Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Esensia

Ketika Negeri Menjual Paru-Paru, Lalu Bangga Bisa Membeli Mobil Sebagai Gantinya

Auval Hadzdzi by Auval Hadzdzi
November 15, 2025
in Esensia
Reading Time: 6 mins read
Ketika Negeri Menjual Paru-Paru, Lalu Bangga Bisa Membeli Mobil Sebagai Gantinya

AKU PERNAH melihat hutan terbakar. Dari jauh, warnanya oranye seperti senja yang datang terlalu cepat. Asapnya naik pelan, seperti doa yang kehilangan alamat. Di televisi, berita itu disebut “kebakaran lahan”. Tapi di depan mataku, itu bukan sekadar lahan itu rumah bagi penghuni rimba, udara bagi manusia, dan nyawa bagi tanah yang selama ini diam menjaga kita. Hutan itu tidak sedang terbakar karena nasib. Ia dibakar oleh keserakahan yang dibungkus rapi dalam nama pembangunan.

Negeri ini punya cara yang indah sekaligus mengerikan dalam memberi makna pada kata “maju”. Kita menambang gunung untuk nikel, menebang hutan untuk sawit, mengeringkan rawa untuk kota baru. Semua dilakukan atas nama pertumbuhan ekonomi, seolah kemakmuran hanya bisa dicapai dengan memeras isi bumi sampai kering. Setiap kali alam merintih, kita menutup telinga dengan dalih: “Ini demi rakyat.” Padahal, yang dimaksud rakyat sering kali hanyalah top 1% populasi, bukan manusia yang menghirup debu tambang atau kehilangan sawahnya karena tanahnya tiba-tiba diklaim untuk investasi.

Aku pernah ke sebuah desa di Kalimantan, di mana jalanan dikeraskan dan hutan dibabat dengan dalih pemberdayaan masyarakat, tapi rumah-rumah di sekitarnya masih berdinding papan, anak-anak berlari di antara lumpur hitam, dan air sungai yang dulu jernih kini berwarna seperti teh basi karena dicemari perkebunan sekitar. Di papan nama proyek tertulis: “Peningkatan ekonomi masyarakat lokal.” Tapi, aku tidak melihat ekonomi yang meningkat; yang kulihat adalah tanah yang turun, sungai yang mati, dan masyarakat yang perlahan kehilangan definisi tentang rumah. Ironisnya, di laporan tahunan kementerian, angka PDB dari sektor itu justru meningkat tajam. Seolah penderitaan bisa ditransfer menjadi keuntungan nasional.

Yang membuatku miris adalah betapa mudahnya kita menukar hidup dengan angka. Nikel, batu bara, sawit semuanya dihitung dalam dolar dan tonase, tapi tak ada satu pun yang menghitung nilai oksigen, keheningan, atau keseimbangan ekosistem. Alam kita diperlakukan seperti pasar swalayan raksasa: ambil saja apa yang diinginkan, bayar dengan janji kompensasi. Pemerintah membuat laporan AMDAL, perusahaan menanam seribu bibit pohon, dan semua orang merasa bersih dari dosa. Padahal, biaya memulihkan ekosistem yang rusak jauh lebih mahal dari yang dibayangkan. Bunga hutang Whoosh mungkin tidak ada sekuku jari disbanding hutang negeri ini pada alam yang menaunginya.

Studi dari CIFOR menunjukkan bahwa memulihkan hutan tropis bisa memakan waktu puluhan tahun dengan biaya mencapai puluhan juta rupiah per hektar, sementara hasilnya belum tentu mengembalikan keragaman hayati yang hilang. Alam tak bisa di-copy-paste. Ia hanya bisa tumbuh kalau kita bersabar, dan kesabaran itulah yang tak dimiliki oleh sistem ekonomi modern.

Kini dunia bicara tentang “ekonomi hijau”. Bank membuat unit green investment, korporasi membangun citra dengan jargon carbon neutral, dan pemerintah menjual carbon credit serta biodiversity credit sebagai bukti kontribusi pada iklim global. Dari luar, semua tampak seperti pertobatan. Padahal sering kali, itu hanya wajah baru dari keserakahan lama: greenwashing.

Negara-negara kaya yang selama puluhan tahun menimbun emisi karbon kini membeli izin moral untuk terus mencemari, asalkan membayar sedikit pada negara seperti kita. Indonesia, yang menyerap jutaan ton karbon dan menjaga ribuan spesies langka, justru diperlakukan seperti penjaga toko yang dibayar murah untuk menjaga lemari oksigen dunia. Padahal kalau dunia ini adil, mungkin bukan kita yang berutang pada lembaga internasional, melainkan mereka yang berutang pada kita. Sebab, setiap helaan napas mereka adalah hasil kerja senyap hutan-hutan kita.

Tapi sistem ini jarang bicara tentang keadilan ekologis. Mekanisme pasar karbon membuat bumi tampak seperti neraca akuntansi: yang kotor bisa dibersihkan dengan membeli offset. Pohon ditanam bukan karena cinta pada alam, tapi karena tuntutan sertifikasi. Hutan direstorasi di tempat yang salah, dengan spesies yang salah, hanya demi laporan compliance. Di dunia yang serba hijau palsu ini, keserakahan berganti warna tapi tidak berubah bentuk.

Aku sering merasa negeri ini seperti orang yang menjual paru-parunya sedikit demi sedikit, lalu bangga karena bisa membeli mobil baru dari hasilnya. Kita merayakan pertumbuhan tanpa sadar bahwa yang tumbuh bukan kesejahteraan, melainkan lubang. Di setiap lubang tambang, ada lubang lain di hati manusia. Kita kehilangan rasa cukup. Dulu, banyak orang tua bilang selalu bilang, “Bumi ini bukan warisan dari leluhur, tapi titipan untuk anak cucu.” Kalimat itu dulu terdengar seperti petuah kuno, tapi sekarang aku mengerti: yang diwariskan kepada generasi berikutnya bukan lagi hutan dan sungai, melainkan krisis.

Data dari United Nations Environment Programme (UNEP) mencatat bahwa kerusakan ekosistem global mengakibatkan hilangnya layanan alam senilai lebih dari 6 triliun dolar setiap tahun. Tapi siapa yang peduli dengan angka itu? Di negeri ini, kerusakan dianggap sebagai collateral damage. Bencana alam disebut musibah, bukan akibat. Padahal kita tahu, banjir datang karena hutan hilang, longsor datang karena akar tak lagi memegang tanah, dan udara makin panas karena pohon tak sempat bernapas. Tapi alih-alih introspeksi, kita malah membangun lebih banyak bendungan, menanam pohon untuk proyek foto, dan menuduh hujan sebagai kambing hitam.

Mungkin ini penyakit lama: kita terbiasa melihat alam sebagai benda mati. Kita menyebutnya “sumber daya”, seolah tugasnya memang untuk disedot. Padahal alam itu hidup. Ia punya kesadaran yang tak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa manusia. Laut tahu kapan harus pasang dan surut, gunung tahu kapan harus meletus, dan hutan tahu kapan harus diam. Tapi manusia, yang katanya makhluk paling berakal, justru tak tahu kapan harus berhenti. Kita terus mengambil, terus menggali, sampai tak sadar bahwa kita sedang mencabut akar dari kaki kita sendiri.

Aku percaya, setiap tindakan manusia terhadap alam adalah dialog spiritual. Bukan hanya urusan ekonomi, bukan juga urusan kebijakan, tapi hubungan antara ciptaan dan Sang Pencipta. Ketika manusia menebang pohon tanpa izin dari hatinya, sebenarnya ia sedang menebang kesadarannya sendiri. Ketika ia menambang gunung tanpa doa, ia sedang menghapus makna amanah. Bumi ini bukan milik kita, kita hanya dititipi untuk menjaganya. Tapi titipan itu kita perlakukan seperti barang rampasan. Kita membanggakan pembangunan, tapi lupa bahwa Tuhan tak pernah meminta kita membangun peradaban yang meninggalkan luka.

Dalam pandangan spiritual yang diajarkan banyak guru, termasuk Cak Nun, manusia disebut khalifatullah fil ardh—wakil Tuhan di bumi. Tapi banyak yang lupa bahwa menjadi khalifah bukan berarti berkuasa, melainkan bertanggung jawab. Seorang khalifah bukan penguasa yang boleh mengambil sesuka hati, melainkan penjaga yang harus memastikan bumi tetap seimbang. Jika bumi rusak karena tangan manusia, itu bukan hanya dosa ekologis, tapi juga dosa spiritual: pengkhianatan terhadap tugas kekhalifahan.

Bencana bukan murka Tuhan, melainkan bahasa alam untuk mengingatkan manusia. Alam tidak akan mak bedhunduk berbicara lewat longsor, lewat panas yang menyengat, lewat sungai yang menolak air. Ia tak marah, ia hanya menegur. Tapi manusia, yang terlalu yakin pada teknologinya, malah menuduh Tuhan tidak adil. Padahal ketidakadilan itu kita ciptakan sendiri, ketika menolak mendengar pesan lembut dari semesta.

Kadang aku membayangkan: bagaimana jika setiap izin tambang, setiap kebijakan ekonomi, disertai satu sesi hening, sepuluh menit saja, di mana pejabat dan investor duduk diam di tepi hutan, mendengar suara daun dan sungai? Mungkin setelah itu mereka akan berpikir ulang. Karena di dalam keheningan, alam berbicara dalam bahasa yang paling jujur. Tapi negeri ini tak pernah sempat hening; ia sibuk mengejar target, sibuk menumpuk proyek. Kita lebih takut pada penurunan nilai tukar rupiah daripada penurunan kadar oksigen.

Aku tidak membenci pemerintah yang ndablg* dan bahll*, aku hanya rindu pada kesadaran. Rindu pada rasa malu ketika menipu bumi. Rindu pada rasa takut ketika merusak sesuatu yang bukan milik kita. Rindu pada cara pandang yang dulu membuat orang menunduk sebelum menebang pohon, bukan karena takut sanksi, tapi karena hormat. Dulu, laut dijaga bukan karena aturan, tapi karena keyakinan bahwa di sana ada kehidupan yang juga berzikir kepada Tuhan. Sekarang, laut kita reklamasi, gunung kita dikuliti, dan manusia mulai kehilangan kemampuan untuk bersyukur.

Barangkali kemajuan yang sejati bukan ketika kita punya kota pintar, tapi ketika kita bisa kembali mendengarkan alam. Karena di balik setiap desir angin, setiap gemericik air, setiap bunyi jangkrik malam—ada pesan lembut yang tak pernah berhenti: “Jagalah aku seperti kau ingin dijaga.” Tuhan menitipkan dunia kepada manusia, tapi manusia sering berpikir Ia menitipkan kekuasaan. Padahal yang dititipkan adalah kasih, dan kasih itu seharusnya melahirkan keseimbangan, bukan keserakahan.

Aku percaya, kalau kita kembali pada titik itu, titik di mana manusia merasa kecil di hadapan ciptaan-Nya, mungkin bumi akan memaafkan. Karena alam bukan pendendam. Ia hanya ingin diakui, diingat, disyukuri. Tapi waktu kita tidak banyak. Sebab jika bumi sudah lelah menunggu, ia akan memulihkan dirinya dengan cara yang menyakitkan bagi kita: lewat banjir, badai, kelaparan. Itu bukan kiamat, itu penagihan. Tagihan atas utang ekologis yang kita tumpuk dari generasi ke generasi.

Jika suatu hari nanti anak-anak kita berdiri di depan tanah tandus dan bertanya, “Dulu hutan itu di mana, Ayah?” semoga kita masih bisa menjawab dengan kepala tertunduk, “Maafkan kami, Nak, kami terlalu sibuk mencari Tuhan di langit, sampai lupa bahwa wajah-Nya juga ada di bumi.”

SendTweetShare
Previous Post

Mencari Sekolah yang Tak Runtuh

Next Post

Slow Growth, Deep Meaning

Auval Hadzdzi

Auval Hadzdzi

Related Posts

Kepalsuan di Balik Jendela Kelas
Esensia

Kepalsuan di Balik Jendela Kelas

December 3, 2025
Kebebasan Tanpa Batas Menghancurkan Sumber Daya Bersama
Esensia

Kebebasan Tanpa Batas Menghancurkan Sumber Daya Bersama

December 2, 2025
Kultus Visibility
Esensia

Kultus Visibility

December 1, 2025
Menulis Itu Tidak Gampang
Esensia

Menulis Itu Tidak Gampang

November 26, 2025
Tumbuh tapi Tidak Sadar
Esensia

Tumbuh tapi Tidak Sadar

November 25, 2025
Penjahat Tak Pernah Membangun Negara
Esensia

Penjahat Tak Pernah Membangun Negara

November 24, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta