DALAM ERA DIGITAL hari ini, informasi mengalir seperti banjir yang tak bisa dibendung. Negara menjadi medan kebisingan, dari media sosial yang riuh oleh opini, politik yang gaduh oleh narasi, hingga ruang-ruang publik yang dirampas oleh kepentingan suara terbanyak. Namun, dalam hiruk-pikuk ini, Mbah Nun dan Maiyah berdiri dalam keheningan. Ia tidak memusuhi kebisingan itu, tetapi membentangkan jalan sunyi di tengahnya, mempraktikkan filsafat diam sebagai bentuk perlawanan terhadap kepanikan massal. Keheningan yang beliau bangun bukanlah bentuk pasivitas, melainkan strategi reflektif yang dalam, yang memungkinkan manusia untuk mendengar kembali suara nurani yang nyaris tenggelam.
Kita sebagai anak ideologis Mbah Nun menyadari betul bahwa bangsa ini tidak sedang krisis informasi, tetapi krisis pemaknaan. Informasi yang deras tak menghasilkan kedalaman berpikir, justru mempercepat amarah, polarisasi, dan kebingungan. Ia lalu menciptakan forum-forum keheningan bernama Maiyah. Di sini, orang-orang belajar mengunyah informasi sebelum menelannya, mereka dilatih untuk bersabar sebelum berpendapat. Dalam situasi negara yang semakin memekakkan telinga, jalan yang ditempuh Mbah Nun adalah pelan namun pasti, ia tidak ingin menciptakan kegaduhan baru, tapi menawarkan ruang diam agar manusia bisa kembali ke inti pikirannya.
Keheningan yang ditawarkan bukan pelarian, tapi ruang penguatan batin. Dalam keheningan itu, seseorang belajar mengenali dirinya sendiri. Filsafat Jawa mengenal konsep “sepi ing pamrih, rame ing gawe” senyap dari ambisi pribadi, tapi sibuk dalam kerja kebaikan. Prinsip inilah yang menjadi landasan spiritual jalan sunyi. Tidak mencitrakan dirinya, tidak ingin dielu-elukan, karena kita semua tahu bahwa keikhlasan hanya tumbuh dalam ruang yang tak dipenuhi ambisi. Inilah letak kearifan dari keheningan itu, sebuah seni mengelola jiwa di tengah kebisingan yang menggoda ego dan emosi.
Forum Sunyi di Tengah Riuhnya Bangsa
Di tengah padatnya ruang publik digital yang menawarkan kecepatan dan suara yang bersahut-sahutan, kita mengetahui Maiyah muncul sebagai anomali, forum diam, dialog, dan pencerahan. Ia bukan sekadar ruang diskusi intelektual, melainkan sebuah rumah spiritual kolektif yang dibangun atas dasar kepercayaan, cinta, dan kesabaran. Tidak ada pamflet ideologi yang dibagikan, tidak ada provokasi massa atau mobilisasi opini, hanya ada lingkaran manusia yang ingin pulang pada jati dirinya. Sampai saat ini, Maiyah tidak membentuk gerakan politik, tapi menghidupkan kesadaran kultural yang dalam. Mbah Nun, yang menjadi poros spiritualnya, membiarkan Maiyah tumbuh seperti taman, siapa pun boleh datang, duduk, menyimak, bahkan tidur pun bisa, dan jika perlu berkata dengan kejujuran.
Kekuatan Maiyah justru terletak pada “ketidakterburuannya”. Dalam sebuah negara yang cenderung memuja kecepatan dan hasil instan, Maiyah menawarkan keterlambatan yang sehat, keterlambatan berpikir, berbicara, dan merespons. Di forum ini, peserta diajak untuk memaknai bukan hanya “apa” yang terjadi, tapi juga “mengapa” dan “bagaimana” itu menyentuh dimensi kemanusiaan. Ini yang oleh Mbah Nun disebut sebagai “kebijaksanaan mendengarkan”. Dalam forum Maiyah, keheningan tidak dianggap sebagai kekosongan, melainkan wadah tempat makna tumbuh. Seseorang boleh tidak setuju, tetapi tidak boleh merendahkan. Di sini, kearifan sosial tumbuh dari kesadaran spiritual, bukan dari debat menang-kalah yang serabutan.
Maiyah bukan benteng eksklusif, ia terbuka terhadap semua keyakinan, latar belakang sosial, bahkan mazhab pemikiran yang berseberangan. Ini yang membuatnya menjadi semacam universitas rakyat tanpa ijazah, tetapi kaya pengalaman. Seseorang yang datang dengan luka sosial akan dipeluk oleh suasana batin kolektif. Mbah Nun membiarkan gagasan mengalir tanpa memaksa, seperti sungai yang merawat bebatuan. Ia sadar bahwa pencerahan sejati tidak bisa dipaksakan, tapi dibimbing dalam kesabaran dan cinta. Dalam Maiyah, kearifan tidak dibentuk oleh perdebatan logika, tetapi oleh resonansi hati yang saling memahami. Di sinilah keheningan menjadi jalan menuju kebijaksanaan dalam diam, manusia mengenali batasnya dan menemukan kemerdekaannya.
Guru Sejati Menemukan Kompas di Dalam Diri
Dalam kosmologi Jawa, Guru Sejati bukan semata-mata sosok di luar diri yang memberi pengetahuan, tetapi adalah pancaran cahaya dalam batin yang menuntun manusia pada kesejatian. Filsafat ini pula yang dihidupi oleh Mbah Nun. Ia bukan tipe guru yang memosisikan diri sebagai pemegang kebenaran tunggal, tetapi seorang pembuka jalan agar murid-muridnya menemukan kebenaran melalui perjalanan masing-masing. Ia tidak membentuk pengikut, tapi membangunkan kesadaran. Di banyak forum Maiyah, Mbah Nun justru lebih banyak bertanya daripada menjawab, sebab dalam filsafat keheningan, jawaban sejati sering kali tumbuh dari pertanyaan yang jujur dan batin yang terbuka. Guru Sejati adalah cermin ia tidak membentuk, tetapi memantulkan.
Konsep ini sejalan dengan ajaran spiritualitas lintas tradisi yang menganggap pencarian sejati tidak pernah berada di luar manusia, melainkan dalam keheningan hatinya sendiri. Dalam catatan, Maiyah pernah menegaskan bahwa Tuhan tidak membutuhkan perantara hierarkis untuk mendekatkan diri-Nya kepada manusia, karena kompas spiritual sesungguhnya telah tertanam dalam diri setiap orang. Tugas guru sejati adalah membimbing manusia kembali pada dirinya yang utuh yang peka terhadap rasa, yang mengolah pikir dengan hati, dan yang mampu bersikap empan papan terhadap setiap peristiwa. Dalam kerangka ini, guru bukan sosok yang harus ditakuti, tetapi dihormati karena keteladanannya. Ia hadir bukan sebagai menara gading, tetapi tanah lapang tempat siapa pun bisa tumbuh.
Pengalaman batin ini dihidupi Mbah Nun secara konkret. Ia lebih memilih duduk sejajar dengan siapa pun seperti buruh, mahasiswa, petani, pejabat, bahkan narapidana. Ia tidak membangun sekat status atau kekuasaan simbolik. Ia hadir sebagai teman dialog, bukan dewa petunjuk. Dalam keheningan forum-forum yang ia rawat, setiap orang diajak untuk membaca ulang realitas sosial dengan kejernihan spiritual. Di sinilah letak kedalaman filosofi Guru Sejati. Bukan menjawab semua persoalan, tetapi membangkitkan kemampuan setiap manusia untuk menjawab sendiri dengan bekal kebeningan jiwa. Karena itu, dalam kebudayaan Maiyah, Mbah Nun lebih sering disebut “Si Mbah” – sosok bijak yang penuh kasih, bukan otoritas yang memerintah.
Empan Papan sebagai Seni Menempatkan Diri dalam Kekacauan Sosial
Empan papan adalah inti dari tata laku dalam filsafat Jawa yang kini nyaris dilupakan di tengah modernitas yang serba tergesa. Konsep ini mengajarkan ketepatan dalam menempatkan diri, kapan harus berbicara, kapan harus diam, kapan memberi, kapan menahan diri. Dalam dunia yang kini serba responsif, bahkan reaktif, empan papan menjadi kualitas langka yang justru menentukan derajat kebijaksanaan seseorang. Mbah Nun tidak pernah berbicara jika tidak diperlukan. Dalam banyak konflik sosial-politik, ia sering memilih diam. Tapi diamnya bukan karena takut, melainkan karena tahu, tidak semua kegaduhan layak ditanggapi, dan tidak semua pertarungan perlu diikuti. Empan papan adalah cara menjaga keseimbangan di tengah kekacauan tanpa kehilangan arah dan nilai.
Mbah Nun menunjukkan bahwa empan papan bukanlah kelembekan atau ketidakpedulian, melainkan disiplin batin yang matang. Ia tidak tergoda untuk membalas hujatan, atau membuktikan kebenaran dengan suara keras. Dalam beberapa momen ketika bangsa ini mengalami turbulensi moral dan ideologis, ia justru hadir dengan cara yang sangat sederhana seperti menulis puisi, duduk bersama rakyat, atau menulis esai pendek yang lebih terasa sebagai doa ketimbang analisis politik. Ia tidak memburu panggung, karena panggung terbesar baginya adalah ruang batin seseorang. Empan papan dalam konteks ini adalah upaya terus-menerus untuk menjaga kesucian niat dan ketepatan tindakan. Maka, ia memilih jalur kesunyian, bukan sebagai pelarian, tapi sebagai bentuk perlawanan terhadap kekacauan.
Di dunia digital hari ini, yang setiap orang bisa menjadi komentator atas segalanya, empan papan menjadi tolak ukur kebijaksanaan yang paling relevan. Kita dibombardir dengan informasi, diajak bereaksi setiap menit, diundang berkomentar tanpa jeda. Tapi dari jalan sunyi Mbah Nun, kita diajarkan untuk menimbang setiap kata sebelum diucapkan, mempertimbangkan setiap sikap sebelum diambil. Tidak semua pendapat perlu diutarakan, tidak semua kebenaran harus diperjuangkan dengan keras. Ada kalanya keheningan adalah bentuk tertinggi dari cinta, dan pembiaran adalah bentuk terdalam dari pemahaman. Di sinilah empan papan menjadi cahaya navigasi—bukan untuk menjadi pasif, tetapi untuk menjadi tepat. Dan ketepatan itu lahir dari kesadaran spiritual, bukan semata-mata nalar rasional.
Mengolah Emosi dalam Jalan Spiritualitas Jawa
Emosi bukanlah musuh, melainkan energi batin yang jika diolah dengan bijak dapat menjadi jalan menuju pencerahan. Dalam tradisi spiritual Jawa, pengendalian emosi tidak dilakukan dengan menekan atau menyangkal, tetapi dengan memahami asal dan arahnya. Hal ini sejalan dengan gagasan Sutarjo Adisusilo (2020) dalam jurnal Panjar, yang menekankan pentingnya laku batin dalam menghadapi gelombang emosi zaman. Mbah Nun menjalani hidupnya dengan kesadaran tinggi terhadap pengaruh emosi dalam kehidupan sosial dan spiritual. Ia tidak menolak emosi seperti marah, kecewa, atau sedih, tetapi mengajak manusia untuk tidak dikendalikan olehnya. Ia menanamkan bahwa marah boleh, tetapi jangan melukai, sedih wajar, tetapi jangan merusak. Dalam kerangka ini, emosi menjadi bahan bakar yang jika diarahkan dengan kesadaran, akan membawa pada kematangan jiwa.
Pandangan ini didukung oleh pemikiran M. Mukhsin Jamil (2022) dalam jurnal Jurnal Riset Agama, yang menjelaskan bahwa spiritualitas Jawa menawarkan ruang kontemplatif untuk menata emosi, bukan sekadar menundukkannya. Dalam banyak forum Maiyah, Mbah Nun tak jarang membahas politik, ekonomi, dan sosial dengan nada yang sangat tenang meskipun isinya sangat kritis. Beliau menunjukkan bahwa seseorang bisa menyampaikan keresahan tanpa menciptakan permusuhan, bisa membongkar kebobrokan tanpa menambah kebencian. Ini bukan karena Mbah Nun kehilangan rasa, tetapi karena rasa itu sudah dikelola menjadi daya. Di tengah masyarakat yang mudah tersulut oleh informasi setengah matang dan berita palsu (Hoax), kemampuan mengolah emosi menjadi semacam imun spiritual. Nenek moyang kita mengajarkan melalui teladan, bahwa kekuatan terbesar bukan berada di tangan yang memukul, tetapi di hati yang tidak meledak saat terinjak.
Jalan spiritualitas Jawa menekankan keseimbangan antara rasa (perasaan), cipta (pikiran), dan karsa (kehendak). Emosi, dalam trilogi ini, berfungsi sebagai jembatan antara batin dan tindakan. Yusuf Susilo Hartono, dalam artikelnya yang berjudul “Spiritualitas sebagai Modal Budaya” (2019), menggarisbawahi bahwa emosi yang diolah melalui seni, budaya, dan laku spiritual akan bertransformasi menjadi energi penyembuhan. Mbah Nun tak henti-henti mengingatkan bahwa manusia modern kehilangan ruang untuk merawat batinnya, sehingga emosinya liar dan mudah dipolitisasi. Dalam masyarakat seperti ini, pengolahan emosi menjadi fondasi moral yang penting. Maka, spiritualitas bukan hanya soal ibadah formal, tetapi juga kemampuan untuk tidak terbakar ketika dunia menawarkan api. Dalam sunyi, emosi dijinakkan, dalam diam, amarah disucikan.
Spiritualitas tanpa Label Melampaui Sekat Agama dan Politik
Dalam perjalanannya, Mbah Nun memosisikan diri bukan sebagai representasi dari golongan, mazhab, ataupun mazhab politik tertentu. Ia melampaui itu semua, sebab yang diperjuangkannya adalah inti terdalam dari kehidupan yaitu kemanusiaan dan ketuhanan dalam satu tarikan napas. Pandangan ini sejalan dengan pemikiran Mashuri dalam jurnal NAHNU (2022), yang menyebut bahwa spiritualitas sejati menolak segala bentuk pembatasan struktural dan dogmatis. Baginya, label-label agama atau ideologi sering kali menjadi tembok yang justru menjauhkan manusia dari cahaya yang hendak dicari. Mbah Nun tidak pernah mewajibkan peserta Maiyah untuk menjadi bagian dari sekte tertentu, tidak pula mengharuskan kesamaan pandangan. Ia menghidupi spiritualitas tanpa pagar, membiarkan setiap orang menemukan Tuhan dalam dirinya, dengan cara yang paling manusiawi, paling jujur, dan paling relevan dengan hidupnya.
Spiritualitas dalam pemikiran Mbah Nun tidak dibatasi oleh ritual, tetapi didefinisikan oleh kualitas batin apakah seseorang mampu mencintai? Apakah seseorang mampu sabar, jujur, dan bertanggung jawab? Konsep ini ditegaskan dalam tulisan Dewi Rochsantiningsih dalam Jurnal JSQ (2018), yang menyebut bahwa dalam era spiritualitas modern, pergeseran dari simbol ke substansi adalah kebutuhan zaman. Dalam banyak forum, Mbah Nun bahkan sering menyampaikan bahwa orang yang rajin ibadah pun bisa zalim jika tidak mengolah batinnya. Maka ia menekankan bahwa inti dari agama bukan sekadar fiqh atau hukum, tetapi nilai tertinggi dari agama adalah akhlak dan adab. Spiritualitas dalam pandangan ini tidak butuh panggung dan pengakuan, tetapi cukup dilihat dari cara seseorang memperlakukan sesama, memperlakukan bumi, dan memperlakukan dirinya sendiri.
Di sinilah letak keteguhan Mbah Nun dalam memilih jalan sunyi, ia menolak untuk menjadikan agama sebagai senjata, apalagi alat kekuasaan. Ketika negara dipenuhi oleh politik yang menjadikan agama sebagai komoditas, ia tetap memilih berdiri di pinggiran—menjadi suara hati rakyat kecil, tanpa pernah menjual kesucian. Refleksi spiritual semacam ini juga dipaparkan oleh Zamzami dalam jurnal SEROJA (2023), bahwa kearifan lokal dan spiritualitas transenden dapat menjadi jalan tengah antara kemajuan teknologi dan kedangkalan moral. Mbah Nun menyampaikan pesan keagamaan dengan puisi, menyampaikan ajaran cinta dengan humor, menyampaikan kritik sosial dengan permenungan. Ini adalah bentuk spiritualitas yang lembut namun kuat, yang sunyi tapi mendalam. Dalam dunia yang penuh dikotomi “kita dan mereka”, “benar dan sesat”, “iman dan kafir”, Mbah Nun hadir sebagai jembatan. Ia tidak mengajarkan kita untuk mengalahkan orang lain, tapi untuk menemukan Tuhan tanpa harus kehilangan kemanusiaan.
Menjadi Bangsa yang Mendengar
Dalam masyarakat yang dibangun oleh budaya bicara, keberanian untuk mendengar adalah kearifan yang paling mahal. Si Mbah mengajarkan bangsa ini tanpa banyak pidato dan jargon, bahwa menjadi pendengar adalah laku spiritual. Negara hari ini sering gagap mendengar jerit rakyatnya, karena terlalu sibuk berbicara di panggung sendiri. Masyarakat pun lambat belajar mendengar satu sama lain, karena terjebak dalam kompetisi pendapat. Di tengah semua itu, Maiyah hadir bukan sebagai forum bicara, tetapi sebagai forum mendengar. Ia hadir bukan untuk mendominasi suara, tapi untuk menampung suara. Mbah Nun mendengarkan rakyat kecil, mendengarkan Tuhan melalui bisikan hidup sehari-hari, dan mendengarkan dirinya sendiri dalam sunyi yang ia pelihara.
Bangsa yang tidak mampu mendengar, adalah bangsa yang kehilangan empati. Ketika satu kelompok merasa paling benar, dan yang lain tidak diberi ruang menyuarakan kebenarannya, maka perpecahan menjadi tak terhindarkan. Mbah Nun tidak pernah memaksakan keseragaman, sebab yang ia perjuangkan adalah kematangan. Ia mengajarkan bahwa kita boleh berbeda keyakinan, berbeda pandangan politik, bahkan berbeda tafsir terhadap kebenaran, selama kita mampu saling mendengar. Mendengar bukan berarti sepakat, tapi menghormati. Di sinilah Maiyah menjadi ruang pendidikan moral, tempat belajar tentang cara hidup, bukan sekadar cara berpikir. Ia mengasuh bangsa ini dengan teladan diam, sebab dari diam yang benar, muncul tindakan yang tepat.
Warisan terbesar dari Mbah Nun bukanlah tulisan-tulisannya, atau forum-forum Maiyah yang melingkar setiap bulan. Warisan terbesarnya yang harus dirawat adalah keberanian untuk hidup sebagai manusia seutuhnya di tengah dunia yang kehilangan arah. Ia tidak membentuk partai, tidak membangun universitas formal, tidak mendirikan lembaga yang kaku. Tapi ia membangun kesadaran kolektif bahwa bangsa ini hanya akan pulih jika mampu mendengar suara hatinya kembali. Ia adalah guru dalam arti yang paling sejati, tidak memerintah, tapi menuntun. Tidak membesarkan namanya, tapi membesarkan jiwa orang lain. Di tengah keheningan negara yang terus dibanjiri informasi dan kegaduhan tanpa isi, Mbah Nun memberi pesan sunyi pulanglah ke dalam dirimu. Dengarkan. Sebab dari situlah kebijaksanaan bermula.