Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Esensia

Hobi Proyeksi dan Keberhalaan Modern

Auval Hadzdzi by Auval Hadzdzi
December 4, 2025
in Esensia
Reading Time: 5 mins read
Hobi Proyeksi dan Keberhalaan Modern

BARANGKALI setiap manusia, tanpa terkecuali, pernah merasakan dorongan untuk mengagumi seseorang. Dalam setiap kekaguman, ada pengakuan kecil bahwa kita ingin menjadi seperti dia, dari cara ia berpikir, menulis, atau bahkan tersenyum di depan kamera. Idola, pada dasarnya, adalah cermin: memantulkan versi terbaik dari diri kita yang belum sempat tumbuh. Tapi seperti semua cermin, ia juga bisa menipu, memantulkan sesuatu yang terlalu kita percayai hingga lupa bahwa bayangan itu bukan kita.

Kekaguman, bila berlarut, sering berubah menjadi semacam kebiasaan emosional: hobi proyeksi. Hobi ini tak terasa, tapi menggerakkan banyak hal dalam diri, dari pilihan siapa yang kita bela di dunia maya, sampai bagaimana kita memaknai diri sendiri. Dalam setiap pujian yang kita berikan pada idola, sesungguhnya ada bagian dari diri kita yang ikut kita serahkan.

Secara psikologis, Sigmund Freud menyebut proyeksi sebagai mekanisme pertahanan diri: cara manusia menolak menghadapi keinginan atau emosi yang tidak disadarinya, lalu menaruhnya pada orang lain. Jadi, yang bergejolak bukan aku, tapi dia. Muridnya, Carl Jung, memberi pandangan yang lebih puitis: proyeksi, katanya, adalah cara bagian gelap diri—*the shadow—*mencari jalan keluar. Dalam sosok yang kita kagumi, kita sedang berjumpa dengan bagian dari diri yang belum sempat kita peluk. Maka, kekaguman adalah cinta terhadap potensi diri yang belum berani kita wujudkan.

Namun di zaman media sosial, proyeksi kehilangan kesunyian reflektifnya. Ia tak lagi sekadar hubungan batin antara individu dan idolanya. Ia berubah menjadi ritual massal yang dikelola algoritma. Kini, kekaguman punya altar baru: layar ponsel. Di sana, setiap unggahan adalah wahyu kecil, setiap like adalah doa, dan setiap retweet adalah bentuk dakwah digital. Idola tak lagi manusia, melainkan sistem makna; ia hidup dari keterlibatan, dari betapa sering namanya disebut dan dipertahankan.

Kita hidup di masa ketika fandom tak sekadar komunitas penggemar, melainkan semacam gereja digital, lengkap dengan tata ibadah, dogma, dan perang suci. Ketika sebuah merek atau tokoh dianggap menyinggung sang idola, ribuan pengikut bisa bergerak dalam satu napas: menyerang, membanjiri komentar, menyerukan boikot, bahkan melacak identitas orang yang berbeda pendapat. Bagi mereka, ini bukan sekadar bela idola, tapi pembelaan atas diri sendiri. Karena di era ini, idola bukan sekadar figure, ia adalah perluasan dari identitas.

Fenomena ini memperlihatkan betapa rapuhnya garis antara cinta dan penyembahan, antara kekaguman dan kehilangan diri. Idola menjadi tempat kita menaruh semua yang belum selesai dalam diri: kerinduan akan keutuhan, harapan untuk dilihat, dan keinginan untuk menjadi sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri. Dalam setiap ledakan kemarahan di dunia maya, sesungguhnya yang terluka bukan kehormatan sang idola, melainkan luka batin para pengikut yang tanpa sadar telah menambatkan harga dirinya di sana.

Seperti semua bentuk cinta, ia bisa memabukkan. Seorang penggemar bisa menangis saat idola menang, merasa tersakiti ketika idolanya dikritik, dan bahkan menyerang siapa pun yang dianggap mengusiknya. Di titik itu, proyeksi berubah jadi pengabdian, dan pengabdian yang tanpa refleksi adalah pintu menuju keberhalaan.

Namun, berhala zaman ini tak lagi terbuat dari batu. Ia bernyawa digital. Ia berwujud wajah yang disunting dengan cahaya, senyum yang dikurasi, citra yang dijaga. Ia tak menunggu di kuil, tapi muncul di feed kita setiap pagi. Kita tak perlu dupa atau sesajen; cukup engagement rate dan loyalty tagar. Jika dulu orang menghadap berhala untuk meminta berkah, kini kita menunduk pada layar untuk mencari validasi. Semuanya tampak berbeda, tapi sesungguhnya sama.

Di tengah hiruk pikuk ini, saya teringat kalimat Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din: “Setiap hati yang menggantungkan diri pada selain Allah, itulah berhalanya.”

“Cinta dunia,” kata beliau, “bukan cuma soal harta, tapi apa pun yang membuat manusia lupa pada hakikat dirinya.”

Barangkali, di zaman ini, yang paling membuat manusia lupa adalah layar kecil yang terus menatap balik. Bila Al-Ghazali hidup hari ini, mungkin ia akan berkata: setiap hati yang menggantungkan bahagia pada jumlah likes, itulah berhalanya.

Fanatisme digital memang memberi rasa arah, rasa kebersamaan, bahkan makna. Tapi yang sering luput disadari: makna itu rapuh. Ia hanya bertahan selama koneksi stabil. Begitu sinyal hilang, semua yang terasa besar itu menguap menjadi sunyi.

Di situ, barangkali, kita baru sadar: yang selama ini kita bela dengan penuh semangat bukan sosok di luar sana, tapi bayangan diri yang kita titipkan padanya. Setiap kritik terhadap idola terasa menyakitkan karena yang terguncang bukan dia, melainkan citra diri kita sendiri.

Manusia modern sering lupa betapa besar hasratnya untuk menaruh makna pada sesuatu. Ketika agama dan komunitas kehilangan ruang hangatnya, idola mengambil alih peran itu: memberi arah, rasa keterikatan, dan harapan bahwa hidup kita, entah bagaimana, terhubung dengan sesuatu yang lebih besar. Tapi harga yang harus dibayar adalah hilangnya kemandirian batin. Kita mulai hidup dari pantulan, bukan dari kedalaman.

Media sosial memperkuat semua ini dengan tenang dan efisien. Algoritma bekerja seperti imam yang hanya mengenal angka. Ia tidak tahu cinta, tapi tahu cara memonetisasinya. Ia tahu kapan harus memunculkan konten agar kita kembali beribadah di depan layar. Ia tak butuh iman, hanya perhatian. Di dunia yang diatur oleh perhatian, apa yang paling sering kita tatap adalah yang paling suci. Kita tahu persis apa yang paling sering kita tatap.

Namun, mengidolakan seseorang sebenarnya tak salah. Kekaguman adalah bagian dari kemanusiaan, kadang justru menjadi jendela bagi kita untuk mengenali potensi diri. Masalahnya, kita sering berhenti di jendela itu, lalu menyembah pantulannya. Dalam bahasa Jung, kita kehilangan dialog dengan bayangan. Dalam bahasa Al-Ghazali, kita menggantungkan hati pada selain Tuhan.

Padahal mungkin yang lebih sehat adalah mencintai idola sebagaimana kita mencintai lagu yang indah: menikmatinya, belajar darinya, tapi tidak menggantungkan hidup padanya. Karena yang kita cintai sesungguhnya bukan sosok itu sendiri, melainkan getaran diri yang ia bangkitkan di dalam kita.

Lagi pula, setiap cinta yang sehat mengandung jarak. Jarak yang membuat kita bisa menatap dengan jernih, tidak menelan tanpa berpikir. Tapi budaya digital justru meniadakan jarak: kita bisa tahu jam berapa idola tidur, apa yang ia makan, ke mana ia bepergian. Informasi yang seharusnya membuat kita dekat malah menjadikan kita kehilangan batas. Dari situlah lahir bentuk-bentuk agresi baru: doxing, persekusi daring, hingga cancel culture, kekerasan simbolik yang dibungkus solidaritas.

Mungkin inilah paradoks fanatisme digital: di satu sisi ia lahir dari cinta, tapi di sisi lain, ia tumbuh dari ketakutan. Takut kehilangan figur yang menjadi pusat makna hidupnya. Takut kehilangan arah begitu sosok itu roboh. Karena itu, ia akan menyerang siapa pun yang mengancam cermin tempat ia melihat dirinya sendiri. Maka, barangkali tugas kita bukan mematikan kekaguman, tapi menyehatkannya. Agar kekaguman tidak berubah jadi perbudakan, dan cinta tidak berubah jadi pengabdian pada citra.

Karena pada akhirnya, seperti yang diingatkan Al-Ghazali, yang sejati hanyalah hati yang bebas dari ketergantungan, termasuk ketergantungan untuk selalu merasa terhubung dengan yang dikagumi. Mungkin sudah waktunya kita belajar menatap cermin bukan untuk menyembah, melainkan untuk mengenali siapa yang berdiri di hadapannya. Karena dalam setiap bayangan yang kita puja, selalu ada diri kita yang diam-diam ingin pulang.

SendTweetShare
Previous Post

Kepalsuan di Balik Jendela Kelas

Auval Hadzdzi

Auval Hadzdzi

Related Posts

Kepalsuan di Balik Jendela Kelas
Esensia

Kepalsuan di Balik Jendela Kelas

December 3, 2025
Kebebasan Tanpa Batas Menghancurkan Sumber Daya Bersama
Esensia

Kebebasan Tanpa Batas Menghancurkan Sumber Daya Bersama

December 2, 2025
Kultus Visibility
Esensia

Kultus Visibility

December 1, 2025
Menulis Itu Tidak Gampang
Esensia

Menulis Itu Tidak Gampang

November 26, 2025
Tumbuh tapi Tidak Sadar
Esensia

Tumbuh tapi Tidak Sadar

November 25, 2025
Penjahat Tak Pernah Membangun Negara
Esensia

Penjahat Tak Pernah Membangun Negara

November 24, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta