati kami. Di antara kepahitan yang kami lalui, engkau selalu menyirami dengan kalimat yang tak menghakimi.
Sosok teladan yang tak lekang zaman, meski kini engkau tengah bersemayam pada sunyi. Hadirmu tak pernah dilupa di pijakan bumi mana pun. Selamat bertambah usia, Mbah. Izinkan kami senantiasa bertaut dan melangitkan namamu pada malam yang tak henti kami jalani.