LELAKI ITU lahir di sebuah dusun kecil. Di kaki Gunung Slamet, tepatnya Desa Mandiraja Kecamatan Moga Kabupaten Pemalang Jawa Tengah. Dia berbahagia dan bersyukur adanya komunitas “SaLaMan” (Sinau Lampah Mandiraja) sebagai tempat kongkow lintas generasi, sinau dan ngobrol bareng, rest and relax, diskusi, berbagi cerita, berbagi ilmu yang lingkup tema bulanannya selalu berbeda. Baik bersifat lokal, nasional atau internasional. Bahkan bisa juga yang supranatural dan alam gaib, yang dalam dunia Islam kita meyakini adanya alam tersebut. Biasanya pelaksanaan acara SaLaMan di Pendopo Balai Desa Mandiraja.
Saat masa kanak-kanak, lelaki itu pernah terjatuh di halaman Mushola Baitul Izzah Mandiraja. Menangis, tersungkur, berdarah dan luka di pelipis sebelah kiri. Ibunya kaget, menolong penuh kasih membawa lelaki itu ke rumah dan bapaknya memberi getah pelepah daun pisang. Redalah darah yang mengalir. Pernah juga jatuh, kelelep, tenggelam di kedalaman air Kali Kedungunding Mandiraja. Untunglah ada (alm.) Mardiyono—kakak kelasnya di SD 2 Mandiraja—yang menyelamatkan dan membawa ke pinggir sungai.
Betapa luka dan jatuhnya lelaki itu karena sepanjang hidupnya tidak pernah membuat skripsi, tesis, maupun disertasi untuk meraih gelar kesarjanaan. Lalu, dia mencoba menghibur dan menertawakan dirinya bahwa skripsi bukanlah Mahasiswa menulis karya tulis di kampus, tapi hakikatnya kita semuanya sudah punya skripsi masing-masing. Bukan menulis, tapi sudah dituliskan Tuhan di lauhul mahfudz akan diri kita. Tinggal kita doa dan nego atas skripsi tersebut. Pun, lelaki itu tetap bahagia, setidaknya dia pernah menulis sebuah puisi di Facebook dengan judul “Skripsi Gelandangan”. Kelak dia juga akan berbangga, pede, agak lucu dan berteriak pada dunia bahwa dia kuliah di “Institut Kenduri Cinta”, IKC.
Seiring berjalan waktu, di akhir 1990, lelaki itu hijrah dan latihan ngasab di kota Jakarta. Betapa jauhnya panggang dari api. Betapa beda antara teori dan praktik. Betapa tidak sama antara ilmu sekolah dan di luar sekolah. Betapa khayalan tak sama dengan kenyataan. Apa yang ada di dalam pikiran lelaki itu saat di dusun, tidak ditemukan saat di Jakarta. Lelaki itu mencoba tafakkur. Rasanya ingin kembali ke dusun sunyi, back to basic, kembali ke kampung halaman sendiri. Masih terngiang tembang manis “Jakarta 2” dinyanyikan Ebiet G. Ade yang ada lirik “kenangan merah jingga memaksanya bertahan”. Lelaki itu, hingga kini masih bertahan hidup di Jakarta.
Salah satu tempat favorit Lelaki itu untuk uzlah dan “bertapa” sejenak adalah Pasar Seni, Ancol, Jakarta Utara. Datang usai Magrib pulang tengah malam lalu nginep di Masjid Habib Husein Al-Idrus, Luar Batang, Jakarta. Malam indah nan cerah, sebuah panggung terlihat apik, kerlap-kerlip tata lampu, sound system yang pas dan sebuah bedug menghiasi panggung. Malam itu acara Pembacaan Puisi Penyair Indonesia. Di akhir acara tampil sosok tampan, berkumis, berpakaian rapi membacakan puisi “Doa Laut” menjadi gong dan penutup acara. Dialah Emha Ainun Nadjib (Cak Nun/Mbah Nun). Saat itu belum populer istilah maiyahan di bumi Jakarta.
Betapa bahagianya lelaki itu kala melintas di lobi Stasiun Kereta Api Jakarta Kota, ada beberapa orang membagikan gratis stiker bertuliskan: “Ayo bareng-bareng cari ilmu. Cari informasi. Cari cinta. Cari damai. Cari berkah. Jum’at, minggu kedua setiap bulan, Lapangan Parkir Taman Ismail Marzuki (TIM), Jl.Cikini Raya 73 Jakarta Pusat.” Ternyata acara tersebut juga menghadirkan Emha Ainun Nadjib, Taufik Ismail, Jose Rizal Manua, Hamid Jabbar dan sastrawan lainnya. Itulah awal-awal lelaki itu *happy—*setelah terpuruk dan jatuh dalam berbagai aspek hidup—kemudian “jatuh cinta” pada maiyah Kenduri Cinta (KC). Pada 8 Juni 2001 terbitlah buletin / lembaran KC edisi I tahun 1 yang redaksinya digawangi Adi, Syahid, Iskandar, Helly dan penggiat KC lainnya. Tentu saja buletin itu gratis dibagikan ke jamaah yang hadir untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh.
Lelaki itu termasuk tipe pemalu, introvert, minder, tertutup, tidak open dan kurang gaul. Saat usai acara KC—kurang lebih pukul 3 dini hari—dia tidak langsung pulang, tapi nginthil, menjadi “intel”, mengikuti segerombolan orang yang mengawal Cak Nun menuju Hotel Alia yang berhadapan dengan TIM. Ada meja dan kursi memanjang cukup untuk 20 orang. Ada kopi susu dan roti bakar di meja. Betapa bahagianya lelaki itu bisa berhadapan langsung, muwajahah, bertemu muka dalam jarak 3 meter tanpa sekat dengan tokoh idolanya. Sekaligus dialog, curhat dan bertanya tentang dunia puisi dan sastra, dunia thoriqoh Islam, dunia wirid dan doa-doa manusia pada Tuhan. Di lain waktu lelaki itu memberi tulisan mesin ketik manual—saat itu laptop/komputer menjadi barang mewah—dengan judul “Membaca Gaya Cak Nun dalam ber-Opini” dan diterima dengan senyuman oleh Cak Nun.
Kini Lelaki itu masih mewiridkan ilam takun alayya ghodhobun fala ubali dan berdoa untuk Cak Nun selalu diberi kesehatan, keselamatan, umur panjang, wingit dan keberkahan untuk Indonesia Raya. Cak Nun telah mengajarkan bagan “Segitiga Cinta Shalawat”, di titik atas ada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, di titik kanan ada Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, dan di sisi kiri ada umat manusia. Cak Nun telah memelihara dan membina syu’uban wa qabaila (kemajemukan, aneka suku, bahasa, agama, ras, golongan, dll) untuk ta’aruf, berkenalan satu dengan yang lainnya dan proses penyadaran manusia dalam menuju inna akromakum indallahi atqokum (di hadapan Allah yang paling mulia manusia yang bertaqwa). Cak Nun telah mendidik dan membersamai keragaman makhluk dalam menuju Sang Khalik yang satu selaras dengan rahmatan lil alamin.
Pertanyaan kemudian mengemuka, siapakah nama Lelaki itu?